“Sudah aku bilang, buang kartu nama Desti!”Padahal ini nggak ada sangkut pautnya dengan kartunama Desti, karena Desti memanggilku dan kami bertemu usai pertemuan siang tadi. Terlihat jelas wajah Rizal yang memerah, meski kami hanya tersorot lampu jalan. Langkahku pun ikut terhenti. Aku tak berani menatapnya. memoriku seolah berputar kembali. "Ck. Sudah lah. Ayo kita makan." Rizal terlihat berusaha menguasai diri. Mungkin dia takut kalau-kalau aku trauma melihatnya seperti itu. Atau, dia ingin membuktikan ucapan Nadia, kalau dia sudah berubah dan minta maaf? "Kamu nggak papa, makan di pinggir jalan?" tanyaku saat dia mengajakku sedikit berjalan untuk membaca menu-menu di tenda. Aku yakin, dia tak kunjung memilih, mungkin karena belum sreg dengan menunya, atau lokasinya. "Kamu ngomong apa, sih. Aku bisa makan dimana saja, Ratih." Ingin aku mengatakan, kalau mungkin tidak higienis, mana tahu, istrinya selama ini mengaturnya dan menerapkan pola hidup sehat, lantas dia harus makan
Warung tenda tempat kami makan sudah lebih ramai dibanding tadi saat kami datang. Meskipun tempat ini hanya menyajikan penyetan, namun sangat berarti buat penduduk urban sepertiku yang tempat tinggalnya tidak dilengkapi dapur. “Sasti butuh seorang ibu. Dan ibu kandung jauh lebih baik dari ibu sambung,” sambungku karena Rizal tak juga mengeluarkan penjelasannya. Ini terdengar sok bijak. Namun, aku sering mendengar penjelasan serupa, meski aku belum berpengalaman.Aku menatap Rizal yang sibuk menghabiskan makanannya. Mungkin dia lapar, karena sama sekali tak memberi jeda untuk berbicara. Atau, dia perlu energi untuk memberi penjelasan padaku?“Sebenarnya tak semuanya harus kuceritakan. Tapi, baiklah.” Rizal menyudahi makan pecel ayamnya. Rizal menumpuk piring nasi dan piring bekas pecelnya menjadi satu, sehingga meja di hadapannya terlihat bersih. Sementara, aku masih berusaha melanjutkan makananku yang belum habis. “Sebenarnya aku sudah melupakan semuanya. Dia adalah mamanya Sasti.
Ibu bagi Sasti? Sebenarnya dia mencari istri, apa pengasuh anak? Aku nggak tahu, kenapa aku yang dipilih? Aku nggak punya pengalaman dalam mengasuh anak. Kalau benar dia menginginkan ibu bagi putrinya, harusnya memilih yang berpengalaman. Bukan sepertiku, bahkan cinta dunia anak-anak pun tidak. Aku masuk ke dalam kosan. "Cie, siapa tuh, Tih?" Mbak Femy, salah satu senior di kosan yang tadi lewat saat aku bersama Rizal, kini menyembulkan kepala di pintu kamarku yang memang belum tertutup. "Kayaknya kamar ini beneran mengundang jodoh, ya?" Mbak Femy masuk ke kamar. Dia langsung duduk di sisi ranjang. "Semua yang menempati kamar ini, akan keluar saat dia nikah. Dan hampir tiap tahun itu," ucap Mbak Femy. Aku memang penghuni baru di kosan ini. Sebelumnya, aku tinggal beberapa gang dari sini. Sayangnya, kosan yang sudah membuatku nyaman itu harus direnovasi, sehingga aku pindah ke tempat ini. "Alhamdulillah. Rejeki berarti ya, aku pindah ke sini. Kalau gitu, Mbak Femy pindah s
"Mbak, undangannya sudah aku kirim kemarin ya. Nanti kurir langsung antar ke kantor Mbak Ratih." Pesan Dini masuk ke ponselku Dini memang adik yang dapat diandalkan. Saat aku malas-malasan mengurus semuanya, tangannya terbuka melakukan semua untukku. Bahkan, dia juga tak minta uang seperser pun untuk ganti biayanya. "Gampang lah, Mbak, itungannya. Kan pesennya juga sekalian di teman aku. Jadi harga juga bisa miring," ucap Dini saat aku minta slip tagihannya, mau aku transfer sejumlah uang padanya. "Mas Rizal udah transfer aku. Ntar kalau kurang, baru aku bilang sama kamu." "Apa?" Aku melotot membaca pesan dari Dini. Bisa-bisanya Dini dan Rizal berkomunikasi di belakangku? Apa aku cemburu? Sebenarnya bukan ke cemburu, tapi, semacam merasa dilangkahi saja. Tapi, ini semua juga salahku. Aku yang cuek dan tak mau tahu urusan pernikahan ini. Jadi, mungkin Dini yang ambil inisiatif. "Tenang Mbak. Calon Kakak Iparku baik kok. Nggak neko-neko. Semua diserahin padaku, asal tahu bere
Saat jam makan siang, tiba-tiba Anggi sudah berdiri di depan mejaku. Dia bersama Cyntia, staf yang sama-sama masih muda usia. Doyan banget kalau diajak ngomongin cowok. Aku biasanya hanya menjadi pendengar saja. Umurku sudah terlalu tua untuk ikut menjadi penilai lawan jenis. Aku tak bisa menolak saat Anggi dan Cyntia menyeretku ke kantin. Bahkan, mereka tak memberiku kesempatan menolak. "Ada apa, nih rame-rame?" Baru juga kami memilih lokasi duduk yang strategis di kantin, Bu Winda, staf paling senior di antara kami ikut nimbrung. "Ayo, Bu gabung. Kita mau interogerasi Mbak Ratih, nih, BU," ujar Cyntia dengan antusias. Apa pula anak ini. "Biarin aku yang pesen makan. Kamu jagain Mbak Ratih." Anggi langsung pergi begitu saja setelah bertitah. Aku benar-benar seperti di penjara. "Jadi, orang mana, siapa dia?" Cyntia sudah siap dengan pertanyaan. Aku yakin, sebelum menyeretku ke sini, Anggi dan Cyntia pasti sudah nghibahin aku. "Ini gara-gara Bu Winda kasih tahu mereka." Ak
“Ini utamanya buat yang akan menikah dengan duda yang sudah punya anak. Kalau Duda yang belum punya anak, mungkin poin ini nggak terlalu penting. Kenapa?” DI ujung kalimatnya, Bu Winda mengajukan pertanyaan retoris. "Karena mantan sang suami adalah ibu dari anak akan bakal menjadi anak sambungmu,” tambahnya. Dahiku lagi-lagi mengernyit. Apa ini yang dimaksud Rizal tempo hari? Dia tidak mau membuka alasannya berpisah dengan mamanya Sasti jika aku nggak korek-korek. Bisa jadi, agar aku lebih objektif menilai Desti. Bagaimana pun dia adalah mamanya Sasti. Kelak, kalau aku sudah menikah dengan Rizal, pasti pengasuhan Sasti juga tanggung jawabku. Namun, aku juga tak boleh memisahkan Sasti dengan mama kandungnya. Dia harus bisa menyayangi mama kandungnya terlepas dari apapun itu. “Dan terakhir." Bu Winda melanjutkan. "Pelajari masa lalu pasangan. Mengapa dia bisa gagal. Siapa tahu kamu bisa ambil pelajaran. Bukan untuk menjustifikasi, tapi, paling tidak, baik kamu dan dia tidak mengulan
Pagi-pagi, saat aku sudah siap hendak ke kantor. Tiba-tiba ponselku kembali berdering. Sebenarnya aku malas membukanya. Aku khawatir itu Desti yang mencoba menghubungiku karena ingin bertemu. Parahnya, aku tak menyimpan nomor Desti, atau orang-orang yang bagiku belum terlalu penting dan ke depan belum tentu berinteraksi lagi, termasuk nomor Rizal. Biasanya hanya akan kusimpan setelah aku merasa benar-benar perlu dan kelak akan banyak berhubungan lagi. Tapi, tunggu! Jangan-jangan ini Rizal.Nomor memanggil masih berkedip-kedip di ponselku. Tak ada foto profil karena belum tersimpan di kontak. Aku juga bukan penghafal angka. Tak mungkin aku mengingat angka-angka nomor telpon. Segera kuusap tombol hijau di aplikasi itu. “Assalamualaikum!” Deg! Suara pria terdengar di ujung telepon.Tak sadar senyumku mengembang. Dadaku rasanya berdebar tak karuan. Aku sudah biasa menerima telpon dari pria untuk urusan pekerjaan. Namun, suara pria yang diujung sana, tentu saja bukan masalah pekerja
Aku ingin tahu reaksi Rizal, apakah dia akan setuju atau tidak. Tapi, tak ada sahutan. “Zal, kamu nggak usah khawatir. Aku sudah istikharah,” lanjutku usai terdengar desahan nafasnya yang mengisyaratkan ketidaksukaan. . Sepertinya dia berat mengijinkanku. Sepertinya dia masih menyimpan kekhawatirannya padaku. Dia khawatir kalau aku termakan ucapan Desti karena mantan istrinya itu bisa saja memanfaatkan putri mereka sebagai alasan, agar aku iba. “Tih, tak semua sebaik kamu. Ada orang-orang yang punya rencana lain dibalik sikapnya yang manis,”tutur Rizal kemudian. Sebaik aku? Tubuhku seolah terbang melayang mendengar ucapan Rizal. Senyumku tak henti mengembang. Rizal bilang aku baik? Aku segera menekan-nekan telingaku untuk menyadarkan kalau aku tidak salah dengar. Lalu aku menata hati untuk kembali melanjutkan percakapan, agar Rizal tidak curiga bahwa aku sukses dibuatnya salah tingkah. “Kita tak boleh berburuk sangka, Zal,” tukasku, terdengar normatif. Terdengar dari balik