Hai readers >3 Sehat-sehat selalu ya :) Jangan lupa vote ceritaku juga dan tinggalkan jejak di kolom komentar. Terima kasih >3 Happy reading, ya!
“Tapi … kamu tidak merasa kapok kan dengan sikap Bapak yang sedikit keras denganmu?” Hendra tersenyum tipis, “Sama sekali tidak bu.” “Syukurlah, terima kasih ya nak. Semenjak kamu datang ibu jadi penuh syukur karena masih bisa melihat anak ibu ceria lagi tidak murung, sejak kejadian itu Aisyah selalu menyalahkan dirinya dan ibu selalu khawatir dengan kondisi anak ibu ke depannya,” tuturnya berlinang air mata. “Bu, ibu tidak perlu berterima kasih pada saya karena sesungguhnya saya tidak berbuat banyak akan hal itu. Anak ibu Aisyah, adalah sosok yang kuat makanya dia bisa seperti sekarang ini.” Asih meraih tangan Hendra dan menggenggamnya erat, “Nak Hendra, tolong jagain Aisyah, ya … kalau memang nak Hendra serius dengan anak ibu tolong jangan pernah sakiti dia, Aisyah sudah terlalu capek jika harus melewati kondisi seperti itu lagi.” Hendra menatap bu Asih dalam, “Bu, saya pasti akan jaga anak ibu sebaik-baiknya saya menjaga diri saya sendiri, terima kasih sudah memberikan saya kep
“Pokoknya Bapak nggak mau tau! Kalau sampai anak kesayangan Bapak itu kenapa-napa awas saja nanti, lihat saja apa yang bakalan Bapak lakuin!” Tak lama kemudian, dokter Hendra ke luar dari ruangan pemeriksaan. “Kondisi Aisyah gimana?” “Kondisi Aisyah baik-baik saja, pak bu.” Hendra berusaha bersikap tenang “Baik-baik saja gimana! Tadi anak saya pendarahan!” Pak Ahmad tampak sangat kesal “Pak, udah Pak. Ini di rumah sakit jangan buat keributan.” “Ini semua karena Ibu juga, Ibu selalu belain si Hendra ini!” “Pak, ini bukan waktunya buat salah-salahan, yang terpenting kan sekarang kondisi Aisyah baik-baik saja.” “Apanya yang baik Bu? Ibu kan udah lihat sendiri tadi, Aisyah pendarahan Bu.” “Pak, kondisi Aisyah sekarang baik-baik saja. Aisyah hanya butuh istirahat yang cukup.” “Pak, nak Hendra ini seorang dokter jadi dia lebih paham dari kita tentang kesehatan.” “Terus aja belain orang ini, kalau sampai anak Bapak kenapa-napa Ibu juga ikut tanggung jawab.” Suasana menjadi semakin
Bima sudah kemas mengenakan pakaian yang rapi khas dengan kemeja putihnya. “Kamu siap-siap sekarang!” “Kita mau ke mana, Mas?” “Dokter kandungan.” “Ha?” “Kamu nggak usah kaget gitu! Lupa ya sama kesepakatan kita?” “E-e iya, Mas sebentar.” Jihan bergegas bersiap, sementara itu Kiara sedang asyik berlari-lari di halaman. “Kia, sini sebentar.” “Iya Pa.” Bocah itu segera menghampiri Bima “Mama sama Papa mau pergi sebentar, kamu sama Nenek di rumah ya!” “Nggak mau! Aku mau ikut Mama!” kekehnya. “Sutss! Sebentar aja kok, e-e gini deh nanti kalau udah mau pulang Papa beliin mainan gimana?” bujuknya. Mata bocah itu seketika berbinar, “Mainan? Serius Pa! Emm Papa nggak bohong, kan?” tanyanya meyakinkan. “Iya serius, tapi asal Kia mau diem di rumah sama Nenek dan jangan nakal nanti pasti Papa bakal beliin mainan.” “Yeye, oke Kia di rumah aja, janji ya, Pa!” Masalah Kiara sudah ditangani Bima dengan mudah, pria arogan itu tinggal menunggu Jihan bersiap. “Lama banget sih kamu! Mau
“Terus hasilnya gimana? Kalian berdua sehat-sehat kan?” “Kita belum tau hasilnya, Ma. Besok hasilnya baru keluar.” “Kalau anak Mama udah pasti sehat lah,” ucapnya dengan penuh kepercayaan diri. “Hasilnya bisa dilihat besok,” ujar Jihan. “Oh iya, Mama mau ngingetin satu hal sama kamu Jihan. Ingat ya! Meskipun kesepakatan ini sudah kita setujui kamu jangan tiba-tiba nggak tau diri gitu dong, kamu pikir beli ini itu nggak pakai uang? Kalau anak kamu nanti keterusan minta ini itu kan kasian suami kamu kerja terus capek.” “Oh ya, Mama juga jangan pernah lupa ya sama isi kesepakatan kita apa! Atau perlu aku ingetin? Ini urusan rumah tangga aku sama Bima Ma, jadi Mama nggak punya hak untuk mengatur semuanya kalau Mama melanggar sudah tau kan konsekuensinya apa?” “Ma! Udah dong Ma, Bima capek! Lagian mainan itu bukan Kiara yang minta tapi Bima yang janjiin ke dia, beli mainan doang nggak bakal buat Bima miskin,” tegas Bima. “Kok kamu jadi gini sih ke Mama?” “Ma, Bima cuma ngingetin ke
“Kamu kenapa sih Aisyah? Kenapa tiba-tiba kamu ngehindar dari saya?” ucap Hendra, sembari duduk merenung di teras. “Apa kamu masih belum bisa menerima saya?”. “Dok,” Seorang perawat mencoba memanggil dokter Hendra. “Dokter Hendra.” Pria itu tak kunjung merespon, perawat tersebut lantas menepuk pundaknya. “Eh … iya kenapa?” “Maaf mengganggu dok … pasti lagi banyak masalah ya?” “Eh-e … enggak, nggak papa. Ada pasien lagi, ya?” tanyanya, mengalihkan pembicaraan. “Oh iya dok, pasien sudah ada di ruangan.” “Baik, terima kasih.” Pria yang tengah khawatir itu perlahan mengambil langkahnya karena panggilan tugas sedang menantinya. “Nak, kamu nggak papa?” “Iya, nggak papa Bu. Emang kenapa to?” “Nggak, Ibu khawatir kamu kenapa-napa. Akhir-akhir ini Ibu lihat kamu jarang komunikasi sama nak Hendra, kalian baik-baik saja?” Aisyah menghela napas panjang, “Hah, Aisyah hanya ingin menenangkan diri dulu, Bu. Setelah kejadian ke rumah sakit kemarin, Bapak jadi lebih protektif k
“Maksud kamu apa? Sini cerita saja ke Bapak.” “Bapak nggak marah kalau Yaya cerita masalah ini?” tanya Aisyah ragu. “Ya, gimana Bapak mau marah kamu saja belum cerita ke Bapak,” ujarnya. “Masalah Aisyah kemarin dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan, Bapak kenapa sampai nyalahin Hendra? Bapak segitu bencinya dengan dokter Hendra, Yaya Cuma nggak mau saja hubungan Yaya dengan seseorang sampai buat Bapak Yaya sendiri membenci orang, itu tidak baik Pak,” jelas Aisyah. “Masalah itu? Kamu ini harus berapa kali Bapak kasi tau! Bapakmu ini takut Nak, kejadianmu dengan si Bima itu sudah cukup buat Bapak trauma, Bapak nggak bakalan tega lihat kamu menderita lagi.” “Lagi? Kalau begitu maksud Bapak berarti Bapak sudah mendoakan Aisyah sebelum tau kejadian yang sebenarnya ke depannya.” “Lah, bukan begitu maksud Bapak Nak, di mana-mana tidak ada yang namanya seorang Bapak akan mendoakan anaknya yang tidak baik justru Bapakmu ini ingin hidupmu baik-baik saja meskipun nantinya Bapak tidak b
“Hah! Ke Jakarta?” “Kalau begitu saya permisi dulu, bu.” Perawat itu melangkah pergi “Kenapa Hendra tiba-tiba ke Jakarta dan tanpa ngabarin aku? Dia juga sampai sekarang belum balas pesan, jangan-jangan dia beneran marah.” Aisyah pergi meninggalkan rumah sakit dengan penuh rasa kekhawatiran dan pertanyaan. “Nak, kamu habis dari mana?” tanya Asih. “Aisyah dari rumah sakit, Bu.” “Cari nak Hendra ya? Gimana kalian udah dapat ngobrol?” “Hendra ke Jakarta, Bu,” jawabnya lesu. “Ke Jakarta? Kenapa tiba-tiba sekali?” Asih terkejut. “Aisyah juga nggak tau, Bu. Hendra sampai sekarang belum bales pesan Aisyah.” Asih tampak semakin mengkhawatirkan Aisyah-anaknya. Sementara itu, Hendra di Jakarta hendak ingin bertemu kedua orang tuanya dan sanak saudara. “Hendra gimana di sana kamu nyaman?” “Alhamdulilah, nyaman Ma.” “Oh iya, katanya kamu mau nyampein sesuatu yang penting, apa?” “Aku harap Mama sama Papa nggak marah ya sama Hendra,” ucapnya ragu. “Marah? Kamu coba cerita d
Tiba-tiba Bima menyeka air matanya, “Apaan sih lu Bima! Nggak-nggak kata dokter Heni, gua bisa sembuh jadi ini bukan karena gua bersalah sama Aisyah!” Sikap Bima yang egois itu tentu saja tidak begitu saja akan menyadari kesalahannya meskipun dirinya sedang terpuruk sekalipun, Bima kembali bangkit dari rasa keputusasaannya karena pernyataan dokter mengatakan dirinya bisa disembuhkan. Bima mengambil langkah tegas, “Gua pasti sembuh!” Sementara itu, Jihan yang baru saja sampai di rumah sehabis dari rumah sakit melangkahkan kakinya ragu untuk memasuki rumah ada rasa takut yang menyelimuti perasaannya. “Jihan! Bima mana?” Sumber rasa takut Jihan telah muncul. “E-e, Mas Bima langsung ke kantor Ma jadi Jihan pulang sendiri,” ucapnya ragu. “Oh, terus hasil tesnya gimana? Semua baik-baik aja kan!” “E-e hasilnya …” “Ngomong yang jelas lah kamu, kayak orang nggak pernah makan seharian aja!” Ajeng mulai geram. “Hasilnya Mas Bima terindikasi varikokel Ma atau pembe