Aku tidak tahu harus bagaimana. Rasa takut jika Mas Arsya akan marah seperti tadi siang membuatku membeku di tempat. Berulang kali aku menatap bergantian antara Mas Arsya dan si penjual wedang ronde yang mengulurkan sekuntum bunga mawar. Aku tidak ingin hubungan dengan Mas Arsya memburuk lagi hanya karena salah paham yang entah siapa penyebabnya. Akan tetapi, Mas Arsya menyuruhku mengambil bunga itu. Dengan terpaksa, aku menerima bunga itu dan membiarkan si pengantar langsung pergi. Ada kertas yang dililitkan di batang rupanya. Aku terus melirik ke arah Mas Arsya, tapi ekspresinya biasa saja. "Buka dulu, baca kalau ada tulisannya," ucapnya sambil memasukkan dua plastik besar wedang ronde ke jok penumpang di belakang kemudi. Aku pun menurut meskipun melakukannya dengan takut-takut. Namun, kalimat yang tertulis pada kertas ini membuatku justru mengerutkan kening. Jika wedang ronde menghangantkan dengan jaheKamu menghangatkanku dengan cintadari suamimu yang paling tampan saat di k
"Apa yang terjadi, Ni? Bukannya kamu dan Mas Adam baik-baik saja? Kalian juga akan segera menikah, bukan?" cecarku begitu Kaniya duduk. Sengaja aku meminta gadis berlesung pipit itu untuk datang di mana aku, Mas Arsya, dan Mas Danu masih di tempat makan dekat klinik. Dia menangis dengan wajah bingung. Padahal, di hari pertama aku kembali dari Jogja, Kaniya dan Adam terlihat baik-baik saja. "Mas Adam hanya menggunakanku sebagai media informasi, Nda. Dia banyak menanyakan soal kamu saat kami bersama. Di mana tempat tinggalmu, siapa saudaramu, siapa orang tuamu, apa makanan kesukaanmu, pokoknya semua hal tentangmu. Awalnya, aku biasa saja, tapi lama-lama dia keterlaluan. Mas Adam terang-terangan memutuskan hubungan kami saat kamu dan Pak Arsya pergi di hari kita ketemuan pekan lalu." Kaniya menahan isak tangis meskipun air matanya sudah berkali-kali jatuh. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Adam. Kenapa dia seperti itu? Siapalah aku yang sampai membuat dia sampai seperti itu? At
Malam ini, Mama dan Papa menginap di rumah Mas Arsya. Aku berterima kasih karena luka di wajah ini membuatku disayang mertua. Sebelum aku tidur, Mama menyempatkan mengompres mukaku dengan air hangat. Dalam hati, aku begitu bahagia. Hingga malam mulai larut dan suara binatang malam bersahut-sahutan, kedua mataku justru tidak mau memejam. Apa istimewanya aku sehingga masalah seperti ingin selalu mendekat? Adam, aku sedikit tidak percaya jika dia dan Jihan adalah saudara. Lalu, apa maksudnya mendekati Kaniya hanya untuk mengorek informasi tentangku? Dan bunga siang itu? Apakah benar seperti kata Mas Danu jika Adam-lah pengirimnya? Dari dulu, Adam memang penuh teka-teki. Dokter Fahira juga pernah mengatakan jika Adam masih begitu mencintaiku. Namun, apakah cinta itu masih menjadi alasan ataukah justru dendam karena Jihan benar-benar mendapat hukuman? Tak ada habisnya otakku mengeluarkan tanya. Namun, tak satu pun jawaban mampu kutemukan dalam waktu singkat. Entah kenapa, hidupku seper
PoV ArsyaAku masih terus ingat apa kata Mama saat mengantarnya ke pasar tadi. Mama mengulangi permintaan yang dulu pernah dikatakan kepadaku. Mama menyuruhku membantu Papa di perusahaan serta mengajak Manda pindah ke rumah mereka. Itu cukup sulit karena aku tidak ingin Manda tertekan batin jika harus setiap saat bertemu Mama. Meskipun jika kulihat sekarang, Mama sudah banyak berubah sikap terhadap Manda, tetap saja aku tidak tenang. Saat aku akan berangkat bekerja tadi pun, aku justru melihat tingkah Manda yang tidak seperti biasanya. Beberapa kali dia ingin bicara, tapi selalu diurungkan. Entah apa yang akan dia katakan, bahkan saat aku kirim pesan, dia membalas dengan kata tidak apa-apa. "Pak Arsya masih galau mulu?" tegur Edo saat aku sedang duduk menikmati kopi sendirian di pantry. "Udah ketemu yang kemarin itu?" Dia beralih mengambil cangkir dan sepertinya akan membuat kopi juga. "Yang kemarin itu parah, Do. Harusnya emang istriku nggak usah tahu dulu, tapi ... ah, entahlah!
Taksi yang kupesan sudah datang dan siap mengantar ke rumah sakit. Siang ini, jadwal kontrol Mas Arsya sesuai anjuran dari dokter yang menanganinya saat di Jogja. Sengaja kami mendaftar untuk jam siang karena Mas Arsya hanya izin bekerja setengah hari. Dia tidak enak jika terlalu sering meninggalkan pekerjaan lagi. Awalnya, Mas Arsya tidak mengizinkanku berangqkat 1sendiri, tapi untuk menghemat waktu, kami janjian langsung di rumah sakit saja. Jadi, Mas Arsya tidak perlu harus menjemputku terlebih dahulu. "Sayang harus hati-hati, ya. Bilang sama sopir Qtaksinya, jangan ngebut bawa mobilnya. Terus, kalau ada yang aneh, langsung telepon. Yang penting, jangan panik. Bawa juga parfum yang kecil aja. Kalau ada yang gangguin, semprot matanya."Itu serentetan wejangan yang Mas Arsya ucapkan saat menelepon sebelum taksi datang. Dia begitu mencemaskanku. Namun, perhatian itu sangat berharga untukku. Serasa menjadi ratu setiap saat. Aku keluar dari rumah dikawal oleh Bi Narti. Dia juga diama
Kabar dari Mas Danu dan Kaniya membuatku bisa tidur nyenyak beberapa hari terakhir. Tidak menyangka jika takdir yang menjodohkan mereka. Padahal, dulu aku sama sekali tidak terpikir sampai sana. Aku malah mengira jika Mas Danu akan membawa pasangan sepulang dari Kalimantan. Namun, itu semua hanya perkiraan yang salah. Sekarang, masih ada satu hal yang sulit kubicarakan dengan Mas Arsya. Dia selalu mematahkan niatku saat akan mengatakan keinginan Papa yang diungkapkan kepadaku tempo hari mengenai perusahaan beliau. Mas Arsya sempat mengatakan jika dia memenangkan pembebasan hektaran lahan yang akan dijadikan perumahan oleh perusahaan properti tempatnya bekerja. Bahkan, bonus yang diterima tidak main-main. Mas Arsya akan mendapatkan satu buah rumah dari hasil kerja itu. Kerja kerasanya benar-benar membuahkan hasil sekarang. Dia juga diangkat sebagai direktur cabang di kota yang sama dengan tempat pembebasan lahan itu.Rumah baru yang akan didapatkan Mas Arsya itulah nantinya akan menj
Saat sebuah komitmen diingkari, rasanya aku tidak ingin lagi percaya dengan siapa pun. Kecewa tentu saja menjadi hal paling mendasar yang dialami semua orang saat kembali dibohongi. Mungkin bukan berbohong niatnya, hanya tidak ingin menceritakan yang sebenarnya Namun, itu sama saja menurutku. Sama-sama tidak jujur. Sekarang, bukan lagi Mas Arsya yang bersikap dingin, tapi aku. Kekecewaan di hati ini rasanya sudah menggunung. Berkali-kali aku seperti dipermainkan. Bahkan, seperti orang paling bodoh yang tidak tahu apa-apa dan harus menghadapi masalah tanpa tahu asal mulanya. Kenyataan Mas Arsya yang baru terungkap tadi pagi, membuatku memilih diam dan menjadi istri penurut. Aku tidak akan penasaran lagi dengan apa pun yang mungkin masih Mas Arsya sembunyikan. Nyatanya, aku harus selalu terluka dulu jika akan mengetahui rahasia masa lalunya. Usai salat Isya, aku memilih langsung mengistirahatkan badan di di tempat tidur. Usia kandungan yang sudah masuk lima bulan ini membuatku cepat
Aku, Mas Arsya, dan Bi Harni sedang sibuk membereskan barang-barang. Satu bulan sudah berlalu sejak aku bertemu dengan Kakek dan Nenek dari Mas Arsya. Aku sudah berdamai, tapi tidak bisa dipungkiri jika hati ini sangatlah kerdil dan terlalu mudah terbawa perasaan. Besok, kami sudah harus meninggalkan rumah penuh kenangan ini karena sudah ada orang yang akan mengontrak. Mas Arsya memang sudah mengiklankan rumah ini untuk dikontrakkan sejak sebulan yang lalu dan sudah ada yang berminat. Dulu, pertama kali aku tinggal di sini bersama Arumi setelah menikah dengan Mas Arsya. Ya, mungkin memang inilah yang terbaik. Aku dan Mas Arsya butuh suasana baru agar hubungan kami bisa menjadi lebih baik. Barang-barang yang akan kami bawa pindah sebenarnya tidak terlalu banyak karena furniture ikut dipinjamkan kepada si pengontrak rumah. Kami hanya membawa barang-barang pribadi, perlengkapan dapur, dan beberapa alat elektronik. Mas Arsya bilang, di rumah baru sudah lengkap isinya dengan barang-bara