POV Author"Makasih, Chef," ucap Ratna juga Arumi.Setelah mengisi absen pulang mereka pun keluar dan menunggu jemputan masing-masing. Ratna menunggu saudaranya datang--sementara Arumi menunggu tukang ojek langganannya untuk menjemput.Mata Arumi berbinar setiap kali melihat tote bag berisikan daging steak itu untuk dimakan bersama dengan orang tuanya.Sambil menunggu jemputan Arumi memainkan ponselnya. Iseng, Arumi beralih melihat story W******p teman-temannya.Tapi netranya salah fokus dengan story WA milik kakak iparnya itu yang bernama Delia.'Kasihan banget sih kamu, Yu, nggak diajak makan enak sama keluargamu sendiri. Miris!'Arumi mengusap pelan dadanya yang berdenyut nyeri. Kenapa iparnya itu selalu saja memancing emosinya.Kenapa juga mbaknya itu menceritakan dan mengirim foto semalam pada Delia.Arumi memilih mengabaikan cuitan status iparnya itu. Ia tak mau menghabiskan energinya untuk meladeninya."Rum, duluan ya." Ratna menepuk bahu Arumi untuk berpamitan. Karena jemputan
Setelah berhasil mentransfer uang ke dalam rekeningnya--Delia pun pergi meninggalkan Aron sendirian di taman.Sudah habis beberapa batang rokok ia hisap. Namun rasa stress yang dilandanya tak mau pergi juga."Punya masalah apapun adukan sama Allah. Allah akan beri jalan keluar dan juga solusinya. Tapi jangan cuma karena kita punya masalah aja baru bersujud dan berdoa sama Allah. Baru mengingat Allah, nggak boleh kaya gitu."Aron teringat akan pesan bapaknya itu. Ia pun beranjak dari duduknya lalu pergi ke kamar mandi dan mengambil wudu untuk salat Ashar."Astaghfirullah, ya Allah ... maafkan aku yang telah lalai ini," gumamnya.Aron sering lalai mengerjakan salat fardhu selama ia merantau. Dulu sewaktu di kampung ia begitu rajin ibadah. Salat fardhu selalu tepat waktu. Tetapi sekarang karena alasan lelah bekerja ia sering telat mengerjakan salat fardhu, bahkan sering meninggalkannya."Perbaiki salatmu, maka Allah akan perbaiki hidupmu."Kembali ia mengingat nasihat dari orang tuanya.
Netra mereka saling bersitatap beberapa detik. Hingga akhirnya masing-masing dari mereka membuang pandangannya ke arah lain."Kenapa masih mengharapkan ku, sedangkan di luar sana begitu banyak wanita yang lebih baik dan lebih segalanya dari aku," tanya Arumi."Yang lebih darimu memang begitu banyak. Tapi, apakah hati bisa dipaksakan untuk mencintai orang lain? Nggak bisa, Rum," jawab Daffa seraya menghela napas panjang."Coba belajar untuk melepaskan, merelakan dan mengikhlaskan, Mas," sahut Arumi lagi."Nggak bisa, Rum.""Sudah malam, sebaiknya Mas Daffa pulang. Nggak enak jika dilihat dengan tetangga," imbuhnya.Daffa mengangguk--mengiyakan ucapan Arumi. Dengan berat hati ia pun gegas pergi meninggalkan halaman rumah Arumi."Kenapa harus seperti ini," desah Arumi."Siapa, Nduk?"Tiba-tiba saja Bapak sudah ada di belakang Arumi. Arumi terkejut sampai bungkus buah pemberian Daffa itu terlepas dari genggaman tangannya."Mas Daffa, Pak," sahut Arumi.Bapak menilik wajah putri bungsunya
Customer yang datang hari ini begitu sangat banyak. Hingga para waiters pun harus bekerja dengan extra cepat dalam melayani customer, begitupun dengan Arumi dan Ratna.Pak Adiwijaya memantau langsung para karyawannya dalam melayani customer. Ia sangat suka dengan cara kerja Arumi yang cekatan."Nggak salah bawa orang kamu," puji Pak Adiwijaya."Iya, Paman. Arumi memang orang yang pekerja keras," sahut Refaldy."Sepertinya kamu memang sangat menyukai gadis itu.""Bukan hanya sekedar suka. Tapi aku juga mencintainya." Refaldy memandang Arumi dari kejauhan dengan wajah semringah."Bagaimana dengan kedua orang tuamu?" tanya Pak Adiwijaya."Mereka akan menerima Arumi dengan baik, Paman."Pak Adiwijaya menghela napas panjang seraya menantap lekat netra sang ponakan tercinta."Wanita seperti Arumi memang pantas untuk di perjuangkan," imbuh sang Paman.Refaldy mengangguk dan tersenyum menantap balik pamannya. Ia juga sudah menceritakan soal Arumi pada kedua orang tuanya dan juga sudah meliha
"Meisha, wanita yang terlihat anggun serta pemalu itu nyatanya hanyalah wanita murahan. Mau-maunya bercumbu dengan lelaki yang sudah beristri!" pekik Ayu sambil mematut diri di depan cermin."Dasar pramugari murahan!"Ayu berteriak, mengacak-ngacak semua alat make up di meja riasnya. "Hei, apa yang kamu lakukan di dalam, Ayu!" teriak Ibu mertuanya mendengar kegaduhan yang dibuat oleh menantunya itu.Ayu keluar dari dalam kamarnya dengan jengkel. Memutar bola mata saat mertuanya menantap sengit."Mi, sebenarnya Mami tau 'kan kalau Mas Pandu selingkuh sama Meisha?" tanya Ayu."Maksudmu apa?" tanya mertuanya dengan memasang wajah seperti orang yang tengah kebingungan.Ayu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Lalu ia membuka galeri foto dan memperlihatkan sebuah foto Meisha dan Pandu tengah bercumbu.Namun ekspresi wajah ibu mertuanya nampak biasa saja dengan foto yang ditunjukkan oleh Ayu."Jadi benar Mami sudah tau jika Mas Pandu selingkuh dengan pramugari murahan itu?" p
Selama perjalanan tak ada obrolan apapun pada mereka bertiga. Semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing.Refaldy fokus menyetir mobil, Arumi sibuk memandangi keindahan pemandangan jalanan pada malam hari. Sementara Devi sibuk berkutat dengan ponselnya.Sampai akhirnya mobil pun mulai memasuki kawasan komplek elit dan berhenti di salah satu hunian mewah.Refaldy lebih dulu turun dan membukakan pintu untuk Arumi juga Devi. Devi sungkan diperlakukan seperti itu oleh bosnya sendiri."Makasih, Pak," ujar Devi keceplosan."Saya bukan Bapak-bapak!" kata Refaldy sambil memicingkan matanya.Seketika Devi membekap mulut dengan kedua telapak tangannya itu dan terkekeh pelan lalu meminta maaf.Sedangkan Arumi tersenyum tipis melihat tingkah keduanya. Arumi dan Devi berjalan mengekori Refaldy di belakang.Arumi bersalawat dalam hatinya agar kelak nanti, dirinya bisa mempunyai hunian yang jauh lebih layak untuk ditinggali bersama dengan kedua orang tuanya.Matanya tak berhenti menatap hunian mew
Arumi mengernyit mendengarkan percakapan Refaldy dengan orang tua yang dianggapnya adalah klien Pak Adiwijaya.Refaldy menarik napas panjang sebelum menjelaskan semuanya pada Arumi."Rum, aku harap kamu mau mendengarkan ceritaku tanpa kamu potong ucapanku. Agar semuanya jadi jelas dan kamu tau yang sebenarnya," ujar Refaldy dengan wajah serius dan sedikit menegang.Arumi menatap satu per satu wajah dari mereka seakan bertanya lewat isyarat mata. Lalu, Arumi pun menganggukan kepala pada Refaldy."Sebenarnya, aku bukan seorang supir pribadi, Rum. Aku keponakan dari Pak Adiwijaya Batara.""Pak Adiwijaya Batara adalah adik dari ayahku. Dan restoran steak itu usaha kami berdua. Dan ... Devi sahabatmu itu adalah karyawanku. Bukan maksudku untuk membohongimu seperti ini."Refaldy menatap iris mata cokelat Arumi dengan perasaan cemas. Matanya menyiratkan rasa kecewa."Boleh saya bicara?" imbuh Pak Adiwijaya.Arumi mengangguk pasrah dan juga ingin mendengar penjelasan dari Pak Adiwijaya."Apa
Makan malam dan pertemuan antara Arumi dengan keluarga Refaldy berjalan dengan lancar. Respon dari kedua orang tua Refaldy pun sangat bagus.Tinggal menunggu momen mempertemukan dua keluarga juga menunggu keyakinan Arumi pada Refaldy.Mereka sangat mengerti dan paham dengan keadaan Arumi yang masih bimbang.****Arumi termenung sendirian duduk di teras rumahnya sambil melihat sinar rembulan yang begitu cerah.Embusan angin membuat anak rambutnya berantakan ke sana kemari. Sesat matanya terpejam menikmati semilir angin malam."Rum."Panggilan Devi membuat Arumi terkejut dan membuka matanya. Ia menoleh dan menatap sahabatnya tersebut."Mas Daffa besok tunangan, kamu nggak diundang kah?" tanyanya.Arumi menggelengkan kepalanya pertanda tak diundang."Apakah ini jawaban atas salat istikharah ku, Dev?""Mungkin. Dan Refaldy jodoh yang dikirim Allah untukmu. Sudah saatnya kamu bahagia, Rum," kata Devi."Bagaimana dengan perasaanmu terhadap Refaldy? Setahuku--Refaldy dan keluarga besarnya it