Share

Mengerjai Pelakor

Geram. Selena tampak menahan kesal, peluh sebiji jagung telah membasahi wajahnya yang kian memucat.

Bruut!

Sontak, kami saling memandang satu sama lain. Selena meringis seraya meremas perut rampingnya.

"Eeeum, Mbak Selena jorok banget, sih," celetuk Ratu sambil menutup hidungnya.

"Maaf, aku sakit perut," ringis Selena.

"Kalau sakit perut kenapa tidak ke toilet," sahut Ratu ketus.

Aku, Ibu, dan juga Mas Aksa melakukan hal yang sama menutup cuping hidung bersamaan. Bau busuk menguar hampir memenuhi ruangan, rasanya ingin muntah. Selena berlari sambil memegang bagian tubuh belakangnya.

"Dasar nggak punya adab, ada orang tua membuang gas berancun sembarangan," ceplos ibu sambil mengipas-ngipas dengan telapak tangan ke arah wajahnya.

Aku tersenyum puas, menantu baru ibu yang dibanggakan ternyata tidak punya adab. Kulirik Mas Aksa disamping mulai gelisah, bulu-bulu tangan mulai berdiri.

"Kamu kenapa, Mas?" tanyaku bingung.

"Perutku sakit, Ai. Aku ke kamar dulu, ya." Mas Aksa bangkit lalu terbirit-birit masuk ke dalam kamar.

Kamar kami memiliki toilet dalam, di rumah ini hanya ada 2 toilet. Di kamar utama kami dan toilet luar dekat dapur. Rumah ibu mertua bukan rumah yang mewah seperti di rumahku yang memiliki banyak toilet di setiap kamarnya.

"Loh, Aksa kamu juga sakit perut." Ibu berteriak melihat putra kesayangannya tergesa-gesa masuk ke dalam kamar.

"Aneh, masa mereka sakit perut bersamaan," gumam Ratu tampak berpikir.

"Iya, pasti ada yang tidak beres," sahut ibu.

Aku masih duduk dengan tenang, tinggal menunggu giliran ibu dan Ratu merasakan sakit perut seperti Selena juga Mas Aksa.

"Jangan-jangan ...." Ratu menggantung ucapannya seraya melirik kearahku.

"Jangan-jangan apa, Ratu?" tanya ibu tidak sabaran.

"Mbak Aira, ini pasti ulah kamu, ya!" tuduh Ratu. Ibu melihat kearahku dengan ekspresi bingung.

"Memangnya aku melakukan apa?" tanyaku santai.

"Mbak Aira jangan pura-pura bodoh, pasti sambel yang mbak buat dicampur obat pencahar, ya!"

"Jangan menuduhku sembarangan, Ratu!Kalau memang aku mencampur obat pencahar pasti semuanya sakit perut termasuk kamu dan juga ibu," elakku.

Ratu terdiam mungkin mencerna perkataanku. Aneh, kenapa ibu dan Ratu tidak sakit perut. Apa lambung mereka sudah kebal dengan yang pedas-pedas. Memang aku akui mereka pecinta pedas.

Terdengar pintu kamar mandi terbuka, Selena berdiri diambang pintu dengan tubuh gemetar. Rambut pirangnya sudah acak-acakkan. Ibu mendekati menantu kesayangannya.

"Selena, kamu tidak apa-apa?" tanya ibu cemas.

"Sakit, Bu," lirih Selena tampak lemas.

"Ya sudah, kamu istirahat dulu. Nanti ibu suruh Ratu beli obat."

"Kok, aku yang beli obat. Suruh Mbak Aira saja yang beli," protes Ratu.

"Ai, tolong." Suara Mas Aksa memanggilku dari dalam kamar.

"Aduh, maaf, ya, aku harus mengurus suamiku dulu."

Cepat aku meninggalkan mereka masuk ke dalam kamar. Bodo amat ibu akan marah aku sudah tidak perduli, apa lagi obat itu untuk menantu kesayangannya.

Mas Aksa terkapar di ranjang, wajah tampannya nampak pias. Duh, apa aku sudah keterlaluan, ya. Sebenarnya sakit mereka belum seberapa dibanding dengan sakit hati yang aku rasakan.

"Ai, sakit. Apa kamu punya stok obat sakit perut?" tanyanya lemas.

Melihat keadaan Mas Aksa sudah tak berdaya dengan terpaksa aku mengambil obat dari dalam kotak P3K yang selalu aku taroh di atas meja riasku.

"Ini, Mas." Aku memberikan obat ke tangan Mas Aksa. Urusan Selena biar ibu yang mengurusnya. Ini baru permulaan, nanti setelah puas aku bermain-main dengan mereka, kupastikan selamanya aku akan pergi dari hidup mereka.

"Terima kasih, Ai. Sejujurnya mas menyesal sudah mengkhianati kamu, Ai," paparnya seraya memasukkan obat ke dalam mulut.

Dreet!

Aku melirik ponsel yang sejak tadi dalam genggaman bergetar, nama Nadia--sahabatku terlihat dilayar benda pintarku.

"Mas, aku terima telepon dulu, ya."

Aku meninggalkan Mas Aksa di dalam kamar. Ya, aku harus cari tempat yang aman untuk berbicara dengan Nadia.

"Jangan lama-lama, Ai," teriak suamiku di dalam kamar.

Hening. Aku mengedarkan pandangan ke penjuru rumah, ibu, Ratu, juga Selena tidak ada. Mereka kemana? Kulangkahkan kaki ke belakang. Setelah dirasa aman, aku mengangkat panggilan dari Nadia.

"Hallo, Nad," sapaku.

[Ai, gawat. Supplier ayam potong tidak bisa dihubungi bahkan nomorku diblokir. Resto sudah membayar full tapi pihak mereka tidak memberi konfirmasi jika hari ini mereka tidak bisa mengirim ayam mentah] jelas Nadia.

"Apa? Jadi Raja Ayam Potong belum mengirim bahan mentahnya?" tanyaku kaget.

[Iya, Ai. Bahan mentah sudah menipis, Resto sedang ramai. Kita tidak mungkin menunggu lebih lama]

Raja Ayam Potong adalah pemasok ayam mentah untuk resto kami. Kami sudah bekerja sama dari sebelum orang tuaku meninggal, memang setelah Pak Raja sudah tidak memegang usahanya karena menurut sopir yang biasa mengantar, usaha Ayam Potong itu sudah diwariskan ke anaknya. Biasanya mereka tidak pernah telat mengirim ayam mentah, kami percaya sehingga kami selalu membayar full diawal.

"Nad, kalau begitu kamu coba hubungi Ajun Ayam Potong saja sampai pihak Raja Ayam Potong bisa dihubungi," kataku memberi saran.

Tidak mungkin kami menunggu Raja Ayam Potong mengirim barangnya bisa-bisa resto kehabisan bahan mentah.

[Ok, Ai. Oh, iya, kapan kamu ke Resto? Sudah lama kamu tidak kesini, pemasukan Resto naik pesat, Ai]

"Nanti aku ke Resto, tapi sebelum itu aku harus menyelesaikan urusanku dulu, Nad. Terima kasih, kamu sudah membantuku memajukan Resto orang tuaku," ucapku terharu.

[Kamu itu bicara apa, Ai. Kita sahabat, selama aku bisa membantu, akan kuberikan seluruh tenaga yang aku punya untuk kamu]

"Bu, aku yakin ini gara-gara sambel yang dibuat Mbak Aira." Suara Ibu dan Ratu terdengar dari dalam rumah.

"Nad, sudah dulu, ya. Nanti aku hubungi kamu lagi," ucapku berbisik. Tanpa menunggu jawaban Nadia aku mematikan sambungan telepon sepihak. Cepat aku masuk ke dalam.

Ibu, Ratu, juga Selena melirikku sinis. Ulet keket itu ternyata sudah tidak lemas lagi. "Heh, Aira. Kata dokter Selena sakit perut karena sambal yang kamu buat, kamu harus tanggung jawab!" ujar ibu.

"Kenapa menyalahkan sambal yang aku buat, seharusnya salahkan Selena kenapa dia makan sambal banyak-banyak. Seharusnya kalau sudah tau perutnya tidak kuat pedas jangan sok-sokan makan sambal," jawabku tegas.

"Mbak Aira, pasti sengaja ingin menyingkirkanku biar bisa memiliki Mas Aksa seutuhnya, ya, kan!" tuding Selena sengit.

Aku membuang napas kasar, jangan sampai emosiku terpancing. Kejahatan jangan dibalas kejahatan tapi harus dibalas dengan taktik yang cerdik.

'Sabar, Ai.' Aku terus mensugestikan diri agar sabar menghadapi mereka.

"Terserah kamu mau menuduhku seperti apa. Kamu harus tau, aku bukan tipe wanita yang mengambil bekas orang lain, paham!" ujarku menekan.

Selena terlihat semakin murka, kedua tangan terkepal. "Aku pastikan Mas Aksa akan menalakmu secepatnya!"

"Aku tunggu saat itu," jawabku cuek. Aku meninggalkan mereka masuk ke dalam kamar.

"Awas, ya, kalau itu terjadi jangan menangis," ejek Selena. Tumben ibu dan Ratu hanya diam saja, biasanya mereka digarda paling depan membela Selena.

Tiba di dalam kamar, aku melihat Mas Aksa baru saja keluar dari toilet, wajahnya semakin kuyu tak bertenaga

"Ai, kok, obatnya belum bereaksi, ya." Mas Aksa sampai jalan membungkuk menuju ranjang.

"Masa, sih, obatnya belum bereaksi, Mas?" tanyaku bingung. Setahuku obat itu manjur mengobati sakit perut.

"Sewaktu kamu diluar mas sudah bolak-balik kamar mandi 3 kali, Ai," ringisnya.

Aku yang penasaran, akhirnya mengecek obat yang aku berikan untuk Mas Aksa.

Aku melebarkan mata, kaget. Ternyata aku salah memberi obat yang seharusnya obat mampet malah obat pelancar untuk orang yang sedang mengalami sembelit. Pantas saja obatnya belum bereaksi.

"Kamu kenapa, Ai? Obatnya benar, kan?" tanya Mas Aksa cemas.

Reflek aku menutup mulut dengan tangan menahan tawa, ternyata aku salah memberi obat. Mungkin itu balasan untuk suami yang sudah menyakiti istri.

"Be--benar, kok, Mas," jawabku gugup seraya menggaruk leherku yang tidak gatal. Aku tidak mau Mas Aksa curiga kalau aku memberinya obat yang salah. Aku harus membuat Mas Aksa jatuh cinta lagi sama aku agar misi balas dendamku berhasil.

"Syukurlah, mas pikir kamu marah lalu ngasih obat yang salah, Ai." Wajah Mas Aksa terlihat lega.

Aku mendekati Mas Aksa lalu duduk disampingnya.

"Kalau mas berpikir aku akan balas dendam ke mas dan Selena, mas salah. Aku bukan orang yang bodoh meracuni kalian hanya dengan obat pencahar. Karena aku pintar aku pasti akan memilih meracuni kalian dengan racun sianida biar sekalian kalian bisa bersatu di akhirat," ujarku. Tak lupa kuberikan senyum menyerigai.

Mas Aksa tersentak kaget, bisa kulihat perubahan wajahnya ketakutan. Dia pikir aku akan diam dan menerima dengan ikhlas dimadu. Sorry, ya.

"Ai, Mas minta maaf sudah menyakiti kamu, Mas mohon kamu jangan jadi orang yang jahat. Mas nggak mau mati muda, Ai," katanya memelas.

Cih! Enak sekali bilang maaf dan menyuruhku jangan jadi orang jahat. Aku berubah seperti ini karena kamu yang menyakitiku lebih dulu, Mas.

"Semua sudah terjadi, percuma aku marah sama kamu mas tidak akan merubah keadaan, kamu juga tidak mungkin menceraikan Selena, kan," gumamku berpura-pura sedih.

"Ai, Mas janji akan adil sama kamu dan juga Selena."

Aku tersenyum kecut. "Oh, iya, Karena mas sudah menikah lagi. Jadi, mulai besok urusan keuangan rumah aku serahkan ke Selena termasuk kebutuhan rumah dan dapur," lanjutku.

Mas Aksa terkejut dia menatapku tak percaya. "Kamu tidak mau mengurus mas lagi, Ai?" tanyanya dengan suara bergetar.

Aku menghela napas kasar, untuk apa dia menikah lagi kalau tugas istri baru hanya melayaninya di ranjang.

Ibu dan Ratu menjadikanku babu sedangkan Mas Aksa dengan Selena tugasnya bersenang-senang saja, itu tidak adil.

"Mas, karena mulai besok aku mau kerja lagi. Aku hanya ingin menyiapkan diri, jika sewaktu-waktu kita tidak lagi bersama aku sudah bisa mencari uang sendiri. Dan, sebaiknya mas mulai ajari Selena mengurus rumah jangan hanya bisanya dandan dan goyang saja! Tapi dia juga harus bisa menjadi istri yang baik seperti aku yang bisa mengurus semuanya."

Mas Aksa meremas rambutnya bisa lihat dia sedang frustasi karena aku mau kerja lagi. "Kamu mau kerja lagi, Ai? Terus yang masak siapa?"

Ya Tuhan, bisa-bisanya aku jatuh cinta dengan orang yang tidak punya perasaan. Yang ada dalam pikirannya hanya makan.

"Ya, Mas suruh Selena masak. Dulu waktu aku baru masuk ke rumah ini saja harus bisa masak oleh ibu kamu. Kalau mas keberatan aku kerja lebih baik kita pisah saja, Mas" ancamku.

"Jangan, Ai. Mas tidak mau kita bercerai, mas akan menyuruh Selena menggantikan tugas kamu walau masakkan Selena tidak enak," jawabnya lesu.

Siapa suruh punya istri dua pusing, kan.

"Terima kasih, Mas," ucapku.

Brak!

Brak!

"Mas Aksa, keluar kamu! Kamu tidak boleh tidur dengan Mbak Aira, apa kamu lupa mas kita masih bulan madu," teriak Selena sambil menggedor pintu kamar dengan kencang.

"Tuh, istri baru mas minta ditemani, belum apa-apa dia mau menguasai kamu," sindirku.

"Ya sudah, malam ini mas mau tidur sama kamu saja, ya. Mas kangen kamu, Ai."

"Tidak bisa, Mas. Kalian penganten baru, aku tidak mau menanggung dosa karena kamu tidak adil membagi waktu," tegasku menolak.

"Tapi mas sedang sakit, Ai. Mas mau dimanja sama kamu."

Enak saja saat sakit dia mau aku yang mengurusnya sedangkan saat senang dia dengan Selena.

"Mas Aksa, kalian sedang apa!" teriak Selena semakin kencang. Pintu kamar sampai bergetar karena digebrak dengan keras.

"Mas, sebaiknya kamu keluar. Memangnya mas tidak malu kalau tetangga dengar, ini sudah malam," ujarku kesal. Bisa-bisa pintu kamar roboh jika dibiarkan saja.

"Ok, Mas akan keluar tapi nanti kalau Selena tidur mas pindah ke kamar ini, ya."

Aku hanya menggedik bahu, terserah. Sejujurnya aku sudah malas melayani Mas Aksa, apa lagi perkakasnya bekas Selena.

Dengan langkah berat suamiku melangkah mendekati pintu, aku mengikuti Mas Aksa dibelakang. Tapi sebelum itu aku sengaja sedikit mengacak-ngacak rambutku tak lupa juga membuka satu kancing baju bagian atas. Mas Aksa membuka pintu perlahan, Gadis itu sudah berdiri di depan pintu sembari berkacak pinggang, seolah sedang menggerebek suaminya yang selingkuh.

"Kenapa lama sekali buka pintunya! Pasti kalian sedang macam-macam, ya!" ujarnya menyelidik.

"Kamu itu kenapa, sih, Selena! Mau kami macam-macam juga tidak ada larangan. Aku dan Mas Aksa masih sah pasangan suami istri," sahutku. Aku sengaja mengapit lengan Mas Aksa mesra agar Selena cemburu.

Selena melengos tidak suka, aku yakin dia sedang cemburu karena suaminya berduaan dengan wanita lain walau itu dengan istri sahnya. Tidak ada satu wanita pun yang ikhlas suaminya berduaan di kamar dengan wanita lain. Makanya jangan jadi yang kedua.

"Ada apa ribut-ribut," sela ibu dibelakang Selena.

"Ini, Bu. Mbak Aira melarang Mas Aksa tidur denganku, aku itu lagi sakit butuh suamiku, Bu," rengek Selena.

"Aku juga sedang sakit, Selena. Hanya Aira yang bisa merawatku, kalau kamu sakit ada ibu," keluh Mas Aksa.

"Aksa, apa kamu tidak kasihan dengan Selena. Dia itu baru pindah ke rumah ini, masa ibu yang menemani istri kamu tidur," bentak ibu.

"Ibu benar, Mas. Aku tidak mau ribut, sebaiknya kamu tidur di kamar Selena," kataku.

"Tuh, Mbak Aira saja menyuruh kamu tidur denganku. Ayo, Mas." Selena menarik tangan Mas Aksa menuju ke kamar mereka.

Gegas, aku menutup pintu dan tidak lupa menguncinya. Aku tidak mau tengah malam Mas Aksa masuk ke dalam kamar lalu memintah jatah malam.

*****

Hari ini aku bangun lebih awal, bukan untuk menyiapkan sarapan pagi mereka tapi aku mau luluran dulu sebelum ke resto. Ya, mulai sekarang aku akan merawat diri seperti dulu. Semalam aku tidur sangat nyenyak sekali.

Aku tidak tau semalam Mas Aksa mencoba masuk ke dalam kamar atau tidak karena pintu kamar aku kunci dari dalam.

Kulirik jam di dinding sudah jam 6 lebih lima belas menit. Tanda-tanda kehidupan belum terdengar diluar karena biasanya setiap pagi akan ada suara teriakkan ibu, entah meminta sarapan pagi atau menyuruhku ini itu, aku yakin mereka masih belum bangun.

Setiap hari rutintasku tidak jauh dari memasak sarapan pagi, siang, malam untuk mereka, lalu dilanjut beres-beres rumah tanpa jeda. Kadang aku baru istirahat sampai jam 11 malam.

Selesai membersihkan diri aku mengaplikasikan wajah dengan make up flawless. Setelah dirasa sempurna dandanku, aku keluar kamar.

Gelap. Lampu-lampu di seluruh ruangan masih padam. Ternyata benar mereka belum bangun padahal sudah siang. Kulirik kamar Selena dan juga Mas Aksa masih tertutup. Apa mungkin Mas Aksa belum bangun? Sebentar lagi waktunya Mas Aksa berangkat ke kantor.

Ah, bodo amat. Mulai sekarang aku tidak peduli mau Mas Aksa telat kerja atau tidak karena tugasku sudah aku alihkan ke Selena. Toh, gaji Mas Aksa juga bukan untukku.

Baru saja akan meninggalkan kamar, samar terdengar suara seseorang dari dapur. Karena penasaran aku jalan jinjit mendekati dapur.

"Apa peternakkan kita kebakaran, Pa," pekik Selena.

Ternyata Selena yang sedang menelpon mungkin dengan orang tuanya. Wajah gadis itu nampak panik, lalu tidak lama tubuhnya luruh di lantai sambil menangis.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status