"Maafkan aku…" ucap Nicko dengan nada memelas. "Sayang, lihat aku sebentar saja!" Nicko menggenggam tangan Adita. Menahannya agar tidak mengabaikannya lagi. "Terserah!" Adita menghempas tangan Nicko yang menahannya. Dia kembali masuk ke dalam kamar mandi. Tak lupa untuk menguncinya juga. Beberapa saat lalu… Adita selesai membersihkan tubuhnya. Dia segera mengambil pakaian yang sudah disiapkan. "Nicko sebenarnya kemana? Dia belum kembali juga dari tadi." Adita bergumam sambil menata wajahnya. Setelah selesai, dia memutuskan untuk keluar dari kamar untuk mencari Nicko. Sambil terus melihat ke sana-sini, akhirnya dia menemukan keberadaan sosok laki-laki yang dia cari. "Sedang apa dia dengan wanita itu?..." Adita memperhatikan dengan seksama. Dirinya mulai memanas tatkala melihat wanita yang tidak dia kenal memegang tangan Nicko. Menatap wajah Nicko dengan lekat. Adita mengepalkan tangannya. Dirinya semakin terbakar amarah sesaat wanita yang tidak dikenal tersebut secara ti
Setelah terbang mengundara dengan pesawat, akhirnya Adita dan Nicko sampai di Bandara Udara Internasional Los Angeles, California Amerika serikat. Dengan tak sabarnya, Adita langsung turun dari pesawat tanpa menunggu Nicko terlebih dahulu. Dia berlari mencari toilet yang terdapat di bandara tersebut. Perutnya yang amat melilit mengakibatkan dia lupa bahwa di dalam pesawat pribadi Nicko pun memiliki toilet. Ada apa dengan Adita? "Eughh!! Leganya…" Adita menilik perutnya sendiri. Mengusap-usap lega. Akhirnya beban di ususnya keluar. "Aku lupa… astaga! Nicko, aku belum izin dengannya!" Adita membasuh wajahnya. Dia langsung keluar dari toilet dan berlari menuju tempat semula pesawat pribadi Nicko landing. Namun sayang, Adita tidak menemukan Nicko. Sepertinya pesawat sedang dibersihkan. Adita menjadi pusing sendiri. "Apa aku ditinggal oleh Nicko di sini?" "Aaargh… menyebalkan!" Adita melangkah lebar menuju parkiran. Hanya menebak kalau Nicko pasti di sana menunggunya. "Tapi…
"Qea, kamu yakin yang tadi itu cuma simulasi? Bagaimana kalau asli?" Tanya Adita resah. Sekarang, mereka berada di cafe Orleans. Menyantap makanan yang telah dipesan. "Kakak tenang aja. Itu simulasi kak. Percaya deh sama Qea." "Ehm." Adita mengangguk ragu. Walaupun hanya dia yang mengucapkan janji suci pernikahan, tanpa ada mempelai pria tapi tetap saja Adita merasa takut. Apalagi mendengar suara pastor tersebut seperti bukan mengada-ada. *Apa Nicko tidak mencariku? Di mana dia sekarang? Jadi benar, kalau aku sengaja ditinggalkan di Bandara?* "Menyebalkan! Awas saja nanti!" Gumam Adita. Mengingat bagaimana Nicko meninggalkannya tanpa belas kasihan di Bandara membuat hatinya berkali-kali memanas. Niat hati dari laki-laki tersebut ingin mengajaknya berlibur di Desneyland California Amerika serikat justru pergi meninggalkannya. "Apa kakak mau pesan makanan lagi?" Qea menggoncang lengan Adita. Menyadarkan lamunannya. "Eh?.. A-aku kenyang. Hehe…" Adita meneguk jus buah guna
*Ikatan suci ini akan selalu aku jaga. Walaupun aku mendapatkan itu dengan cara yang sedikit memaksa, tapi aku harap kita akan selalu bersama selamanya.* Pagi yang cerah berseri, sama halnya dengan Nicko. Hatinya berbunga-bunga. Tak ada keraguan sepanjang langkahnya ke depan. Memiliki Adita sepenuhnya adalah pencapaian terindah. Sekarang, tak akan ada celah lagi untuk pergi meninggalkan Nicko. Masih bergelut dengan alam bawah sadar, Adita tertidur damai dengan guratan melengkung tipis pada bibirnya. Entah apa yang ada di dalam alam bawah sadar Adita. Yang pasti hati Nicko kian menghangat melihat wajah Adita yang tampak berseri pagi ini. "Aku suka melihatmu seperti ini. Tersenyum indah walau sedang tidur. Tetaplah seperti ini. Aku menyukainya…" Tiba-tiba saja, kedua kelopak mata Adita terbuka. Menampakkan iris abu-abu yang indah. Menatap wajah Nicko yang sedang memperhatikannya. "Uh.. kau sudah bangun ternyata…" Adita mengucek matanya. Menguap lalu memeluk tubuh Nicko. Seper
"Ini penginapan kita. Kalau kamu ingin memasak sesuatu, bahan-bahannya sudah tersedia di dalam kulkas." "Hem… aku tidak sabar untuk bermain air!" Nicko mendengus kesal. Mereka tiba di Papua barat itu sekitar pukul sepuluh malam. Sebelumnya, mereka transit terlebih dahulu karena cuaca yang buruk. "Istirahatlah… besok kamu bisa bermain air, sepuasnya!" Adita menjingkrak senang. Dia menggandeng Nicko mencari kamarnya. "Kita… satu kamar?" Adita menoleh setelah melihat kamar yang amat luas dengan pemandangan langsung ke arah lautan dan pepohonan. Nicko yang masih berdiri di ambang pintu, dia menjawab. "Ini honeymoon sayang, bukan study tour anak remaja!" "Ish!!" "Ya sudahlah. Aku ingin membersihkan tubuhku dahulu. Di mana kamar mandinya?" Nicko hanya menunjuk sudut dari kamar. Sebuah pintu transparan, dengan jendela kaca memanjang di sampingnya. Tanpa banyak bicara, Adita langsung masuk begitu saja tanpa mengambil pakaian ganti ataupun handuk. "Lihat saja nanti, malam ini a
Raja Ampat adalah sebuah kabupaten dan merupakan bagian dari Propinsi Papua Barat. Untuk mencapai Kepulauan ini, kita harus menginjakkan kaki di kota Sorong terlebih dahulu. Biasanya para wisatawan banyak menggunakan penerbangan untuk sampai ke kota ini. Setelah sampai kota Sorong, kita dapat menggunakan sejenis kapal cepat yang biasa berlayar dua kali sehari menuju Waisai, ibukota kabupaten Raja Ampat. Perjalanan hanya akan memakan waktu sekitar 2-3 jam saja dari pelabuhan Sorong, hingga sampai di pelabuhan Waisai Raja Ampat. Secara umum, Raja Ampat adalah kepulauan yang terdiri dari banyak sekali pulau karang dan tersebar luas di seluruh wilayahnya. Namun demikian, Raja Ampat memiliki 4 pulau utama yang paling besar, yaitu Pulau Waigeo, Pulau Batanta, Pulau Salawati, dan Pulau Misool. Empat pulau besar inilah yang menjadi titik awal penyebaran seluruh penduduk Raja Ampat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Wilayah perairan adalah daya tarik utama Raja Ampat, mengingat pe
"Yeahh… lebih keras sayang. Ouhh… pertahankan…" Nicko berbaring telungkup. Sesekali mengerang nikmat atas apa yang Adita lakukan pada tubuhnya. "Uhh… iya di situ saja. Tekan lebih kuat! Ouh… aaahhh…" Adita menggelengkan kepalanya. Tangannya mengusap bulir keringat yang keluar dari keningnya. Memijat punggung Nicko lumayan memeras tenaganya. "Capek?" Nicko sedikit mengangkat tubuhnya, menoleh ke belakang melihat Adita yang terlihat dibanjiri oleh keringat. "Banget! Aku heran, ini punggung manusia atau punggung buaya?" Nicko berdecak. Dia kembali menelungkupkan wajahnya di bantal. "Buaya apa? Darat atau buntung?" Adita menarik napasnya dalam. Menekan lebih kuat pijatannya lalu menjawab, "Buaya darat! Buaya buntung itu seram!" "Ohh…" Nicko sedikit terkekeh kecil. "Sayang, bukannya aku sudah menawari kalah biar tukang pijat saja? Kenapa malah marah-marah? Suka rela dong…" Adita diam. Memang benar apa yang Nicko katakan. Nicko tidak menyuruh Adita untuk memijatnya, dia ju
"Engghh…" Adita mengusel pada ketiak Nicko. "My wife… oh my God!!" Nicko meluruskan tangannya ke samping. Memberikan akses pada Adita yang masih setengah sadar. Namun tak lama, mata indah itu terbuka. Bulu mata lentik itu berkibar-kibar. Tatapan pertama kali dilihat Adita, ialah wajah Nicko yang berantakan. Rambut kusut dan tak terlihat fresh. Adita mengangkat kepalanya. Menidurkannya di atas dada Nicko. Memeluk erat tubuh Nicko. "Peluk lagi yang kenceng!..." Nicko terkekeh. Matahari sudah meninggi dan mereka masih bergumul dengan selimut. Adita sendiri justru manja sekali dengan Nicko. Ingin ini, itu. Usap sana, usap sini. Membuat Nicko super gemas. "Usapin punggung aku Nick…" "Ehm sayang, bagaimana semalam? Apa… aku terlihat berbeda?" Nicko membelai rambut Adita. Kusut. Sama seperti dirinya. Mungkin akibat terlalu tergesek dengan tempat tidur. Pula belum di sisir pagi ini. Bukannya menjawab Adita justru mencubit perut Nicko. Namu sia-sia. Nicko tak merasakan sakit. "Ka