Share

BAB 3

"Ck!" Elya berdecak sebal saat mengecek notifikasi di ponselnya. Nihil.

"Awas kau, Mas! Dasar lelaki sialan!" Maki Elya sambil membanting tubuhnya ke atas sofa mewah di ruang tengah.

Bram benar-benar melakukan apa yang dikatakannya beberapa minggu lalu. Tidak ada lagi jatah bulanan untuk Elya. Biasanya, jam sepuluh pagi sudah ada notifikasi transfer masuk dengan jumlah yang cukup fantastis dari Bram. Tapi ini sudah jam tiga sore belum juga ada notifikasi. Belum ada atau tidak akan ada?

Elya mendengus sebal.

“Kau kira aku akan bersimpuh mengemis harta padamu, Mas? Tidak akan!”

“Baiklah. Kuikuti permainanmu. Kita lihat, seberapa kuat kau bertahan mengikatku, Mas. Akan kubuat kau berada dalam dua pilihan, melepaskan atau tersiksa selamanya.”

Elya beranjak berdiri dan berjalan menuju dapur. Jadwalnya memasak. Dia memang selalu memasak untuk makan malam sekitar jam tiga sore agar masih punya banyak waktu untuk mandi dan merapikan diri sebelum suaminya pulang.

Air mata Elya tiba-tiba mengalir begitu saja. Wanita itu terisak. Kakinya lemas. Dia terduduk di lantai. Pisau yang digunakannya untuk memotong bawang terjatuh.

Kelebatan bayangan itu kembali menari. Dihina, dicaci, direndahkan oleh saudara suaminya. Selama ini dia masih bisa bertahan karena ada Bram yang selalu menguatkannya. Ada Bram yang menerima semua kekurangannya. Ada Bram yang selalu berbisik, dia sangat mencintainya. Ada Bram yang selalu mengatakan, dia tidak akan pernah meninggalkannya.

Ternyata semua itu dusta. Tangisan Elya bertambah keras. Terdengar sangat menusuk jiwa. Dia memukul-mukul dada untuk mengurangi rasa sakit di hatinya.

Sekuat apapun dia berusaha mengacuhkan Bram. Setegar apapun dia berusaha terlihat. Dia tetap wanita biasa. Seorang istri yang sangat mencintai suaminya. Seorang istri yang berharap bisa menua bersama.

Perasaannya pada Bram terlalu dalam, sehingga saat lelaki itu ternyata menyimpan dusta, dia jatuh sesakit-sakitnya.

Perasaan cinta itu berubah menjadi benci, perasaan sayang itu berubah menjadi murka. Cintanya tercabut. Nuraninya terluka. Tiada sehari pun hatinya berhenti berdarah, sejak detik dia mengetahui Bram adalah seorang pendusta.

Dua minggu Elya menghilang. Dia butuh berpikir jernih sebelum memutuskan. Bram kelabakan, seperti orang gila dia mencari Elya. Saat Bram sudah putus asa, Elya akhirnya pulang. Hanya raganya, tidak dengan hatinya.

Bram bersimpuh memeluk kaki Elya saat wanita itu menatapnya dingin. Mulutnya terkunci. Tidak ada celah baginya memberikan pembelaan apapun atas semua perkataan Elya.

Elya tahu Bram tidak akan melepaskannya. Tidak masalah. Dia akan membuat lelaki itu tersiksa dengan caranya.

Elya menghapus air mata saat kenangan itu kembali berputar. Sempurna dibentangkan di depan matanya.

Hatinya telah mati, tapi perasaan kecewa itu tak bisa hilang begitu saja.

Wanita itu mengambil pisau yang terjatuh dan melanjutkan mengiris daun bawang. Sesekali dia menyeka air mata yang masih enggan berhenti mengalir.

Sungguh, ada masa di masa lalu, dia berharap bisa menua bersama Bram.

***

"Mau kemana, El?" Bram menyapa Elya yang sedang sibuk memakai make up di meja rias.

Dia meletakkan tas kerja dan sepatu pada tempatnya. Dulu, Elya dengan senang hati menyambutnya di depan pintu. Mengambil tas yang dibawa Bram, melepaskan sepatu, kemudian menggandeng tangan Bram menuju kamar untuk beristirahat sejenak, sebelum mandi dengan air hangat yang telah disiapkannya.

Ah... Bram benar-benar merindukan masa itu.

"El?" Bram bertanya lagi saat Elya bergeming.

"Keluar sebentar." Elya menjawab singkat. Tangannya sibuk mengoleskan lipstik berwarna peach di bibirnya.

Cantik. Siapapun yang melihat penampilan Elya pasti langsung setuju dengan kata itu. Tidak ada deskripsi lain yang bisa menggambarkan penampilan seorang Elya Khanza Haryadi, kecuali cantik.

Atasan semi formal hijau tua, dipadukan dengan celana span berwarna senada membuat penampilan Elya terlihat anggun. Ikat pinggang kecil dengan merk ternama melengkapi penampilannya. Manis, dan terlihat sangat berkelas.

Selera fashion yang tidak perlu diragukan lagi. Menggambarkan level si empunya.

"Kemana?" Rahang Bram mengeras. Dia berusaha meredam emosi yang tiba-tiba terasa bergejolak.

Elya tidak menanggapi pertanyaan Bram. Dia sibuk memasukkan benda-benda ke dalam tasnya, kemudian mengambil map yang entah berisi dokumen apa.

"Aku tidak mengizinkanmu pergi, El!" Bram berdiri. Menahan pintu saat Elya berusaha membukanya.

"Aku tidak membutuhkan izinmu untuk pergi, Mas." Elya tersenyum tenang menghadapi emosi Bram yang berkobar.

"Kau masih istriku, Elya!" Wajah Bram memerah.

"Kapan kau akan menceraikanku agar aku bukan lagi istrimu?" Elya bertanya lembut. Tangannya anggun menyibak rambutnya yang tergerai.

Bram mendengus.

"Kemana?!" Bram kembali bertanya.

"Apanya?" Elya mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Sejenak mengecek notifikasi.

"Kamu mau keluar kemana, El?" Bram akhirnya melembut. Dia lelah.

"Ketemu salah seorang teman, masalah kerjaan." Elya bersorak dalam hati melihat wajah lelah Bram.

“Menyerahlah, Mas! Lepaskan aku.” Batin Elya berbisik. Dia tersenyum menatap Bram yang masih menghalangi pintu.

"Kerjaan?" Mata Bram memicing.

Elya mengangguk. Matanya berkedip-kedip menggemaskan. Bram mendesah. Dulu, Elya sering melakukan itu untuk membujuknya kalau sedang menginginkan sesuatu. Namun, kini Elya jelas sedang mengejeknya.

"Sejak kapan kamu kerja?" Bram berusaha menahan diri. Dia tahu, semakin dia marah semakin Elya menjadi.

"Belum, baru mau, Mas. Sayang kan ijazah S2 ku ini dianggurin saja. Berdebu di sudut lemari. Lama-lama dimakan rayap nanti." Elya tertawa kecil sambil mengangkat map yang dipegangnya. Dia menggoyang-goyangkan map itu di depan Bram.

Sebelum menikah Elya bekerja di salah satu perusahaan minyak milik asing. Dia dan Bram sering bertemu sebagai mediator antara perusahaan tempatnya bekerja dan perusahaan Bram.

Hati Bram terpanah. Elya, bintang terang di perusahaan minyak itu mencuri hatinya.

Seiring waktu rasa itu mulai berkecambah, makin lama makin subur. Seperti pohon yang dirawat dengan baik, disiram, dipupuk. Pohon itu akhirnya berbuah. Mereka memutuskan menikah.

Bram meminta Elya resign, agar fokus pada keluarga kecil mereka. Elya menyanggupi, dengan syarat Bram harus memberi jatah bulanan sebesar gaji yang diterimanya, diluar kebutuhan rumah tangga. Tidak masalah. Bram, anak sulung sekaligus cucu pertama di keluarga Harimurti, adalah penerus estafet perusahaan keluarga. Uang bukan halangan.

Sayang, sampai tahun kesepuluh pernikahan mereka, belum ada buah hati yang meramaikan hari-hari yang mereka lalui. Membuat kesempurnaan Elya sebagai seorang istri dan sebagai seorang wanita tercoreng. Tak ada gading yang tak retak, ucapan yang selalu digaungkan keluarga Bram.

Sampai akhirnya beberapa bulan lalu, Elya menemukan rahasia besar suaminya. Kebenaran yang selama ini ditutupi Bram. Dusta besar yang disimpannya dengan rapi. Dusta dari seorang lelaki yang bergelar suami.

Elya meradang. Hatinya terkoyak. Rasa cinta itu dalam sekejap berubah menjadi murka. Elya memutuskan bangkit, memutuskan membalas Bram dengan cara yang paling menyakitkan.

"Aku butuh uang, Mas. Untuk membeli skincare, perawatan ke salon, berkumpul haha-hihi dengan teman-teman sosialitaku." Elya mengedikkan bahu, mengembalikan ucapan Bram beberapa waktu lalu.

Elya maju beberapa langkah, membuat dia dan Bram hanya berjarak beberapa senti saja. Dekat. Sangat dekat.

"Kau tidak mau memberi, aku bisa mencari uang sendiri. Walaupun itu kewajibanmu, tak masalah, Mas, aku mampu menghidupi diriku sendiri." Elya berkata lembut sambil menatap mata Bram.

Tangan Elya bergerak mengelus dada suaminya itu. Elya maju selangkah lagi, membuat mereka tidak berjarak.

"Minggirlah, Mas. Biarkan aku pergi, jika kau sudah tak mampu menafkahiku lagi." Elya berbisik tepat di telinga Bram, meruntuhkan harga dirinya sebagai seorang suami.

Bram mematung. Elya dengan anggun membuka pintu. Dia memberikan senyum termanis pada Bram, sebelum akhirnya berbalik sambil melambaikan tangan.

"ELYAAAAAA…" Bram berteriak. Tinjunya berdebam mengenai dinding. Berdarah. Tangan itu berdarah.

Bram terduduk. Tangannya berdenyut, tetapi dia tahu, sakit yang dirasakannya, tidak sebanding dengan sakit di hati Elya.

Dia benar-benar bodoh. Dia lupa siapa istrinya karena terbuai dengan sikap lembutnya selama ini. Istri yang penurut, istri yang selalu melayani suami dengan baik.

Elya. Wanita dengan segala kesempurnaannya itu, kini bagai macan tidur yang dibangunkan.

Bram mendesah. Bahkan jika harus menukarnya dengan nyawa, Bram lebih memilih mati dari pada kehilangan seorang Elya. Dia tidak akan melepaskannya sampai kapanpun!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Yah elah lu gugat cerain aj lha bukti udah ada
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status