[Lisa? Ini betulan elu yang nulis?]
Lisa dengan cepat mengetik pesan balasan dan langsung mendapatkan respons dari Ninik yang pada saat itu juga sedang online.Lisa: [Iya. Kenapa lagi?]Ninik: [Good job! Nah, gue bilang apa, elu pasti bisa. Cakep ini, cakep banget buat pemula, say. Adegannya serasa real.]Lisa mengulum senyum, tak mengatakan bahwa adegan ciuman yang ada dalam novelnya itu terinspirasi dari kisah nyatanya sendiri.Setelah selesai berbalas pesan dengan Ninik, Lisa kemudian menutup gorden jendela kamar penginapannya. Dia mendesah jengkel karena hari sudah mulai sore, di luar sudah mulai gelap. Sebentar lagi malam.“Sial. Sayang banget aku menghabiskan liburanku cuma buat rebahan di kamar aja!”Lisa telah mengeluarkan uang cukup banyak buat liburannya ini. Demi menghibur dirinya usai perceraian. Dia berhak bergembira meskipun hanya untuk sesaat, tak peduli sekembalinya ke Jakarta nanti hidupnya masih tetap berjalan dengan tidak baik-baik saja.Setelah mandi dan berdandan secukupnya, Lisa pergi ke sebuah kafe di dekat pantai. Dia ingin menikmati malam indah ini dengan santai. Lisa memesan secangkir kopi dan sepotong kue. Dia mengambil tempat duduk yang paling jauh dari panggung yang sedang menyuguhkan musik secara live.Saat sedang menikmati kopinya, tiba-tiba suara bariton yang semalaman kemarin begitu familier di telinganya datang menyapa, “Eh. Kamu? Sendirian?”Lisa terkesiap melihat pria itu ternyata ada di kafe yang sama dengannya. Beberapa kancing kemejanya yang terbuka di bagian atas mengisyaratkan bahwa malam ini adalah tentang kesenangan tanpa batas, dan rambut ikal cokelat yang diterawang oleh cahaya kafe menambah dimensi magis pada penampilannya yang seakan dirancang untuk mencuri perhatian.Dengan senyum yang menghipnotis, pria itu mendekat seperti seorang ksatria yang siap memenangkan hati sang puteri. Saat pandangannya bertemu dengan mata Lisa, dunia seakan terhenti sejenak, dan getaran romansa seolah baru saja dihidupkan ketika keduanya saling berbagi senyum.“Loh, kamu?” Tatapan Lisa memindai sejenak ke sekeliling pria itu. “Sendirian juga?”Pria itu mengangguk, senyumnya mencerminkan keakraban yang sudah mulai terbangun di antara mereka. Dia menarik kursi dan duduk di hadapan Lisa, menciptakan ruang pribadi di tengah kebisingan kafe. Kemudian waitres yang ramah menghampiri setelah pria itu melambaikan tangan memanggilnya.“Kamu mau tambah pesanan lagi?” tanyanya yang disambut gelengan kepala oleh Lisa.“Yakin?”Lisa akan menggeleng lagi, tetapi tiba-tiba saja tatapan Lisa menangkap sosok pria yang tak asing di matanya. “Ardi?” gumamnya dalam hati.Ya, Lisa yakin pria yang baru saja memasuki kafe sambil merangkul mesra seorang wanita di sana adalah mantan suaminya. Dan wanita itulah sosok yang menjadi alasan Ardi menceraikannya.Sial. Apakah Lombok begitu sempit sampai-sampai dia harus bertemu lagi dengan sepasang manusia yang paling ingin dihindarinya itu di sini?“Steak di sini terkenal enak loh, rugi kalau kamu—”“Oke, tambahkan saja pesanan buatku.” Lisa memotong ucapan pria di depannya dengan cepat.Diam-diam Lisa merasa bersyukur dengan keberadaan pria ini bersamanya. Keberadaan pria ini tiba-tiba saja membuatnya merasa sedikit tenang di tengah perasaannya yang sedang terguncang.Lisa mengerling ke arah Ardi yang sedang menarik sebuah kursi untuk wanitanya. Hal yang tak pernah sekalipun dilakukan Ardi untuk Lisa sepanjang 2 tahun pernikahan mereka.Meskipun duduk di tengah keramaian kafe, tiba-tiba Lisa merasa seolah dirinya terperangkap dalam gelembung waktunya sendiri. Lisa melirik sekeliling, melihat pasangan-pasangan yang mesra berdua di kafe tersebut. “Semua orang sepertinya sudah memiliki seseorang,” gumamnya sambil merenung tentang kehidupan yang selama ini dia lewati sendirian, baik sebelum dan sesudah perceraiannya.Pria di depannya menangkap ekspresi Lisa yang berubah murung. "Tidak ada yang salah dengan itu, kesendirianmu. Setiap orang punya waktu dan jalan masing-masing," ucapnya.“Bagaimana denganmu? Apa kamu sudah punya seseorang? Rasanya tak mungkin pria sepertimu belum ada pasangan.”“Memangnya menurutmu aku pria seperti apa?”“Kamu,” Lisa mengedikkan bahunya, “secara kasat mata … tampan, menarik, dan kurasa kamu juga sudah mapan. Kamu memiliki syarat mutlak yang dicari-cari banyak wanita. Kamu tampak … sempurna sebagai pria.”Pria itu menyeringai melihat reaksi jujur Lisa. "Aku bukanlah pria sempurna. Ada cerita di balik senyuman ini." Sorot matanya seakan turut menceritakan keping-keping masa lalu yang pernah membekas."Apa ceritamu?" Lisa bertanya untuk mengabaikan keberadaan Ardi dan wanitanya yang kini duduk berdua tak jauh dari mejanya.“Aku single, duda tepatnya,” sahut pria itu seraya tersenyum. “Aku pernah menikah, tapi kemudian bercerai. Beberapa tahun kemudian, aku kembali menemukan wanita yang membuatku merasa jatuh cinta. Aku pun melamarnya setelah kami menjalin hubungan asmara yang mengesankan. Tapi dia menolak lamaranku, dia pilih rujuk dengan mantan suami yang ternyata masih dicintainya.”"Dan kamu kembali terluka.” Lisa menyahut lirih, menunjukkan simpatinya.Pria itu malah terkekeh dengan santainya. "Begitulah. Terkadang penampakan luar bisa menipu. Meski seseorang tampak memiliki segalanya, tapi tetap saja bisa merasa sepi dan sendirian. Aku juga punya kekurangan yang membuatku ditinggalkan oleh wanita yang kucintai. Apa yang kamu lihat dariku tentang kesempurnaan, tak selalu mewakili keadaanku sebenarnya."Lisa meresapi kata-kata itu dengan serius, mendapati sebuah kebenaran di baliknya. Benar, kehidupan tidak selalu seindah dan sesempurna yang tampak dari luar. Tiba-tiba dia mendapatkan inspirasi untuk kisah novelnya. Tentang bagaimana pria itu, meski berada di puncak kesuksesan dan memiliki penampilan yang menarik, tetap harus merasakan kehampaan dan kekecewaan di dunia cinta.Sambil mendengarkan pria itu bicara, sesekali Lisa melirik ke meja Ardi. Dan lagi-lagi, hatinya kembali diremas sakit melihat bagaimana Ardi memperlakukan Mina –nama wanitanya itu– dengan begitu romantis. Dan dia kesal pada dirinya sendiri karena masih saja memberi ruang dalam kepalanya untuk memikirkan para pengkhianat itu."Patah hati itu bagian dari perjalanan kita, bukan? Dan sejak saat itu, kuputuskan untuk tidak terlalu serius. Mencari kebahagiaan di setiap kesempatan, itulah prinsipku sekarang. Nikmati saja setiap momen.” Pria itu memandang Lisa dengan mata berbinar di penghujung ceritanya.Lisa tersenyum canggung. Dia menyesal telah melewatkan beberapa penggalan kisah yang baru saja diceritakan oleh pria ini gara-gara pikirannya tadi sempat terbagi dengan si mantan.“Lalu, bagaimana denganmu? Kenapa kamu bercerai?” Pria itu gantian bertanya.“Dia selingkuh.” Lisa menjawab singkat lalu terdiam. Dan pria itu cukup peka dengan tidak melanjutkan pembahasan itu lagi. Bertepatan dengan itu, pesanan mereka datang. Keduanya pun diam sejenak ketika waitres sedang menyajikan pesanan mereka.“Well, selamat makan,” ucap pria itu sambil tersenyum.Ketika Lisa melirik lagi ke meja Ardi, tanpa sengaja tatapan mereka bertemu. Jantung Lisa rasanya seperti ditarik keluar, namun keberadaan pria tampan di depannya ini lagi-lagi telah membuatnya tenang. Lisa. pun memainkan perannya dengan sempurna, seolah-olah dia telah melupakan segalanya dan menemukan kebahagiaan baru bersama pria tampan di hadapannya ini.Lisa kemudian menceritakan beberapa hal konyol kepada pria di depannya, dan pria itupun menyambutnya dengan derai tawa merdu yang enak sekali didengar. Keduanya tak terlihat seperti dua orang yang baru saja saling kenal kemarin.Diam-diam Lisa melirik Ardi dengan senyuman penuh arti, seakan dia sedang memberikan sinyal bahwa dia telah move on dan menemukan kebahagiaan baru. Tatapannya yang penuh percaya diri seakan mengatakan, "Lihatlah, aku baik-baik saja tanpamu."Lisa kemudian mengalihkan tatapannya lagi pada pria tampan di hadapannya ini. Mereka berdua kini sibuk dengan percakapan ringan dan tertawa riang. Lisa memainkan peran wanita yang bahagia dan terlindungi, meskipun dalam hatinya retak oleh pertemuan tak terduga dengan mantan suaminya di tempat ini.Ada sorot puas di mata Lisa ketika Ardi tampak menelisik setiap gerakannya. Ardi seperti sedang mencari tahu apakah Lisa benar-benar bahagia atau hanya berusaha menutupi luka yang masih dalam.Lagi-lagi Lisa dan pria tampan itu berbagi tawa yang lebih keras, menciptakan suasana riang di antara mereka. Lisa bahkan berani menyentuh lengan pria itu dengan lembut, menciptakan ilusi keakraban yang lebih dalam. Setiap gerakan dan senyuman mereka terlihat begitu alami, seolah-olah mereka adalah pasangan yang telah bersama selama bertahun-tahun.Ketika hari semakin larut, Lisa tak melihat tanda-tanda Ardi dan Mina akan pulang lebih dulu, sedangkan pria di depannya ini sudah memanggil waitres untuk menyelesaikan tagihannya. Dan setelah ini, mereka akan segera berpisah.Lisa menggigit bibir. Sebenarnya dia tak ingin mengatakan ini, tetapi gengsinya kepada mantan suami dan wanitanya itu terlalu tinggi. Bagaimanapun, sandiwaranya tentang dirinya sudah memiliki pria baru harus tetap berlanjut, setidaknya hanya untuk saat ini. Dia harus tetap terlihat berdampingan dengan pria ini.“M-maaf. Apa kamu … mau … mengantarku pulang ke penginapanku?” Lisa berkata pada pria di depannya ini dengan harap-harap cemas.***Motor CBR yang membonceng Lisa baru saja tiba di halaman parkir penginapan Lisa ketika tiba-tiba saja langit bergemuruh dan hujan turun dengan deras. “Ayo masuk, tunggu saja di dalam,” ajak Lisa. Ruangan kamarnya mendadak terasa menyempit ketika Lisa sadar ia hanya berdua saja dengan pria yang memiliki tubuh tinggi tegap itu. Sementara hujan kian menderu di luar sana disertai angin kencang. “Padahal ini bukan musim hujan, kan?” kata Lisa sambil menyeduh teh. “Sepertinya teori angin muson barat dan angin muson timur yang mempengaruhi musim di Indonesia sudah tidak relevan lagi,” sahut pria itu seraya tertawa lirih. Mereka mengobrol sambil menikmati teh panas buatan Lisa, sambil menunggu hujan reda. Tetapi hujan justru turun semakin deras. Dan ketika petir menyambar dengan kerasnya, Lisa terpekik sambil menutup kuping. Secara refleks pria itupun memeluknya. “Hei, tenanglah ... kita aman di sini.” Suara bariton itu berbisik lembut di telinganya. Kehangatan terasa memancar dari tu
Lisa terbangun dengan nyeri yang masih begitu terasa menyengat. Rasanya betul-betul tak nyaman. Dia menggigit bibir sambil mendesah pelan. “Sialan, nggak enak banget sih,” gumamnya sambil meringis. Seketika dia baru sadar dengan apa yang telah terjadi semalam. Lisa terkesiap dan menoleh cepat ke sisi ranjangnya yang sudah kosong. “Ke mana dia?” gumamnya sambil mengedarkan pandang, mencari-cari sosok pria yang bercinta dengannya semalam. “Apa mungkin sedang di kamar mandi?” pikirnya. Lisa mengulum senyum dengan wajahnya yang tersipu-sipu. Dia telah bercinta dengan pria paling tampan yang pernah dilihatnya. Meskipun sepertinya mungkin jarak usia mereka terpaut cukup jauh, 10 atau 12 tahun mungkin, tapi mereka terasa begitu cocok semalam. Namun senyum di wajahnya segera sirna ketika tatapannya membentur secarik kertas yang tergeletak di atas nakas. Jantungnya seketika berdegup kencang. Iapun memaksakan diri beranjak dari ranjang sambil menahan segala ketidaknyamanan usai percintaan y
Keadaan membuat Lisa teramat marah. Ingin rasanya dia pergi menemui Ardi dan melabrak mantan suaminya itu. Tapi dia pikir, kemungkinan Ardi masih berada di Lombok saat ini. Lisa memutuskan untuk meneleponnya. Dia menempelkan benda pipih itu ke telinganya dengan jantung berdebar-debar, menunggu respons Ardi. Setelah beberapa waktu, suara sang mantan akhirnya terdengar di ujung telepon. “Halo.” “Pihak bank menyita rumahku hari ini,” kata Lisa tanpa basa-basi. “Lalu?” Ardi menyahut dengan entengnya. “Kamu bilang akan melunasi utang itu. Tapi mana? Mereka menyita rumahku, berarti kau tak pernah membereskan utang itu, kan?” cecar Lisa sambil menangis. Ardi malah tertawa. “Lucu banget? Padahal kamu yang butuh uang sebanyak itu. Aku cuma membantumu mendapatkan pinjaman dengan mengagunkan rumahmu.” “Kamu tahu sendiri mamaku saat itu sakit keras, Ar! Aku butuh dana cash dalam jumlah besar, lalu kamu yang mengusulkan agar aku meminjam bank dengan jaminan rumah itu. Dan kamu bilang akan
Kekecewaan terasa melingkupi perasaan Lisa. Dia merasa seperti sedang bertepuk sebelah tangan. “Wah. Sepertinya, aku bukanlah satu-satunya partner ‘cinta semalam’-mu ya?” Lisa berkata sambil menjaga ketenangan suaranya dalam menanggapi ucapan pria itu tentang dia sering mengeluarkan cek.Terdengar tawa lirih pria itu. “Oh, ini kamu ya? Maaf, waktu itu aku pergi buru-buru karena ada hal mendesak. Tidurmu terlihat nyenyak sekali saat itu, aku—”“Bisa kita bertemu? Nanti siang. Ini juga mendesak. Penting.” Lisa sengaja memotong ucapan pria itu. Diam-diam rasa kesal bercampur senang menyelimuti hatinya, setidaknya pria itu masih mengingatnya. Tapi Lisa tak ingin bermain-main perasaan lagi dengannya. Pengalaman semalam bersamanya itu saja sudah cukup.“Siang nanti jadwalku padat, bagaimana kalau jam 9 pagi saja? Kita ketemu di coffee shop yang ada di lantai dasar Gedung Menara 2 Sutomo Group?”“Oke.”“Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?” “Tidak, itu saja. Kita bisa bicara lagi nanti saa
“Tepat jam 9 kan,” pria itu berkata seraya mengangkat dan melirik arloji di tangannya, “aku nggak terlambat, kan? Apa kamu juga baru datang?” ujarnya sambil tersenyum. Pria itu berdiri di hadapan Lisa, tinggi tegap. Balutan jas abu-abu gelapnya memberikan sentuhan elegan yang menonjolkan kegagahan. Meskipun dasinya belum terpasang, pria itu tampak begitu menawan dengan aura maskulin yang melingkupinya. Jasnya dipadukan dengan kemeja putih bersih yang dua kancing bagian atasnya dibiarkan terbuka. Rambut cokelatnya yang teratur menambah kesan tegas pada wajahnya yang tampan. Matanya, yang berwarna karamel, memancarkan kepercayaan diri dan kepribadian yang kuat. Senyum yang menghiasi bibirnya menambah pesona pada setiap gerakan tubuhnya yang elegan. “Yeah,” Lisa mengangguk, “aku baru saja memesan kopi,” lanjutnya. Pria itu kemudian menoleh pada si kasir. “Mbak. Kembalikan uangnya, dia tamu saya, digabung saja dengan tagihan saya. Dan, tolong buatkan kopi saya seperti biasa ya,” katany
“Done. Seratus juta. Bukti transfernya sudah kukirim ke nomormu,” kata Vincent sambil tersenyum santai, seakan seratus juta hanya angka yang biasa baginya. Lisa, di sisi lain, merasakan kelegaan saat melihat saldo rekeningnya bertambah, meskipun masih jauh dari total tunggakan utang yang membebani pikirannya. Tapi setidaknya, dengan kondisinya yang bokek berat dan tak punya pekerjaan tetap, dia bisa bertahan hidup dengan uang ini. ‘Dia pasti tajir mampus,’ pikir Lisa dalam hatinya, sambil menutup aplikasi m-banking. “Oke. Makasih,” ucapnya lirih. “Nah. Urusan kita sudah selesai, kan?” Suara bariton Vincent memecah lamunan Lisa. “Eh, i-iya. Sudah. Terima kasih,” angguk Lisa. Bersamaan dengan itu, seorang pramusaji datang membawa nampan yang berisi kopi pesanan mereka. “Tak perlu berterima kasih, aku yang harusnya berterima kasih. Juga, maaf karena aku betul-betul tak sengaja tidak menandatanganinya,” kata Vincent sambil mengangguk sopan. Lisa tersenyum sejenak pada si pramusaji y
Vincent melangkah tegap memasuki lobi gedung Menara 2 Sutomo Group. Seorang petugas keamanan, yang tampak telah terlatih dengan baik, dengan sigap membuka jalan. "Permisi, tolong beri jalan, Pak Vincent mau lewat," ucapnya tegas. Kerumunan karyawan di sekitar lift pun dengan patuh membuka jalan, memberikan penghormatan yang nyata pada sosok pimpinan tertinggi yang tengah melewati mereka. Petugas keamanan itu dengan cekatan menekan tombol di sisi lift VIP. Lift pun membuka pintunya. "Silakan, Pak," ucapnya penuh hormat. Vincent melangkah memasuki lift, aura kharismatiknya mengisi ruangan seketika. Seakan lantai lift menjadi panggung bagi kharismanya yang tak tertandingi. Para karyawan tak bisa menyembunyikan decak kagum, terpesona oleh sosok CEO mereka yang seperti magnet, selalu menarik perhatian dan rasa hormat. Ketika pintu lift tertutup, Vincent menunduk menatap lantai. Gemerincing koin milik Lisa yang berjatuhan di lantai coffee shop tadi seperti menariknya kembali pada sebu
Walaupun ada seratus juta di rekeningnya, tapi Lisa sadar tak boleh boros dengan uang yang dimilikinya itu. Dia tetap memilih warteg sebagai tempat makan siangnya. Baginya, membeli makanan matang terasa lebih hemat dan praktis, terutama karena dia tak begitu mahir memasak. Lisa telah merencanakan pengeluarannya dengan ketat, memastikan setiap belanjaan atau pembayaran yang dilakukannya memiliki nilai tambah sesuai dengan kebutuhan yang benar-benar diperlukan. Apalagi pendapatannya dari menulis masih belum stabil. Persaingan penulisan di tengah menjamurnya pertumbuhan aplikasi novel online yang menawarkan beragam cerita unik, membuat Lisa harus bekerja keras melahirkan ide-ide cerita yang kreatif, tapi sesuai dengan selera pasar. Sejenak kemudian, Lisa terhanyut dalam imajinasinya, memvisualisasikan momen-momen intim antar karakternya. _______________________________ Api gairah menyebar cepat dalam dirinya. Tubuh Alessandra menggelinjang ketika jemari Damien bergerak lincah memb