“Nii-san melupakan ponselnya,” ujar Ryu meraih ponsel hitam yang tergeletak di atas kursi yang sebelumnya ditempati oleh Izumi.
“Kalau begitu Ryu-kun, bisa tolong kembalikan ponsel itu pada kakakmu? Dia mungkin belum sadar kalau ponselnya ketinggalan,” timpal Tsubaki.
“Baik. Mama tidak membutuhkan bantuan lagi?” tanya Ryu memastikan.
“Daijoubu. Ini sudah hampir selesai,” jawab Tsubaki seraya meletakkan mangkok yang baru selesai dicucinya di atas rak.
“Souka.”
Beberapa langkah sebelum keluar dari ruang makan, Ryu tiba-tiba berhenti dan menoleh kembali ke arah ibunya yang masih menyelesaikan cuciannya. “Tou-san tidak jadi pulang hari ini?” tanya Ryu menanyakan ayahnya. Pria itu sudah tiga hari ini berada di Kyuushu karena pekerjaannya dan berdasarkan jadwal seharusnya dia sudah tiba di rumah sore tadi. Namun sampai sekarang belum ada tanda-tanda kalau ayahnya akan segera pulang.
Tsubaki memati
“Ohayou, Izumi-kun.” Sapaan ramah dari Makoto yang sudah kembali dari Kyuushu, langsung menyambut Izumi begitu dia menampakkan diri di ruang makan. Tsubaki yang tengah menyiapkan sarapan juga menyapanya dengan kata yang sama sambil tersenyum. “Ohayou gozaimasu,” balas Izumi lalu mendudukkan diri di kursi yang biasa dia tempati. “Kapan Makoto-san tiba di rumah?” tanya Izumi mencoba berbasa-basi meskipun dirinya merasa sedikit canggung. Namun itu lebih baik daripada hanya duduk berhadapan dengan Makoto tanpa mengatakan apa-apa. “Tadi pagi, sekitar pukul dua atau setengah tiga dini hari,” jawab Makoto lalu menyesap secangkir kopi hangat yang sudah disiapkan oleh Tsubaki. Izumi mengangguk mengerti. Dia lalu menatap ke sekeliling area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Ryu. Biasanya pemuda itu selalu tiba di sana lebih dulu dari dirinya. “Ryuzaki-kun masih belum turun?” tanya Izumi. “Ryu-
Izumi menggeleng pelan mengusir rasa kantuk yang tiba-tiba menyergapnya. Pemuda itu mengucek matanya. Sebisa mungkin dia menahan keinginannya untuk tertidur meskipun kelopak matanya terasa sangat berat. Ditambah lagi angin yang bertiup semilir dari jendela yang terbuka di samping tempat duduknya membuat rasa kantuknya semakin menjadi-jadi. Sepertinya semalam aku tidur terlalu larut, ucap Izumi dalam hati. Dia menarik napas panjang, pandangannya kemudian tertuju kembali pada buku pelajarannya. Konsentrasinya kembali dia pusatkan untuk mendengarkan gurunya yang tengah menjelaskan di depan kelas. “Nah, sekarang simpan buku kalian dan siapkan alat tulis. Sensei akan memberikan kuis untuk mengetahui sejauh mana kalian memahami penjelasan tadi.” Intruksi mendadak dari Fuyuko-Sensei, Guru Matematika di Sakurai Goukou langsung disambut dengan keluhan dari sebagian besar siswa di Kelas 3-A. “Eeeh Sensei, kenapa tiba-tiba?”
Seperti biasa jam sekolah berakhir tepat pukul empat sore. Izumi memasukkan bukunya kembali ke dalam tas lalu berjalan keluar meninggalkan kelas menyusuri koridor yang dipadati oleh para siswa yang juga baru keluar dari kelas mereka masing-masing. Sebelum pulang Izumi mampir sebentar di perpustakaan sekolah. Rencananya dia ingin meminjam beberapa buku sebagai literatur tambahan untuk pelajarannya.Begitu tiba di ruang perpustakaan, Izumi segera mencari buku yang dia butuhkan. Langkahnya berhenti di depan rak yang berisi kumpulan buku tentang Sejarah Jepang dan Dunia. Izumi mengambil satu buku yang sebelumnya sempat dibahas oleh Asahi-Sensei di dalam kelas. Diapun memutuskan untuk meminjam buku tersebut. Izumi lalu beranjak menuju rak buku sains untuk mencari buku selanjutnya.Di bagian Sastra yang berisi kumpulan novel-novel klasik hingga modern, Izumi berhenti sejenak lalu meraih salah satu novel milik Natsume Souseki yang berjudul “Kokoro”. Dia membaca beberapa halama
Hari berganti dan Izumi kembali disibukkan dengan kegiatan sekolahnya. Sejenak pemuda itu melupakan e-mail dari Mr. Sharon dan fokus dengan pelajarannya. Seiring dengan semakin dekatnya liburan musim panas, Izumi merasa beban akademiknya semakin padat. Ujian akhir semester kurang dari tiga minggu lagi. Namun sebelum itu mereka—anak-anak kelas tiga—juga harus mengikuti ujian simulasi masuk perguruan tinggi. Hal itu entah mengapa membuat Izumi merasa sedikit tertekan ditambah lagi wali kelasnya, Asahi-Sensei, mulai membagikan formulir tentang rencana perguruan tinggi mana yang akan mereka tuju setelah lulus nanti. Meskipun waktu pengumpulan formulir itu masih cukup lama, tetapi Izumi sama sekali belum bisa memutuskan apa yang akan dia tulis dalam formulir itu. Persiapan ujian, rencana setelah lulus yang belum bisa dia putuskan dalam waktu dekat, membuat Izumi merasa capek, baik fisik maupun batinnya. Hal tersebut yang membuatnya sempat ingin menolak permintaan Ryu sebelumnya
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang ketika Izumi tiba di rumah setelah menonton pertandingan basket di SMA Tokise. Tsubaki yang saat itu tengah bersantai di beranda depan, menyambutnya dengan senyuman ramah seperti biasanya. Di sebelah wanita itu Kuma dan Shiro ikut berbaring dengan nyaman. “Okaeri, Izumi-kun,” sapa Tsubaki lalu menutup majalah yang sedari tadi dibacanya. “Ryu-kun tidak pulang denganmu?” lanjut Tsubaki bertanya. Seingatnya tadi kedua pemuda itu berangkat bersama dari rumah.“Ryuzaki-kun masih di sekolah bersama teman-teman klub basketnya. Mungkin dia akan pulang sebentar lagi,” ujar Izumi.“Souka. Kalau begitu Mama akan menyiapkan makan siang. Izumi-kun, kau ingin makan siang dengan menu apa hari ini?” tanya Tsubaki.“Apapun tak masalah,” jawab Izumi.“Hmm apapun…, itu jawaban yang sedikit sulit,” balas Tsubaki deng
Tak lama berselang, Ryu tiba di rumah. Kuma dan Shiro langsung berlarian menyambut kedatangannya. Senyum simpul terlihat di wajah Ryu yang lelah ketika melihat kedua anjingnya. Dia menyempatkan diri bercengkrama sejenak dengan keduanya sebelum akhirnya Ryu melangkahkan kakinya menuju ke tempat di mana Izumi kini tengah duduk. Ryu merebahkan dirinya di dekat Izumi dan menggunakan tasnya sebagai bantal. “Huah…, hari ini begitu melelahkan,” ucap Ryu. Pandangan Izumi yang awalnya tertuju ke arah halaman kini berpindah menatapnya. “Otsukare!” balas Izumi. Pemuda itu tersenyum begitu samar, membuat wajahnya tak terlihat seperti sedang tersenyum. Ryu mengangguk lalu mengubah posisinya menjadi duduk. "Semenjak Shiro tinggal di rumah ini, Kuma menjadi lebih periang." Ryu memberi komentar ketika melihat Kuma dan Shiro yang sedang bermain kejar-kejaran di tengah halaman. "Dia tak lagi merajuk ketika aku jarang mengajaknya keluar jalan-jalan," tambahnya sambil tertawa k
Izumi membuka kaca jendela kamarnya lebar-lebar agar angin bisa masuk mengurangi gerah yang dirasakannya. Saat ini Izumi sedang tak ingin menyalakan pendingin ruangan dan lebih memilih udara segar masuk ke dalam kamarnya. Angin sepoi-sepoi siang itu terasa cukup sejuk. Izumi lantas membawa kursi belajarnya ke tepi jendela dan duduk di sana sambil membaca buku ditemani oleh musik yang mengalun melalui earphone yang terpasang di telinganya. Entah karena sejuknya angin yang terus menerpa wajahnya atau karena suara musiknya, lambat laun kedua kelopak mata Izumi mulai terasa berat. Dia tak lagi berkonsentrasi pada buku yang sedang dia baca. Dalam kondisi setengah sadar, Izumi bangkit dari kursinya dan langsung menjatuhkan diri di atas tempat tidurnya. Tak butuh waktu lama pemuda itu langsung terlelap sepenuhnya ke alam mimpi.Begitu terbangun matahari kini bersinar keemasan di ufuk barat dan tak lagi seterik sebelumnya pertanda hari sudah sore. Izumi menggeliat pelan lalu
Saat mereka tengah asyik berbincang, mendadak langit yang tadi cerah berubah menjadi gelap. Angin berhembus kencang dan gerimis turun secara tiba-tiba. Izumi, Makoto, dan Tsubaki pun serempak beranjak ke beranda untuk berteduh. Beberapa saat kemudian terdengar suara gerbang yang dibuka dengan terburu-buru. Ryu berlari kecil menuju mereka menghindari gerimis yang turun semakin deras diikuti oleh Kuma dan Shiro di belakangnya. “Haah, safe~ untungnya hujan baru turun ketika kami hampir sampai di rumah,” ucap Ryu sedikit terengah. Sementara Tsubaki dan Makoto masuk ke dalam rumah, Izumi dan Ryu tetap tinggal di beranda depan, menikmati waktu sore melihat hujan yang turun membasahi bumi. Angin sesekali berhembus menghantarkan udara yang terasa cukup dingin di kulit. Namun Izumi dan Ryu hanya bergeming. Izumi menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma tanah yang basah oleh hujan. “Sepertinya akhir-akhir hujan semakin sering turun,” kata Ryu memecahka