Zahra menelan ludah mendengar pertanyaan Zyan. Gadis itu jadi semakin gugup karena bosnya malah berdiri menghadap ke arahnya hingga semakin tampak jelas otot-otot yang terbentuk di bagian atas tubuh pria itu. “Bukan begitu, Pak. Saya hanya merasa kurang nyaman karena tidak terbiasa,” ucapnya dengan terbata-bata.
“Kalau begitu mulai dibiasakan,” tukas Zyan tanpa mengindahkan permintaan sang sekretaris yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya.
Karena Zyan tetap akan memakai pakaiannya di dalam kamar, Zahra memutuskan masuk ke kamar mandi. Lebih baik mengalah daripada dia jadi canggung sendiri. Gadis itu sebenarnya ingin mandi sekalian. Namun karena belum membawa baju ganti, dia memutuskan duduk di atas toilet sambil menunggu Zyan selesai berpakaian.
“Zahra,” panggil Zyan sambil mengetuk pintu kamar mandi.
“Ya, Pak,” sahut Zahra tanpa membuka pintu. Dia takut bosnya belum selesai berpakaian.
“Aku mau pergi. Kamu jangan keluar dari kamar ini sampai aku kembali!” teriak Zyan.
Zahra kemudian membuka pintu kamar mandi karena bisa dipastikan pria itu sudah berpakaian. “Pak Zyan, mau pergi ke mana?” tanyanya.
“Itu bukan urusanmu! Kamu ingat ‘kan perjanjian kita untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing?” tekan Zyan sambil menatap tajam istrinya.
Zahra menelan saliva mendengar kata-kata yang diucapkan oleh pria yang tadi menghalalkannya itu. “Ya, Pak,” ucapnya lirih sambil mengangguk.
“Bagaimana kalau Pak Prabu dan Bu Rania ke sini terus bertanya Pak Zyan pergi ke mana?” Zahra mengungkapkan kekhawatirannya setelah mengumpulkan keberanian.
“Mereka tidak akan ke sini. Kalaupun ke sini, bilang saja aku bertemu investor penting. Aku sudah terlanjur mengatur pertemuan dengan investor itu sebelum penentuan tanggal pernikahan. Pertemuannya tidak bisa ditunda karena besok dia akan ke luar negeri dan belum tahu kapan pulang ke Indonesia.” Zyan menyusun skenario yang harus Zahra jalankan bila sampai hal yang tidak terduga terjadi.
“Baik, tapi Pak Zyan juga harus memberi tahu Pak Faisal soal ini. Saya takut Pak Prabu dan Bu Rania nanti juga bertanya pada Pak Faisal,” pinta Zahra agar sandiwara mereka jadi sempurna. Jangan sampai asisten pribadi Zyan malah tidak tahu ke mana perginya sang atasan apalagi berkaitan dengan pekerjaan. Kalau sampai hal itu terjadi pasti akan menimbulkan tanda tanya besar dan membuat mereka curiga.
“Aku tahu. Setelah ini aku hubungi Faisal,” sahut Zyan. “Kalau kamu lapar dan mau makan, pesan lewat layanan kamar saja, tidak usah keluar,” pesannya.
Meskipun pernikahan mereka hanya sementara, Zyan harus memastikan Zahra tetap sehat dan tak kekurangan apa pun. Kalau sampai istrinya sakit karena telat makan, nanti akan merepotkan dirinya sendiri. Dan yang pasti Rania akan marah besar karena dia akan dianggap tak memperhatikan istrinya.
“Baik, Pak,” jawab Zahra.
Tiba-tiba ponsel Zyan berdering. Gegas dia menjawab panggilan tersebut. “Aku berangkat sekarang!” ucapnya sambil beranjak meninggalkan Zahra.
Zyan melajukan mobil mewahnya membelah jalanan ibu kota yang siang itu tak terlalu padat. Tadi pagi dia sengaja membawa kendaraan sendiri dari rumah saat berangkat ke hotel, dengan dalih biar tidak perlu menunggu sopir saat pulang esok hari.
Setelah menempuh perjalanan selama sekitar 30 menit, Zyan menghentikan mobilnya di parkiran sebuah kompleks apartemen mewah. Setelah turun dari mobil, pria tampan itu berjalan masuk ke lift lalu menaiki ruangan baja itu menuju lantai lima.
Dia melangkahkan kaki panjangnya di lorong apartemen begitu lift tiba di lantai tujuan. Pria itu kemudian berhenti di depan unit apartemen yang berada paling ujung. Zyan menyentuh beberapa tombol angka sebelum memutar kenop dan membuka pintu.
“Akhirnya kamu datang juga, Bunny.” Suara seorang perempuan menyambut kedatangan Zyan dengan ceria.
“Aku ‘kan sudah janji akan datang.” Zyan mendekati wanita yang hanya mengenakan gaun tidur berbahan satin itu. Dia memeluk pinggang ramping sang wanita lalu menyatukan bibir mereka. Menyalurkan kerinduan setelah beberapa waktu tak bersua.
“I miss you so much,” ucap Zyan setelah melepas tautan bibir keduanya.
“Me too, Bunny,” sahut sang wanita sambil mengalungkan lengannya pada leher Zyan.
“Kamu lebih sibuk dari aku sekarang. Setiap minggu selalu ke luar kota dan jarang pulang ke Jakarta.” Zyan mencolek hidung mancung wanita berkulit putih bersih itu.
Wanita yang merupakan salah satu artis ibu kota itu tersenyum. “Mumpung aku masih laku, tidak ada salahnya ‘kan menerima semua tawaran pekerjaan? Bisa buat tabungan masa depan nanti,” ujarnya.
“Lagian kamu ‘kan juga sibuk kerja dan tidak bisa selalu menemaniku, Bunny. Kalau orang tuaku sekaya keluargamu, aku tinggal ongkang-ongkang kaki saja. Tidak perlu kerja keras demi menyambung hidup dan menjadi tulang punggung keluarga,” sambung gadis yang mempunya nama panjang Kamila Dinata itu.
“Aku sudah pernah bilang akan mencukupi semua kebutuhanmu, tapi kamu menolak ‘kan?” Zyan mengingatkan kekasihnya itu.
Mila tersenyum kecut. “Kalau aku hidup dari pemberianmu, aku tidak akan punya harga diri di depan keluargamu, Bunny. Aku akan dipandang sebelah mata dan hanya dianggap mencintai hartamu semata. Padahal aku mencintaimu apa adanya,” ungkapnya.
Zyan mengangguk. Mengerti dengan apa yang dirasakan oleh Mila karena Rania sangat menentang hubungan mereka. Di mata sang mama, Mila adalah wanita yang gila harta dan ketenaran, serta tidak mencintainya dengan tulus. Karena itu mereka memutuskan backstreet sampai Zyan bisa meyakinkan Rania agar menerima Mila sebagai calon istrinya.
“Ayo duduk. Pegal berdiri terus.” Zyan mengurai pelukan dan melepaskan lengan Mila yang melingkar di lehernya. Pria itu menggandeng tangan sang kekasih dan mengajaknya pindah ke sofa.
“Berapa lama kamu ke luar kota?” tanya Zyan saat mereka sudah duduk di sofa. Tepatnya Zyan yang duduk di sofa, sementara Mila ada di pangkuannya.
“Katanya paling cepat dua minggu. Itu juga kalau proses syutingnya berjalan lancar. Paling lama sebulan,” jawab Mila yang tak bisa memberi kepastian.
Zyan mendengkus. “Lama. Kalau aku kangen gimana?” Dia menyelipkan rambut Mila ke belakang telinga agar bisa melihat wajah sang kekasih tanpa ada yang menghalangi.
“Nyusul aja, Bunny. Kru dan pemain yang lain ga akan bocor kok. Di sana juga ga ada wartawan,” usul Mila sambil memainkan kancing teratas kemeja Zyan.
Pria tampan itu menghela napas panjang. “Lihat saja nanti, aku ada waktu atau tidak.” Zyan memang tak ingin terlihat bersama Mila agar tidak ada yang diam-diam mengambil gambar mereka dan menyebarkannya ke media sosial. Keduanya lebih sering bertemu di apartemen yang sengaja disewa Zyan untuk Mila. Apartemen mewah yang punya tingkat keamanan tinggi dan tidak sembarang orang bisa masuk kecuali yang mendapat izin dari penghuni. Mereka kadang juga bertemu di restoran yang ada ruangan privatnya. Itu pun keduanya datang sendiri-sendiri.
Sekarang Zyan harus lebih berhati-hati karena sudah menikah dengan sekretarisnya. Kalau sampai Rania atau keluarga Zahra tahu hubungannya dengan Mila, bisa jadi bencana. Zyan tiba-tiba ingat Zahra. Apa ya yang sedang dilakukan oleh sekretaris sekaligus istrinya itu di kamar?
“Bunny, kamu melamun?” Suara Mila berhasil membuat Zyan kembali ke alam nyata. Dia tersenyum tipis pada kekasihnya itu.“Aku sedang berpikir apa yang akan aku lakukan kalau kamu tidak di sini,” kilah Zyan untuk menutupi apa yang sebenarnya tadi dia pikirkan. Sementara ini, Zyan memutuskan menutupi pernikahannya dengan Zahra dari Mila. Toh, pernikahan mereka hanya sementara dan tak banyak yang tahu. Jadi, Mila pun tak akan tahu selama tak ada yang memberi tahu.“Daripada memikirkan soal itu lebih baik kita melakukan hal yang menyenangkan, Bunny. I miss your touch.” Mila memandang Zyan dengan tatapan menggoda. Dia menangkup wajah sang kekasih dengan kedua tangan lalu menautkan bibir mereka. Ciuman yang semula pelan itu jadi semakin intens dan membuat kedua tangan mereka bergerak, menyentuh apa pun yang ingin disentuh.***Zahra baru saja berpakaian saat bel kamar hotel berbunyi. Dia beranjak menuju pintu dan meli
Zyan mondar-mandir di balkon apartemen Mila dengan gawai di samping telinga. Setelah membaca pesan dari Zahra kalau kedua keluarga mendatangi kamar hotel mereka, dia merasa gelisah sekaligus penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Karenanya pria berwajah rupawan itu menghubungi sekretaris yang juga istrinya. Namun sayangnya, setelah beberapa kali melakukan panggilan, tak ada satu pun yang dijawab oleh Zahra."Apa dia sedang di kamar mandi? Kenapa teleponku tidak diangkat?" gumam Zyan dengan kening mengerut.CEO muda itu kemudian menghubungi asistennya. Berbeda dengan Zahra, panggilan pada Faisal itu langsung dijawab."Apa Papa atau Mama telepon kamu?" tanya Zyan tanpa basa-basi begitu sang asisten menjawab panggilannya."Tidak, Pak. Apa ada masalah?" sahut Faisal dari seberang telepon.Zyan menghela napas lega setelah mendengar jawaban asistennya. "Tidak ada. Ingat, Fai! Kalau Papa dan Mama tanya soal aku, kamu jawab seperti yang aku katakan tadi," pesannya."Baik, Pak. Apa ada
Zyan langsung masuk ke kamar begitu tiba di hotel tempatnya melangsungkan akad nikah dengan Zahra. Dia sengaja membawa keycard kamar waktu pergi tadi agar bisa masuk sendiri tanpa harus menunggu dibukakan pintu oleh wanita yang sudah dihalalkannya itu. Karena itu Zyan melarang Zahra keluar dari kamar.Betapa terkejutnya Zyan saat mendapati sekretaris yang juga istrinya sedang tertidur pulas di atas ranjang hotel. Dia tadi cemas memikirkan apa yang terjadi saat keluarga mereka datang, sampai mengebut agar cepat sampai di hotel, malah Zahra enak-enakan tidur.Pria berparas tampan itu sebenarnya ingin mengamuk dan membangunkan istrinya, tapi entah kenapa jadi tidak tega. Rasa bersalah karena menyeret Zahra dalam pernikahan kontrak mereka membuatnya urung melakukannya. Mama dan Papanya sama sekali tidak menghubunginya, bukankah itu artinya baik-baik saja? Kenapa dia jadi secemas tadi padahal juga sudah menjelaskan lewat pesan?CEO itu mendekat pada Zahra. B
Zahra terkejut karena wajah Zyan begitu dekat dengannya. Bahkan embusan napas saat pria itu berbicara, bisa dirasakannya. Tubuhnya seketika meremang apalagi melihat senyuman Zyan yang seolah mengejeknya.“Mak—sud Bapak apa?” tanyanya dengan gugup dan jantung berdebar.Melihat sekretarisnya jadi gugup, Zyan menjauhkan diri. Dia menikmati perubahan ekspresi gadis berhijab itu. Membuatnya gemas dan jadi ingin terus menggoda Zahra.“Masa kamu tidak tahu kegiatan yang biasa dilakukan penganti baru, Ra?” pancingnya.Zahra menelan ludah. Dia mulai waspada. Apa Zyan ingin menyentuhnya seperti suami pada umumnya? Bukankah dalam kontrak, mereka sudah sepakat tidak akan melakukan hubungan suami istri setelah menikah? Tidak mungkin ‘kan Zyan yang terkenal tegas dan disiplin itu mengingkari perjanjian mereka?Pria itu tersenyum miring. “Kenapa diam? Apa kamu sedang membayangkan kita melakukan kegiatan itu?” Zyan s
Kedua alis Zahra bertaut usai mendengar kata-kata Zyan. “Memangnya setelah dari sini kita tinggal di mana, Pak?” tanyanya. Mereka memang tak pernah membahas akan tinggal di mana setelah menikah karena waktu pernikahan yang mepet.Zyan menghela napas. “Mama ingin kita tinggal bersama mereka. Kalau kamu setuju kita tidak tinggal bersama mereka, aku akan bicara sama Mama dan Papa. Aku akan bilang kita ingin hidup mandiri setelah menikah jadi mau tinggal di rumah sendiri. Kamu juga tidak mau ‘kan terus-terusan bersandiwara?” Dia menatap mata gadis berhijab itu.“Saya ikut saja mana yang terbaik, Pak. Tapi memang lebih bebas kalau tinggal berdua. Kita bisa tidur di kamar yang terpisah,” timpal Zahra.“Berarti kamu setuju ‘kan kita tinggal berdua?” Zyan memastikan.Zahra mengangguk. “Setuju, Pak.”“Kalau kita boleh tinggal berdua, kamu maunya tinggal di apartemen atau rumah bia
“Pak, bisa tolong lepaskan tangan saya?” pinta Zahra yang ditarik saja oleh Zyan.Pria tampan itu menghentikan langkah tanpa melepaskan tangan Zahra. “Bukannya kamu lapar?”“Iya, tapi apa Bapak tidak melihat pakaian saya.” Zahra menunduk, menunjukkan pakaian tidur yang dikenakannya.“Memangnya kenapa pakaianmu?” Zyan menaikkan sebelah alis tebalnya.Zahra menghela napas karena bosnya itu tidak peka. “Saya ‘kan pakai baju tidur, Pak. Masa masuk ke restoran pakaian saya begini.”“Mereka tidak akan menolak kita, Ra. Lagian kita cuma makan malam biasa bukan makan malam resmi. Penampilan tidak masalah, yang penting kita mampu bayar di sana,” tukas Zyan.“Pak, penampilan kita tuh jomplang! Pak Zyan rapi sementara saya kaya gini. Setidaknya biarkan saya ganti baju yang lebih layak agar tidak mempermalukan Bapak kalau tidak sengaja bertemu orang yang kita kenal. Masa
Zyan memandang Zahra meminta pertimbangan, tapi gadis itu tak memberikan respon dan malah terlihat bingung.“Bagaimana, Pak Zyan? Apa boleh?” Yudhis kembali bertanya karena belum mendapat jawaban.Zyan yang merasa kasihan dan tak enak hati akhirnya mengizinkan Yudhis duduk bersamanya dan Zahra.“Terima kasih atas kebaikan hatinya, Pak Zyan.” Yudhis lalu menarik kursi yang berhadapan dengan Zahra, sementara Zyan sejak awal duduk di samping kanan sekretarisnya.Yudhis kemudian memanggil salah satu pramusaji dan meminta buku menu. Setelah menyebutkan menu yang diinginkan, dia berpesan agar tagihannya tidak dijadikan satu dengan milik Zyan.“Zahra, sudah lama bekerja sebagai sekretaris Pak Zyan?” Yudhis bertanya pada gadis berhijab itu untuk memecah kesunyian dan kecanggungan yang terjadi di meja itu.“Kurang lebih dua tahun, Pak,” jawab Zahra dengan ramah.“Lumayan juga, tapi kenapa a
Zyan melirik Zahra yang terus diam sejak Yudhis mengungkapkan keinginan hatinya. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu. Apakah dia akan mempertimbangkan Yudhis yang berniat serius menikahinya ataukah mengabaikan begitu saja?“Pak Zyan, apakah ada proyek baru lagi?” tanya Yudhis untuk mencairkan suasana yang terasa canggung. Berbicara tentang bisnis dan proyek pasti lebih santai daripada soal pribadi.“Kalau ada, apa Pak Yudhis berniat untuk investasi?” Zyan malah balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan pria berkacamata itu.Yudhis tertawa kecil. “Wah, Pak Zyan meledek saya ini. Perusahaan saya belum mampu berinvestasi di proyek-proyek besar Pak Zyan. Sementara ini saya masih menawarkan diri sebagai rekanan seperti biasa,” ucapnya dengan jujur. Pria berkacamata itu memang selalu berkata apa adanya. Tidak pernah berpura-pura mampu kalau nyatanya tidak mampu. Karena hal itu, Zyan senang bekerja sama dengan Yudhis yang jujur da