Aku masih tidak menyangka atas apa yang dilihat tadi.
"Ii-iitu, itu lagi ngapain? Kalian berdua jagain orang pacaran ya? Dosa tahu! Istighfar!" kataku pada si rambut mangkok masih ngos-ngosan bercampur gagap; hah kenapa begini?
"Heee! Siapa juga yang jagain orang pacaran? Saya itu cuma jagain pintu dari orang-orang polos seperti kamu! Orang-orang imut yang takut dosa," jawabnya tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya. Sambil menepuk pundak rekan sejawat, si dahi lebar yang lagi menunduk menahan tawanya. Lalu keduanya pun sekali lagi tertawa bersama-sama.
Enak banget ya, ketawain aku?
Ngeeekk ....
Suara kursi yang didorong menghentikan tawa si rambut mangkok. Tiba-tiba, saja anak perempuan yang tadi kulihat berlari ke luar kelas, melewati kami bertiga yang terdiam di depan kelas. Malu, aku yakin itu juga sedang menyerangnya.
Tapi, mengingat kelakuannya barusan. Aku malah berpikiran, sudah lari ke mana rasa malunya saat bermesraan di balik jaket tadi? Mereka bukan muhrim. Aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Oh tidak, kenapa aku malah kepikiran begini? Toh, bukan urusanku. Tapi, aku penasaran sih. Dasar manusia kepo.
"Dia kelas berapa?" tanyaku pada akhirnya mengalahkan rasa masa bodo. Aku agak berbisik kepada si rambut mangkok.
"Kelas sepuluh lah! Masa kelas sembilan pake rok abu-abu," jawabnya santai mencoba untuk masuk ke dalam kelas.
Ya, iyalah aku tahu itu. Maksudku kelas sepuluh apa gitu? Hah! Batinku menahan jengkel.
"Eh eh ... tunggu!" Aku menahannya dan membiarkan si dahi lebar yang masuk lebih dulu.
"Kenapa?" tanya si rambut mangkok dengan wajah polos.
"Kamu adik kelas saya 'kan? Waktu Smp dulu! Namanya siapa tuh?" ucapku memandangnya.
"Iya! Kamu udah ingat ya? Bagus deh...," ujarnya berjalan santai hendak masuk ke dalam kelas. Temannya yang berjalan lebih dulu, sedangkan si rambut mangkok menyusul di belakangnya.
"Nama kamu Rendi kan?" tebakku menahan langkahnya. Dia berbalik secepat kilat, mulut dan matanya tak sinkron.
"Riski, Bu ... nama adik kelasmu yang ganteng dan baik hati, tidak sombong dan rajin menabung ini adalah Riski," jawabnya berbalik.
"Eh tunggu! Riski, 'kan? Bisa tolong temani saya untuk tungguin Ani dan Ima ya? Ya? Ya?" Aku mengemis.
"Masuk aja!" perintahnya masa bodo.
"Ah, nggak enak! Aku tunggu apel kelas di sini aja deh!" tolakku enggan masuk ke dalam. Jangan sampai bertemu dengannya, oh tidak!
"Makanya kalau dibilangin orang lain tuh, didengerin! Jangan berpikir seenaknya! Jangan sombong!" ucapnya ngeyel.
"Kurang ekor! Saya tuh kakak kelas kamu, tahu! Ngomongnya diatur dikit dong!" seruku kesal.
"Itu kan dulu! Lagian kan kita seumuran juga kok, tuaan saya juga malahan! Siapa suruh masuk Sd cepat-cepat! Jadi tua sebelum waktunya 'kan?" ucapnya tertawa meninggalkanku dalam rasa yang tak bisa disebutkan lagi.
Ah, tempat apa ini? Semuanya memang terasa aneh.
***
Hari-hari berlalu dengan cepatnya dan aku masih belum bisa melupakan hari itu. Sebenarnya itu bukan pertama kalinya aku memergoki orang pacaran, hanya saja kali ini rasanya aneh. Mereka bahkan tidak peduli dengan norma dan tata-krama, sepertinya dunia semakin tua saja.
Semakin hari, aku semakin akrab dengan mereka. Utamanya teman sebangku Ani dan teman sebelahnya Ima. Aku juga semakin akrab dengan Tri adik kelas yang setia manggil aku Kakak padahal kita jelas-jelas seumuran. Mungkin Tri, ingin bersembunyi di balik tubuh mungilnya.
Sedangkan Riski, dia seperti bom waktu. Secara perlahan kami menjadi dekat, dulu dia hanya adik kelas yang patuh mendengarkan ucapanku. Tapi, sekarang dia seperti monyet liar yang selalu haus kasih sayang dan aku suka-suka saja berteman dengan orang aneh ini.
***
Ini hari senin, tepatnya senin kelima aku memasuki sekolah. Masih kuingat hari pertama masuk kelas adalah hari jumat, tepat menginterupsi pelajaran bahasa Arab dari Ibu Lisa.
Meskipun sudah lebih dari sebulan, jumlah kehadiranku terbilang sangat sedikit. Dalam seminggu, mungkin hanya dua atau tiga hari saja aku bisa datang ke sekolah. Aku menganggap, badan ini masih menyesuaikan dengan sekolah baru.
Upacara bendera dimulai. Ini upacara pertamaku selama di sekolah ini. Karena setiap senin, jika tidak sakit kepala di sekolah, maka aku sedang izin dan berada di rumah menonton FTV.
Kelas Sebelas menjadi pelaksana upacara, kali ini. Ada Sisi di sana, Sisi menjadi salah satu pengibar bendera. Terkadang aku iri padanya, karena Allah menitipkan badan proporsional untuk modalnya. Tapi, aku lebih bersyukur karena Allah memberikanku otak yang lebih cair daripada otak sahabatku itu.
Dalam barisan upacara aku berdiri tepat di depan Yani, dia terus mengelus kerudung tebal di kepalaku, tidak risih sih hanya merasa aneh.
Perlahan Yani menyentuh pundakku. "Dapat salam tuh," bisiknya.
Aku menoleh, dia menunjuk seseorang di barisan laki-laki. Si gendut, sedang melambai penuh semangat kepadaku. Laki-laki yang kabarnya paling besar dan kuat di sekolahan, namanya bahkan seperti ucapan terima kasih, karena sering didengungkan terus-menerus.
"Amit-amit," ocehku kaget.
Yani mencoba menahan tawa, bukannya menunduk saat Hening Cipta sedang didengungkan dia malah membuatku ikut menahan tawa. Semoga aku tidak ketahuan.
Upacara selesai. Barisan pun bubar jalan. Ketua upacara membubarkan barisan. Secara tak teratur seluruh murid berhambur acak.
Ani menggandeng tanganku saat upacara selesai dan kami berjalan menuju kelas. Dia mengeluarkan sapu tangan ungu dan menggenggamkan benda itu ke tangan. Aku tersenyum, dan hanya mengucap terima kasih. Saat menggenggam tanganku, Ani pasti sadar jika tanganku berkeringat.
"Jangan sering sakit ya ...," ucap Ani menarik lenganku.
"Iya, aku mungkin cuma kaget dengan suasana di tempat ini. Maklum anak kampung."
"Anak kampung apaan? Ayo!!! Cepetan sebelum keduluan Ima," ocehnya tertawa.
"Loh, memangnya kenapa kita harus duluan ke kelas?" Aku penasaran.
"Sabtu kemarin kamu nggak masuk 'kan? Jadi hari ini kamu itu milikku ... hahaha ...," tawa Ani menarikku, sambil berlari kecil.
Dari belakang Ima berteriak keras, aku menoleh dan tersenyum. Melambaikan tangan. Melihat Riski yang menahan dua gadis di belakangku, dengan menarik kerudungnya.
"Nana ...," panggil Riski sambil menyeret Nirmala yang tampak serius dengan note kecil di tangan.
Aku pun mengikuti Ani dan berlari menuju kelas, senang rasanya melihat temanku berlari mengejar di belakang. Ini momen yang paling kutunggu dan momen yang paling kurindukan.
***
Lebih dari sebulan sudah aku berada di sini, bercengkerama riang, belajar, tersenyum bersama mereka. Semuanya adalah hal yang paling kurindukan. Namun, siapa yang bisa menebak datangnya musibah? Siapa yang tahu jika rasa sakitku akan dimulai kembali dan rasa itu akan berdampak lebih kali ini.
Tempat apa ini? Tempat seperti apa yang bisa memberikan kenyamanan serta ketidaknyamanan dalam waktu dan tempo yang sesingkat-singkatnya?
Tempat apa yang telah membuatku akhirnya merasa lebih baik, tapi, juga merasa tidak baik? Tempat dengan segala tawa dan bahagia yang kuimpikan ini, adalah tempat yang kuinginkan, juga tempat yang pada akhirnya ingin kuhapus dari jejak hidupku.
***
Lagi-lagi aku sakit, sudah dua hari ini aku melewatkan banyak tugas dan banyak pelajaran yang menumpuk, serta harus dikejar.
Akhir-akhir ini badanku terasa tidak enak dan sedikit demam. Aku hanya menghabiskan waktu belajar dan mengulangi materi yang kuterima selama hampir satu bulan. Sambil sesekali menonton Drama Korea dan Anime Jepang kesukaanku.
Jiwaku juga butuh diobati.
***
Bersambung
Lagi-lagi aku jatuh sakit, sudah dua hari ini aku melewatkan banyak tugas dan ada banyak pelajaran yang menumpuk, serta harus dikejar.Akhir-akhir ini badanku memang terasa tidak enak lagi dan sedikit demam. Aku hanya bisa menghabiskan waktu belajar dan mengulangi materi yang kuterima selama hampir satu bulan. Sambil sesekali menonton Drama Korea dan Anime Jepang kesukaanku.***Setelah dua hari izin sakit, surat sakit pun akan jatuh tempo dan lagi-lagi dengan sedikit memaksa, besoknya aku memutuskan akan pergi ke sekolah dengan kondisi yang belum terlalu stabil.Entah kenapa sakitku harus sering datang tiba-tiba? Padahal di hari-hari sebelumnya, tak ada masalah apa pun yang bisa mengancam pertahanan tubuhku. Mungkinkah tubuhku kaget dengan berbagai tugas yang kuterima?Mungkin saja aku terlalu terkejut sebelumnya, terkejut dengan keanehan orang-orang di sekolah, serta terkejut akan hal ini dan itu. Atau memang penyakit ini sudah m
Setelah menyentuhku, orang itu kini sedang berdiri tepat di sisi meja, dia menghalangiku untuk duduk. Aku menatapnya kesal, cemberut tak jelas dengan sikapnya barusan. Aku melangkah, tapi masih dicegat olehnya."Kita belum kenalan secara resmi ‘kan?" ucapnya malu-malu. Apa ini? Apa yang coba dia lakukan?"Hah? Oh iya, saya tahu kamu kok! Riski sudah jelaskan semua tentang kamu!" ungkapku tiba-tiba percaya diri, dengan nada sedikit kesal."Riski?" tanyanya bersandar ke meja. “Dia bilang apa aja ke kamu? Bukan yang aneh-aneh kan?” lanjutnya menatapku lekat."Iya, soal ini dan itu …,” jawabku bergerak ke sisi kanan hendak menjauhinya.“Mau ke mana sih?” tanyanya langsung saja memegang tanganku. Aku bisa merasakan tangannya yang hangat, atau tanganku yang sudah membeku.Deg.Rasanya aneh saat dia men
Saat bertemu dengan Sisi sahabat lamaku, aku pun curhat tentang berbagai hal yang kutemui di sekolah ini termasuk masalah Yani. Semua kuceritakan kepada Sisi, tanpa merahasiakan apapun darinya."Terus kenapa tidak mau? Kalau gini pasti udah jadi asistennya sekretaris kelas, bukan sekadar teman yang siap disindir melulu tiap hari," tanya Sisi menanggapi curhatanku."Malas ah ... asisten? Tak mau lah diriku! Hehehe. Kalau kumpul-kumpul seperti itu yang ada bukannya belajar, Sisi … malah bercanda, gosip atau pacaran. Mending nggak usah lah!" jelasku."Iya sih, betul juga!""Oh ya, kamu belum beritahu apa-apa ke teman sekelasku ‘kan?" Aku tiba-tiba mengingat sesuatu."Tentang itu? Tenang aja, hanya teman-teman kita yang tahu. Kepala sekolah juga sudah minta teman-teman kelas sebelas untuk pura-pura tahu siapa itu Nana Rahayu. Kan ada si Pak Bos juga tuh!" bisiknya.
Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg
Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida
Ani tiba-tiba menarik tanganku, dan mengajak untuk kembali ke kelas. Aku turut saja dan mengikuti langkah kecil Ani.Begitu sampai di dalam kelas, Ani menatapku serius. Aku mendadak bingung, anak ini kenapa?"Puisinya bagus ya ...," ucap Ani tersenyum. Sepertinya Ani sedang mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening atas diamku. Aku pun hanya mengangguk sekenanya saja. "Na? Nana!" lanjutnya dengan suara lebih keras."Hmm?" Aku terpaksa menatap wajah Ani."Kamu kenapa? Kok kayak syok gitu? Ada masalah? Apa kamu--""Aku? Aku apa? Aku nggak apa-apa kok!" Aku benar-benar salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ani."Ya udah sih kalau nggak apa-apa kalau nggak mau cerita, aku sih nggak masalah. Beneran! Tapi, aku ini masih teman kamu loh." Ucapan Ani terdengar menjurus. Apa dia sudah tahu soal tulisan di mading?"Ani, anu ... itu," kataku mendadak gagap."Hmm," ujar Ani mendekatkan
Entah kenapa aku malah tiba-tiba tersenyum senang karena melihat dua orang ini sedang diliputi rasa penuh kekesalan. Aku merasa keduanya memang sangat baik dan bisa bersikap seperti ini hanya karena aku. Aku sangat tersanjung. Aku pun mengalihkan pandangan dari Ani dan Riskin, menatap ke arah kerumunan sana, Icha tampak senang mendapatkan sambutan hangat itu. Aku tanpa sadar tersenyum dan saat aku menoleh ke arah teman-temanku ini, langsung saja membuat Ani juga Riski menatap sinis kepadaku. "Kenapa sih? Nggak usah dipikirin deh, itu 'kan cuma puisi," ucapku berpura-pura dingin. "Tapi, itu puisi kamu? Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan," ucap Riski meninggalkan kami berdua di depan pintu kelas. Idih, ngapain nangis? Aku bisa bikin yang lebih baik dari puisi itu nanti. "Bisa-bisanya yang ngomong kayak gitu!" timpal Ani emosi. Eh, aku sala
Setelah seminggu ujian berakhir, aku semakin dekat dengan para sahabat yang baik hati ini, terutama Riski. Ya, walau terkadang mereka akan bersikap menyebalkan, terlebih si Nirmala pecinta dinding, yang suka mendadak tuli kalau dimintai tolong ke kantin. Tapi, aku secara perlahan memang jadi semakin dekat dengan Riski. Mungkin karena dia adalah anak yang seru untuk diajak ngobrol dan kami berdua punya selera humor yang mirip satu sama lain.Aku dan Riski lebih banyak menghabiskan waktu berdua, entah untuk menyelesaikan soal matematika bekas ujian, maupun Riski yang sering menemaniku menggambar. Aku suka membuat sketsa kasar di belakang buku pelajaran. Selain, pemandangan depan pintu kelas. Riski bersedia menjadi objek sketsaku, walau sebenarnya gambarku menjadikan Riski semakin jelek.Dia juga menjadi lebih rajin ketika kumintai tolong untuk membelikan makanan atau minuman di kantin. Mungkin itu yang jadi sebab, Nirmala sudah tidak mau membe