Share

Bab 5

 

 

Pertikaian antara Rei juga Davin, tak bisa terelakan lagi. Amarah yang membuncah, membuat Davin seolah tak sadarkan diri. Hingga terus-menerus memukul sang Kakak, tanpa rasa belas kasihan.

 

Dua keluarga, juga orang-orang di sekitar Bandara. Menatap ngeri memandang mereka, Wira dan Putra tak berhenti putus asa untuk memisahkan Kakak Adik, yang entah sedang dirundung masalah apa!

 

Mey ikut tegang, tatkala pukulan demi pukulan terus Davin layangkan untuk sang tunangan. Ia sendiri tak bisa berbuat lebih, selain berteriak histeris meminta Davin berhenti melakukan aksinya.

 

"Davin ... Berhenti Nak! Kasian Kakakmu."  Bu Vita, memohon sambil menangis tersedu.

 

Permintaan itu jelas tak membuat Davin, berhenti begitu saja. Ia marah, kecewa, sekaligus merasa jika Kakaknya terlalu ikut campur!

 

"Kamu gila! Sebenarnya kamu ini kenapa sih?" tanya Rei, di sela-sela perkelahian mereka. Rei meringis, mengusap darah di ujung bibir yang terasa begitu nyeri.

 

Davin menatap Rei dengan perasaan benci, ini kali pertama mereka bertengkar hebat. Biasanya, mereka hanya meributkan hal-hal kecil. Namun, tak pernah berujung dengan darah!

 

Dengan napas tersenggal, juga fisik yang tak lagi kuat. Rei pasrah, membiarkan Davin menyakitinya. Hingga pria muda itu puas!

 

Wira dan Putra, orangtua yang tak lagi muda. Jelas kalah dengan tenaga Davin.

 

Mey berhitung dengan situasi, segera mencari petugas Bandara. Untuk menghentikan perkelahian, sebelum sang kekasih babak belur di tangan adiknya sendiri.

 

"Tahan emosi kamu Vin! Sebenarnya kamu ini kenapa? Kakakmu salah apa hah?" Putra bertanya, sambil memegang tangan Davin. Berharap agar dirinya lebih tenang, setelah melampiaskan segala amarah.

 

Ribuan pertanyaan, terus dilontarkan dari dua keluarga. Yang tadinya memang ingin mengantar Davin, namun, berakhir dengan rusuh oleh ulahnya sendiri.

 

Rei juga Davin, saling bersitatap satu sama lain. Napas mereka kian memburu, Rei sendiri merasakan kemarahan luar biasa dari adiknya. Yang entah kenapa, bisa memicu pertengkaran mereka.

 

"Bebb, kamu nggak papa 'kan? Mana yang sakit? Yuk, biar aku obati."

 

Ditanya begitu, membuat Rei mendengus kesal. Udah tau sakit, kenapa pula Mey masih bertanya. 

 

Beberapa petugas, juga orang-orang menatap penuh benci. Pada mereka yang membuat keributan, terlebih Davin juga Rei.

 

"Penerbangan untuk saudara Davin, terpaksa kami cancel. Sebab, dia sudah membuat kerusuhan. Mohon untuk tinggalkan tempat ini!" tukas seorang pria tua berseragam.

 

Dengan sangat terpaksa, akhirnya mereka bergegas pulang. Setelah meminta maaf atas kejadian yang tak pernah mereka duga sebelumnya.

 

Kakak dan adik, untuk sementara dipisahkan dalam mobil berbeda. Untuk menghindari kericuhan.

 

"Jujur sama Ayah dan Ibu, sebenarnya kamu kenapa? Kok, bisa semarah itu sama Kakakmu?" tanya Bu Vita, berharap mendapat jawaban pasti dari anak bungsunya.

 

Davin menghela napas dengan berat, tak mungkin jika ia bicara jujur saat ini. Rencananya untuk menikahi Alya, bisa jadi berantakan sebelum dirinya mampu membuat Alya jatuh hati.

 

"Hanya urusan pribadi, Bu," sahut Davin, membuat Ibu dan Ayah terperangah. 

 

"Hm, bisakah kamu cerita? Siapa tau, kami bisa membantu masalahmu Vin." 

 

Bu Vita mengelus kepala Davin, dengan lembut. Membuat Davin begitu nyaman, setelah rasa kesal terhadap Rei.

 

"Belum saatnya Bu, biar hanya aku dan Kakak yang tau. In Syaa Allah, kami pasti bisa menyelesaikan masalah ini."

 

Putra yang merupakan sang Ayah, menggeleng. Tak mengerti dengan jalan pikiran si bungsu.

 

"Lupakan masalah tadi! Walau pun, kamu udah sukses buat kita malu di sana. Sekarang, rencanamu apa? Kamu tetap dengan keputusan Ayah 'kan? Melanjutkan study di Negeri orang."

 

Davin menggeleng tegas, keputusannya mulai berubah semenjak pertemuannya dengan Alya.

 

"Terus kamu maunya gimana? Bisnis keluarga kita gimana nasibnya? Kalau kamu nggak mau belajar bisnis lebih dalam, seperti Kakakmu Rei."

 

Davin menelan saliva, sebelum menjawab pertanyaan sang Ayah, "Aku ... Lanjut kuliah di Indonesia aja yah."

 

Bu Vita dan Putra, kembali saling melempar pandangan. Masih tidak paham, dengan jalan pikirannya.

 

"Kesempatan ini nggak akan datang lagi Vin! Jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan, nanti kami nyesel loh!" 

 

Nasehat Ibunya hanya ditanggapi dengan senyuman sinis, baginya Alya lebih penting. Ia bisa lanjut study di Indonesia, tanpa harus meninggalkan sang pujaan.

 

Bu Vita menghela napas dengan berat, tak dinyana jika anak bungsu yang selalu ia harapkan. Tak bisa mengikuti jejak kakaknya.

 

Putra sendiri masih berkecamuk dengan pikirannya, diam-diam akan mencari tau. Penyebab perkelahian dua anaknya, juga keputusan Davin yang membuat dirinya amat terpukul.

 

Cinta memang bisa membutakan segalanya, masalah usia, harta, kedudukan. Tak lagi menjadi hal penting.

 

Tapi, sekali lagi Davin sadar. Bahwa baginya semua itu memang tidaklah penting, berbanding terbalik dengan kedua orangtuanya.

 

"Bu ... Apa boleh, Davin menikah lebih dulu dibanding Kak Rei?" 

 

Putra dan Bu Vita, menatap Davin dengan sorot tajam. Usia baru 25, sudah berpikir untuk menikah. Sedang Rei yang sudah berumur, juga memiliki tunangan. Tak pernah sedikit pun, berniat untuk menikah.

 

"Kamu ini aneh, bertengkar tiba-tiba. Lantas, nggak mau study di luar Negeri. Nah, sekarang malah kepengen nikah." 

 

Bu Vita menunggu jawaban dari bungsunya, mulai paham jika Davin menjadi kalut karena hadirnya seorang wanita.

 

"Segera bawa wanita itu ke rumah, Ayah ingin mengenalnya lebih jauh!" Putra tersenyum sinis, ada banyak rencana dalam otaknya.

 

Mata Davin berbinar, sang Ayah memberi lampu hijau. Bahkan, ingin mengenal wanitanya.

 

"Ish, Ayah ini apaan sih? Davin masih muda, nggak seharusnya dia melangkahi kakaknya." 

 

Bu Vita berdecak, menatap sebal ke arah suami yang memberi keputusan tanpa menunggu persetujuan darinya.

 

"Biar saja Bu, kita lihat dulu. Wanita mana sih yang membuat anak kita sampai tergila-gila," sahut Putra, masih dengan susunan rencana terbaiknya.

 

Davin terus menyinggungkan senyum, amarah yang semula membuat diri tak tenang. Kini berangsur membaik.

 

"Boss nggak masuk ya? Aaah, sayang sekali. Padahal, aku mau nunjukin hasil skincare yang baru dibeli kemarin."

 

Dewi terus saja bercoloteh, tepat di dekat kursi Alya dan Santi. Sengaja, biar mereka dengar tentang harapannya hari ini.

 

"Emang, hasilnya gimana Wi? Kamu tambah cantik? Kayaknya nggak deh, masih sama kayak kemarin ... Kusut," seloroh Santi, membuat Alya tertawa terbahak. 

 

"Enak aja ... Kamu ngga lihat? Kalau aku udah glowing kayak gini?" Dewi bertanya, sambil berkacak pinggang.

 

"Jangan terlalu berharap sama si Boss, lagian dia 'kan udah punya tunangan Dewi. Cewek seksi, yang pastinya nggak bisa kamu geser gitu aja!" 

 

Dewi mendengus kesal, baru sadar jika wanita kemarin adalah musuh nyata. Yang harus ia singkirkan terlebih dulu.

 

Pintu terbuka, memperlihatkan seorang pria jangkung bertubuh tegap. Namun, kali ini ada yang berbeda.

 

Wajah tampannya dipenuhi luka lebam, perbuatan sang adik. Yang tak bisa ia hapus begitu saja.

 

Semua Karyawan tampak prihatin dengan kondisi sang Direktur. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang berani bertanya.

 

Alya sendiri hanya melirik sekilas, lantas kembali fokus dengan kerjaan. Ia sudah berjanji, untuk tidak mau perduli dengan pria jangkung yang telah menorehkan banyak luka di hati.

 

Mendapat perlakuan dingin dari Alya, membuat Rei meringis. Tak khawatirkah ia dengan kondisinya saat ini?

 

Ke mana cinta yang selalu Alya agungkan selama ini? Mungkin saja, perasaannya perlahan sirna. Seiring dengan luka yang sengaja Rei torehkan.

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status