Angel tiba-tiba tergerak untuk menelepon seseorang setelah selesai bicara dengan suaminya di telepon. Agak ragu memang, Angel menggigit bibirnya sendiri lalu mematikan ponselnya. Kriiing! Kriiing! “Ngel, tadi kamu telepon Ibu?” tanya ibu mertua, ibunya Nick. “Ehhh iya Bu. Kepencet,” kata Angel beralasan seraya bangkit dari kursi kerjanya lalu melihat ke arah jendela. “Ohhh kepencet. Hemm ibu kira kenapa. Nick nanti malam mau ke sini katanya karena besok akan berangkat dari sini, mau ke luar kota. Ibu kira kamu ikut,” kata sang mertua baik-baik saja. “Hemm … aku malah gak tahu Bu,” ujar Angel murung. “Gak tahu gimana maksudnya?” “Ehhh … enggak enggak. Maksudku, aku malah gak tahu bisa ikut apa enggak, karena memang klinik aku lagi sulit. Ada banyak sekali yang harus dibenahi. Jadi sebagai istri, aku dukung karier Mas Nick aja,” kata Angel menutupi sikap suaminya, dan tidak mau banyak mengeluh. “Ahhh … jangan terlalu sibuk. Kan akhir pekan ini ada libur tanggal merah plus ak
Saat long weekend tiba, Angel sudah berdandan sejak pukul 9 pagi. Dia memasang catok rambut kemudian menyiapkan dress yang cantik beserta blazer. “Ah enak banget sih kalian semua, sudah long weekend. Saya tetap harus kerja nih,” tutur Angel lewat grup chat para dokter dan karyawannya dulu, tanpa ada Bara di dalamnya. “Ah ibu, kami juga kan para dokter tetap on duty. Tetap masuk karena harus melayani pelanggan. Ya memang sih, ada yang shift dan piket bergantian. Yang liburan sih Riri tuh, ke Lombok katanya,” kata para dokter menyebut nama Riri. “Hehe, iya nih. Holiday dulu ya,” tulis Riri. Angel hanya bisa tersenyum membaca pesan di grup para karyawannya yang nyaris menganggur jika klinik ditutup. Yang utama, Angel merasa lega karena gaji mereka sudah dibayar dengan lancar saat ini. Angel menuruni anak tangga dan melihat ke meja makan. Si mbak ART sudah menghidangkan cereal dan roti tawar sesuai pesanan Angel. Krrriiing! Kriiiing!“Ya halo Ma,” kata ibunya Angel dari Singapura.
Croissant sisa satu menjadi saksi di antara mereka berdua. Rasa almond dan keju membuat Bara masih melirik croissant itu. “Yakin kamu gak mau?” tanya Bara melirik ke arah Angel dan croissant. “Hehe, kamu mau? Ambil aja. Atau saya belikan lagi,” kata Angel mulai tidak kaku saat bicara dengan Bara. “Ya udah, buat saya saja,” ucap Bara mengambil croissantnya lagi lalu mengunyahnya. Angel mesem-mesem melihat sikap Bara sambil menunjuk ke sudut bibir CEO sombong itu. Bara lantas memegang sudut bibirnya dengan tangannya. “Bukan, bukan yang itu, tapi yang kiri,” tutur Angel menunjuk ke arah sudut bibir Bara. Bara lantas mengambil tisu dan membersihkan dagu dan sudut bibirnya dari remah-remah roti. Dari arah berlawanan, Angel hanya bisa tersipu melihat tingkah Bara. Hingga akhirnya obrolan itu terpecahkan oleh suara ponsel. “Maaf ibu, HPnya Pak Nick saya yang pegang selama 2-3 hari ini. Karena memang di sini agak susah sinyal, dan Pak Nick bilang, gak bisa sering-sering balas chat atau
Bara berhenti di sebuah rumah mewah, meski lebih kecil jika dibandingkan rumah orang tuanya. Dari dalam mobil, Bara melihat ke sekeliling. “Ayahmu juga ada di sini?”Pertanyaan soal ayah langsung yang pertama ditanyakan Bara kepada Angel. Dan tentu saja Angel menjawabnya dengan gelengan kepala. “Papa sama Mama jarang pulang ke Jakarta. Mereka menetap di Singapura. Kalaupun ke sini, ya gak di rumah ini. Ini kan rumah saya bersama suami. Kalau Papa Mama, rumahnya gak jauh dari sini sih. Tapi rumah di sana ya dijaga sama anak buah mereka,” ujar Angel tersenyum. “Ohhh … pasti ayahmu sosok yang terlalu angkuh …”“Apa?” tanya Angel heran. “Oh maksudku, pasti ayahmu sosok yang tidak begitu akrab dengan anaknya, karena pulangnya saja jarang atau jarang bertemu,” kata Bara mengalihkan. “Ya memang kalau dibilang dekat, saya lebih dekat dengan ibu saya. Tapi Papa saya sosok yang tegas namun tetap lembut pada anaknya,” ujar Angel. “Ya belum tentu lembut pada anaknya, tapi lembut juga pada r
“Silakan tinggalkan pesan, ini kotak suara,” ujar operator.Angel menghubungi suaminya kembali saat malam hari. Tidak ada tanda-tanda komunikasi dari suaminya saat ini. Angel mulai berpikir banyak hal, merenung sambil melihat foto pernikahan mereka. Kriiing Kriiing!“Haiiii Widuri, ke mana aja,” kata Angel saat ditelepon oleh seseorang. “Hehehe! Ngel! Aku tuh habis ambil S2 hukum, langsung buka kantor lawyer kan kamu tahu itu. Aduh, klienku itu ya selebriti, selebgram, marak banget perselingkuhan zaman sekarang! Ya urusin perceraian setiap hari, Duh pusing deh aku. Jadi kita gak bisa ketemu terus nih! Aku janji mau traktir kamu laksa Singapura ya, kesukaan kita lho ya! Zaman-zaman kuliah dulu. Hahaha,” ucap Widuri, sahabat kuliah Angel. “Iya sombong banget sih! Udah hampir 4 bulan lho kita gak meet up! Kapan mau ketemu, kamu janji janji aja! Huuu! Aku tuh lagi pusing banget, banyak masalah. Mau curhat,” kata Angel manyun sambil tersenyum menatap meja rias. “Masalah apa sih? Seoran
Widuri muncul dari kolam renang menunjukkan mimik heran ketika menatap Angel yang begitu emosional. Wajah Angel seperti meledak-ledak merah seolah terbakar. “Kenapa sih kamu? Ada apa? Soal suami ya?” tanya Widuri, sang sahabat sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk lalu mengambil minuman. “Bayangin coba Wid! Pabrik skincare aku ditutup!” kata Angel berapi-api. “Hah? Siapa yang nutup? Pabrik yang di mana nih?” tanya Widuri sang pengacara bingung. “Ya yang di Tangerang! Itu pabrik satu-satunya dan sudah berkurang produksinya. Sekarang malah ditutup sepihak,” kata Angel kesal. “Sama siapa? Bukannya itu pabrik kamu? Kok bisa sih ditutup,” tanya Widuri karena Angel bicara setengah-setengah. “Ya siapa lagi kalau bukan CEO arogan itu! Atasan aku yang baru. Bos yang mengakuisisi klinik dan label aku sementara. Si Bara Bagaskara itu,” ucap Angel ketus. “Lho lho lho, kok bisa? Memangnya apa alasannya,” tanya Widuri lagi.“Ya gak tahu! Padahal kemarin itu dia lumayan agak baik, agak
Setibanya di halaman parkir RS, Angel dan Widuri turun dari mobil. Dengan hanya mengenakan celana kulot warna cokelat ⅞ dan kemeja putih lalu membawa clutch hitam, Angel ditemani oleh Widuri dengan rambut yang masih setengah basah usai berenang. Widuri terpaksa ikut dalam masalah ini. “Kayak apa sih orangnya si Bara itu?”“Pokoknya sok tahu, dingin, sombong, angkuh. Gak banget! Monster,” kata Angel kesal. “Hah? Masa sih? Tapi dia punya bisnis di bidang farmasi dan klinik, artinya dia mengerti perempuan kan? Ya maksudnya, dia paham dong siapa yang dia hadapi? Wanita,” kata Widuri. “Nyatanya? Enggak kan! Ya oke, dia berhak memutuskan apapun, tapi harusnya kan bilang dulu sama aku! Koordinasi dulu. Ini gak ada angin, gak ada hujan, dia gak pernah lho menyinggung soal pabrik. Dia cuma bilang kalau semua barang yang ada di klinik, semua ganti punya dia. Tapi dia gak pernah melarang kalau kami menjual di e-commerce. Dan gak pernah bilang soal pabrik. Ini? Tiba-tiba di siang bolong,” kata
Angel duduk di lorong rumah sakit sambil menanti sang atasan untuk mempertanyakan kebijakan sepihak yang dilakukannya. Kesal, tentu saja. Emosi sudah pasti. Akan tetapi, Angel malah melunak tiba-tiba, terlihat dari wajahnya yang lebih banyak melamun. “Yeee, kenapa sih? Ya udah yuk pulang aja. Gak enak kali, ngobrol di rumah sakit. Ayahnya lagi sakit, ibunya juga lagi repot. Gak usah sekarang. Masih ada hari esok,” ucap Widuri. “Besok aja ya?”“Iya, besok aja. Gak enak,” kata Widuri. Angel menuju ke arah meja perawat sambil melirik ke arah ruang ICU. Sudah cukup lama, 15 menit ditunggu, Bara belum kunjung ke luar dari ruangan. “Maaf Sus, boleh tanya?” ucap Angel sedikit berbisik pada perawat. “Oh iya, kenapa ya mbak?” tanya perawat. “Pasien atas nama Gunadi Bagaskara tadi, memangnya sakit apa? Maksudnya, kok bisa sampai ke ruang ICU? Stroke ya? Apa benar?”“Iya betul kena serangan stroke. Tapi kami gak bisa jelaskan detail, kecuali keluarganya,” kata perawat. “Kondisi pasien saa