“Dia mengejar kita, Fen!”“Stop it Vi! Jangan lakukan ini padaku, aku sudah cukup pusing dengan pekerjaanku. Jadi tolong jangan bicara hal ini lagi!” Feni menggertak Vivian yang kini menangis.“Amelia tewas di mobilnya dan aku melihatnya sendiri, lalu Ronald dan apa kau tahu jika Wulan juga mati pagi ini!”Feni terdiam, ia mulai terpengaruh. “Pulanglah, kau kelelahan dan tolong jangan mati Vi! Setidaknya untuk saat ini!”Vivian hendak menjawab tapi Feni sudah menutup panggilan ia menggenggam erat ponselnya. Kelebatan bayangan peristiwa sebelas tahun lalu membuat Feni ketakutan.“Itu tidak mungkin terjadi! Tidak mungkin!”“Dia tidak mungkin kembali ke dunia lagi, dia sudah mati! Dia mati!” Pesan masuk diterima Feni. [Apa kau takut? Sebaiknya begitu! Serahkan dirimu pada polisi sebelum kau menjadi korban selanjutnya.][Siapa ini? Apa maksudmu?!][Jangan berpura-pura, aku tahu kau ketakutan saat ini bukan? Dasar jalang, seharusnya kau malu pada dirimu sendiri. Kau tak layak disebut manu
Raksa dalam posisi yang sangat lelah saat ia tiba di rumahnya. Harapan menghabiskan waktu sebelum Airin kembali ke kotanya pupus sudah. Waktunya habis tersita dengan kasus bunuh diri terbaru. Rasanya ingin mengumpat dan memaki pada pekerjaan yang menyita waktu. Jika dulu ia bersikap tak peduli dengan waktu dan memilih menghabiskan malam di kantor dengan setumpuk kasus, kini kehadiran Airin membuatnya bersemangat untuk kembali ke rumah. Raksa ingin menghabiskan waktu dengan wanita yang dicintainya.Membayangkan memeluk tubuh hangat Airin, rasanya cukup menjadi pengobat lelah Raksa. Ia mematikan mesin mobil dan memastikan semua terkunci sebelum masuk ke dalam rumah. Daerah tempat tinggal Raksa memang sedang marak terjadi pencurian dan perusakan kendaraan. Pekerjaan rumah sepele bagi polisi jika dibandingkan dengan kasus pembunuhan.Raksa berjalan perlahan agar tidak membangunkan Airin, tapi ia kecewa saat mendapati Airin tidak ada di dalam kamar. Detektif muda itu penasaran dan mencari
Raksa menunggu Airin dalam gelap. Ia memperhatikan wajah berseri Airin yang baginya kini hanya sebuah topeng kepalsuan.“Sayang, apa kamu sudah dirumah?” Suara Airin memanggil Raksa sambil melepas sepatu, tidak ada jawaban dari Raksa.“Sial … kenapa gelap sekali,” gumam Airin berusaha meraba, mencari saklar lampu.Tangan kekar Raksa merengkuhnya dari belakang, membuat Airin menjerit. “Hei, sweet heart darimana malam-malam begini?” Raksa berbisik menggigit kecil cuping telinga Airin membuat dokter itu merinding tak karuan.“Kau mengagetkanku sayang, aku pergi menemui teman.”“Teman? Aku tak ingat kau memiliki teman di kota ini?” Raksa bertanya masih dengan serangan kecupan di leher jenjang Airin.“Sejujurnya aku punya, hanya saja aku belum bercerita padamu. Dia tahu aku dikota ini dan berhubung aku besok akan pulang jadi kami memutuskan untuk bertemu. Apa itu masalah untukmu.”“Ehm, sedikit. Aku tak suka kau bertemu di malam hari begini, saat aku pergi terutama. Kau tahu kan banyak sek
Airin terbangun setelah mencium aroma wangi butter dari dapur. Ia mengenakan kembali bra dan celananya, menutupi dengan kaos milik Raksa yang kebesaran. “Pagi sayang … apa yang kau masak, baunya enak sekali.” Airin memeluk Raksa dari belakang, melongok apa yang sedang dilakukan Raksa dari balik punggungnya.“Sarapan sederhana, tumis ayam dengan tambahan saos tiram. Aku menemukannya di resep online.” Raksa menjawab tak lupa dengan sedikit senyum kepalsuan.“Menu sederhana? Ini tidak sederhana untuk sarapan.” Airin memperhatikan kantung mata yang menghiasi wajah Raksa. “Tidak bisa tidur lagi?”“Hhm,”“Apa kau meminum obatmu?”“Ya, tapi sepertinya dosis nya tidak sesuai denganku. Nyatanya aku belum bisa tertidur semalam.”Faktanya, Raksa tidak meminum obat. Kenyataan bahwa Airin tengah mencuranginya membuat detektif muda itu membuang jauh obat resep Airin. Ia bahkan berencana mengirim sampel obatnya ke bagian forensik pagi ini.“Benarkah?” Airin membuka laci tempat raksa menyimpan obatn
Raksa didampingi Jack, duduk berhadapan dengan seorang lelaki berusia tiga puluh tahunan. Raut wajah tegang jelas terlihat dari mata yang tak mau menatap Raksa dan Jack. Ia gelisah dan terus melihat ke arah kaca. Ia selalu bungkam dan menggeleng jika ditanya. Kesabaran Raksa hampir habis dibuatnya.“Apa ada sesuatu dibalik sana?” Raksa mengikuti arah pandang lelaki bernama Anwar itu.Anwar menggeleng cepat, Raksa yang kesal akhirnya menunjukkan selembar foto pada Anwar, foto Airin.“Kamu kenal dia?” Kening lelaki berkulit bersih dan rambut jabrik itu berkerut. “Ya, ini wanita yang memberiku uang!” akhirnya ia membuka suara, itu melegakan.“Apa kalian saling kenal sebelum ini?” tanya Raksa lagi, tatapannya dingin tanpa senyuman sedikit pun.“Itu, ehm … beberapa hari sebelum hari itu, wanita ini datang menemui ku. Dia bertanya bagaimana cara mematikan mesin mobil agar terlihat seperti sabotase.”“Kau bertemu dengan dia sebelumnya? Bagaimana bisa?”Anwar bingung menjawab ia tergagap, ka
Raksa berdiam diri dalam ruangannya dengan mata terpejam. Ia perlu berkonsentrasi sejenak sebelum memutuskan apa yang harus ia lakukan.Tim penyelidik sudah terbagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing memiliki tugas berbeda. Raksa sendiri masih memainkan perannya sebagai pemain watak untuk menjebak Airin dan menemukan siapa yang membantu dokter itu.Jari raksa mengetuk ngetuk konstan di atas meja selama beberapa menit sebelum akhirnya berhenti. Ia membuka mata lalu mengambil file Amelia. “Keterlibatan Airin mungkin tujuh puluh lima persen bisa dibuktikan. Tapi apa kau bisa memberiku sesuatu Amelia?”Raksa menatap satu persatu foto Amelia, korban pertama yang menghebohkan publik. Foto sebelum dan sesudah Amelia diotopsi berjajar, mata elang Raksa memperhatikan detail luka yang tertinggal di tubuh malang Amelia.Dia, ada disana!Suara misterius itu kembali terdengar, menegakkan bulu tengkuk Raksa tapi sekaligus membuatnya semakin penasaran. Kalung Cakra yang dikenakan Raksa me
Raksa memejamkan mata, berkonsentrasi agar bisa memasuki sisi lain dunia paralel. Kalungnya menghangat, telinganya mulai berdengung dan membawanya perlahan melintas dimensi. Perbedaan tekanan mulai dirasakan, tanda dirinya berhasil menyeberang.Aroma tak biasa samar tercium, campuran anyir darah, sedikit busuk dan bunga. Raksa memantapkan hati, ia akan menggunakan kekuatannya pada kasus ini. “Akhirnya kau datang,”Raksa membuka mata perlahan, wanita bergaun merah itu duduk diam di sebelahnya. Rambutnya yang kusut masai menutupi sebagian wajah yang terluka.“Ingin menyampaikan sesuatu atau aku yang akan memaksamu?” Raksa menoleh pelan ke arah sosok seram itu, secara bersamaan pandangan keduanya bersiborok. Mata merah dan tak ramah membuat siapa pun bakal ciut nyali. Kau takut?“Pertanyaan bodoh! Siapa kau berani menampakkan diri terus menerus padaku!”Sosok itu menatap tajam, menggerakkan kepalanya kaku bak zombie dalam film-film. Raksa tak berkedip menatap sosok menyeramkan yang lu
Raksa dan tim dibuat semakin sibuk dengan dua pembunuhan terbaru. Keduanya memiliki kesamaan, apalagi jika bukan tulisan ‘Dia Ada Disana!’Dua korban masih memiliki keterkaitan dengan klub science. Vivian dan Alan -kekasih Amelia. Ini mengubah status Alan yang semula enam puluh persen tersangka menjadi korban.Vivian masih terhitung kerabat Amelia, ia tergabung di klub science dan menjadi ketua tim saat penelitian remaja konyol itu dilakukan. Ia tewas di dalam kamarnya dengan kondisi mengenaskan. Satu tusukan di dada dan satu lagi tepat di bagian kiri matanya. Tidak ada saksi mata dan tidak ada satupun yang mendengar jeritan atau keributan.Alan, kekasih Amelia tewas di kamar mandi. Ditemukan dalam bathtub dengan luka sayatan di bagian leher dan kedua lengan. Tubuhnya terendam air hangat yang mencegah pembekuan darah. Hal ini juga mengaburkan jam kematian korban.Ini bukan lagi kasus pembunuhan berskala kecil tapi telah melebar menjadi the real serial killer.“Kau menemukan kesamaan d