BAGIAN 55
POV ANWAR
“Adakah keluarga dari saudari Lia Utami Latuheru?” Sebuah suara tiba-tiba menyeruak. Berasal dari seorang pria dengan seragam serba hijau dan APD lengkap. Pria itu kini berdiri di ambang pintu seraya memegang kenop pintu dengan tangan kanan bersarung karet warna oranye.
Aku langsung bangkit dari kursi tunggu di depan kamar jenazah. Kutatap lekat-lekat pria berkacamata goggle, masker medis, dan penutup kepala berwarna hijau tersebut. “Saya bapaknya,” kataku dengan penuh harap cemas.
“Proses autopsi sudah selesai. Kami akan memandikan jenazahnya. Bisakah Bapak masuk ke dalam?” tanya pria itu dengan suara yang santun.
 
BAGIAN 56POV ANWAR “Dewa, tolong berikan ponselmu kepada istriku,” pintaku dengan napas yang kini memburu. Ada rasa geram yang membara dalam dada. Iba itu kini surut. Malah berganti dengan sakit hati tak tertandingi. Jadi … Lia dan Bayu telah menikah? Di belakangku? Tanpa sepengetahuanku? Kapan? Di mana? Sungguh biadab mereka bertiga ternyata! Kamera ponsel Dewangga pun teralih ke atas langit-langit. Terdengar suara pria muda itu tengah berbicara dengan bahasa yang sangat halus pada Ina. “Bu, Om mau bicara lagi. Silakan, Bu.”&nb
BAGIAN 57POV ANWAR Terburu aku meninggalkan kamar jenazah. Setelah keluar dan kembali menutup pintunya rapat-rapat pun, hawa menyeramkan masih kental menyelimuti. Tak hentinya tengkuk merinding, meski aku telah berhadapan dengan banyak orang. “Bagaimana, Bos?” tanya Ilham sambil bangkit dari duduknya. “Akan dimandikan oleh petugas perempuan. Aku serahkan pada mereka. Sekarang, aku mau menemui Bayu.” Aku berucap tegas. Semua orang yang semula duduk, sontak bangkit dan mengelilingiku. “Budiman, ikut aku ke IGD. Bayu masih di sana untuk pemulihan luka tembak,” ucapku beralih seraya menatap B
BAGIAN 58POV Anwar “Kenapa sampai bisa masuk ke RSJ, Bay?” tanyaku dengan suara yang semakin lirih dan merendah. Kuusap dahi Bayu yang tampak penuh peluh. Tangisnya pun menderu lagi. Tangannya sampai terlihat gemetar bila kuamati baik-baik. Bibir Bayu malah menggigil. Belum mau menjawab. Suara isaknyalah yang mendominasi. “Ceritakan pada Papa, Bay. Papa tak akan marah atau menyalahkanmu,” ucapku lagi masih mengusap dahi dan pipinya. “J-janji?” tanyanya sambil mengerling. Aku mengangguk. Mataku menatap bi
BAGIAN 59POV ANWAR Usai melampiaskan kegeramanku pada Bayu, gegas kutinggalkan anak itu dalam keadaan yang masih menangis pilu. Entah mengapa, rasa kasihan di dalam benakku sudah habis. Budiman yang ternyata menunggu di dekat pintu tampak kaget saat melihatku keluar. Mukanya langsung pias. Terlebih ketika suara tangis Bayu makin terdengar dari luar sini, meski pintu sudah ditutup. “Bos,” panggil Budiman. “Sudah. Jangan ikut campur. Ayo, temani aku ke RSJ,” ucapku sambil berjalan mendahuluinya. Budiman terdengar meng
BAGIAN 60POV ANWAR Setelah diam agak lama, aku akhirnya menyahut Budiman, “Lihat nanti.” Budiman kulirik mengangguk kecil. Bibirnya mengatup erat. Kutahu bahwa dia tak kuasa untuk mengutarakan sanggahan. Dia tahu betul watakku seperti apa. Mobil terus berjalan. Membelah jalanan yang diterangi oleh lampu-lampu jalanan. Pekatnya langit dini hari tak membuat suasana jadi mencekam. Malah terkesan syahdu akibat terangnya cahaya lampu yang terpasang di sepanjang tepian jalan. Hatiku mulai gelisah. Was-was membelenggu. Tak siap rasanya untuk berhadapan dengan Risti, menantuku. Bagaimana … bila kondisinya m
BAGIAN 61POV ANWAR Sementara mas-mas perawat IGD itu membantu kawannya yang diduga pingsan untuk berbaring di lantai, aku malah bergegas mencari di mana ruang isolasi dua tempat di mana Risti dirawat. Kakiku melangkah secepat kilat. Bunyi langkah pun juga terdengar di belakang sana. Saat kulihat, ternyata ada Budiman. Dia malah menyusulku. “Bos, mau ke mana?” teriaknya sambil berusaha menyejajarkan langkah di sampingku. “Cari ruang isolasi dua!” perintahku sambil celingak-celingkuh ke kiri dan ke kanan. “Itu!” Budiman setengah berteriak. Napasny terengah. Dia menunjuk pintu di depan sana.
BAGIAN 62POV ANWAR “Dokter Savero? Siapa dia?” desakku. Namun, sialnya Gugun malah kembali terlelap. Kepalanya terkulai di atas pembaringan. Kuguncang pundaknya demi membangunkan perawat itu. Tiada hasil. Dia malah mendengkur. “Dokter Savero? Apakah jangan-jangan … Risti diculik olehnya? Atau … jangan-jangan dokter itu telah memberikan obat tidur pada perawat ini?” gumamku bingung. Aku gegas balik badan. Tergesa mendatangi sebuah ruangan yang berada di belakang meja kerja perawat dokter IGD tersebut. Kubuka kenop pintu ruangan yang ternyata terkunci rapat dari dalam. Sudah jam segini, bahkan petugas
BAGIAN 63POV ANWAR Aku benar-benar dilanda geram yang luar biasa. Ke mana lagi harus kucari dokter bernama Savero itu? Tanpa berpamitan pada si penjaga kost, aku langsung balik badan. Melangkah tergesa untuk masuk ke mobil. Kemudian dengan kesalnya aku mengendara tanpa tahu ke mana arah dan tujuan. “Sial!” umpatku setengah memekir. Sosok Budiman di sebelahku terlihat kaget. Dia sontak terbangun. Matanya gelagapan mencari-cari apakah gerangan yang telah membuatku naik pitam. “K-kenapa, Bos?” tanyanya tergagap.