Kurang lebih dua jam kemudian aku dan Bang Ridwan sampai di Semarang. Banyak perubahan pada bandara ini, dahulu saat pertama kali melangkahkan kaki di Semarang, bandara ini masih kecil. Saat menunggu antrean bagasi, aku segera menghubungi Bang Nanda–teman yang aku kenal dari dunia maya karena memiliki ketertarikan yang sama dalam dunia menulis.
Aku bertemu dengannya saat aku memberanikan diri untuk kembali ke Semarang setelah belasan tahun menghindari kota tersebut. Saat itu ada pelatihan kepenulisan yang diadakan di Semarang, aku kemudian mengambil kesempatan itu untuk menambah pengetahuanku tentag dunia tulis menulis.
Hari pertama saat menginjakan kaki kembali di Semarang semuanya terasa baik-baik saja, juga hari kedua saat acara pelatihan kepenulisan diselenggarakan, aku masih bisa tertawa dan bercanda dengan teman yang memiliki minat yang sama dalam dunia merangkai kata.
Luapan kenangan itu mulai menghampiriku pada hari ketiga. Pagi itu aku memutuskan untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di Semarang yang jaraknya tidak jauh dari hotel. Pagi-pagi sekali aku memesan taksi online menuju kawasan Kota Lama, lalu berjalan kaki ke Pasar Johar untuk menyantap Soto Bangkong, setelah kenyang aku pergi ke salah satu rumah sakit di Semarang.
Di rumah sakit inilah dahulu Ibu sering bolak-balik berobat dan terakhir kali harus dirawat cukup lama karena harus melakukan cuci darah. Aku tidak bisa lagi menahan banjir air mataku di rumah sakit itu, pada salah satu bangku di taman kecil rumah sakit aku menangis.
Beberapa saat aku tidak bisa mengangkat kepalaku, rasanya berat sekali. Hingga sebuah tangan lembut menyentuhku, anak kecil dengan senyum manisnya mengulurkan selembar tisu padaku. Aku mengambil tisu yang dia berikan dan akan mengucapkan terima kasih, tetapi anak kecil itu telah berlari dan menghilang di balik orang-orang yang memenuhi rumah sakit.
Aku menceritakan itu pada Bang Nanda, orang yang akan aku dan Bang Ridwan temui siang ini. Bang Nanda tahu aku menangis hari itu, karena aku tidak bisa menyembunyikan mata merah habis menangisku saat berpamitan pulang padanya.
Hari ini dia berbaik hati akan menemaniku dan Bang Ridwan, juga besok saat akan mensurvei rumah dan apartemen di Semarang. Ponselku bergetar, Bang Nanda menghubungiku, mengatakan akan menjemputku dan Bang Ridwan. Namun, aku segera menolaknya, karena aku dan Bang Ridwan akan langsung ke hotel untuk mengantar barang-barangku yang lumayan banyak.
“Yakin nih, enggak perlu dijemput?” tanya Bang Nanda melalui ponsel.
“Iya, mau ngantar barang dulu. Ketemuan saat makan siang aja, ya. Nanti kasih tau mau makan di mana. Aku dan Abang akan nyusul,” usulku.
“Kalau gitu aku jemput di hotel aja, ya.”
“Boleh deh, nanti aku chat nama hotelnya.”
“Siap,” tutup Bang Nanda.
“Temanmu yang itu, ya?” tanya Bang Ridwan.
“Iya, katanya nanti mau jemput di hotel.”
Bang Ridwan mengangguk, lalu aku mengambil salah satu koper besar dari tangannya. Aku lalu mencoba menghubungi taksi online saat melalui hall kedatangan. Setelah memastikan kalau taksi online telah dekat, aku dan Bang Ridwan segera pergi ke pick-up zone. Saat sampai, ponselku kembali bergetar, panggilan dari taksi online yang aku pesan.
Supir taksi online tersebut mengatakan kalau dia baru sampai di pick-up zone, tiga menit kemudian aku baru menemukan kendaraan dengan plat mobil yang dia sebutkan. Aku segera memberi kode pada Bang Ridwan untuk menghampiri mobil yang telah berhenti itu.
Saat keluar dari pintu pengemudi, supir tersebut disambut Bang Ridwan, aku sedikit tertawa dengan sikap sksd Bang Ridwan kepada supir taksi online tersebut. Untuk mengurangi perselisihan antara supir taksi online dan supir taksi bandara, para penumpang harus bisa menyiasatinya dengan mengatakan kalau para supir taksi online sebagai kerabat jauh yang akan menjemput.
Supir taksi online tersebut memasukkan dua koper besar ke bagasi, Bang Ridwan lalu mengambil duduk di kursi penumpang samping supir, dan aku memilih duduk di belakang dengan dua ransel besar. Bang Ridwan yang lebih banyak mengobrol dengan supir taksi, aku hanya mendengarkan sambil memperhatikan jalanan.
Sekitar dua puluh menit kemudian kami sampai di hotel, supir taksi yang murah senyum itu kemudian membantu membawakan koper hingga ke lobi. Aku dan Bang Ridwan segera check in untuk dua kamar. Satu minggu yang lalu aku sudah memesan kamar melalui aplikasi, jadi proses check in tidak memakan waktu lama.
Aku segera mengirim pesan kepada Bang Nanda setelah membereskan beberapa barang dan berganti pakaian. Aku menerima pesan balasan dari Bang Nanda yang mengatakan kalau lima menit lagi dia sampai saat aku mengetuk kamar Bang Ridwan.
“Bang Ridwan sudah siap?”
“Iya, bentar, ya. Mau ngambil ponsel dulu.”
Saat aku dan Bang Ridwan sampai di lobi, aku bisa melihat Bang Nanda berdiri di samping mobil berwarna silver di area parkir.
“Terima kasih sudah mau direpotkan sama Kana,” sapa Bang Ridwan seraya mengulurkan tangan ke arah Bang Nanda.
“Enggak kok, santai aja. Nanda,” sambut Bang Nanda sambil mengenalkan diri.
“Ridwan,” balas Bang Ridwan.
Bang Nanda membawa aku dan Bang Ridwan makan siang di salah satu rumah makan dekat Simpang Lima. Bang Nanda merekomendasikan bebek goreng sambal manga, tetapi Bang Ridwan segera geleng-geleng kepala.
“Enggak bakalan disentuh sama Kana, yakin deh,” ungkap Bang Ridwan tentang salah satu makanan yang tidak bisa aku makan.
“Enggak makan bebek, ya. Wah … rugi banget. Atau mau dicoba dulu, bukan alasan alergi, kan?” tanya Bang Nanda.
“Bukan alergi kok, enggak biasa makan aja,” sahutku.
“Pesan aja, nanti kalo Kana enggak mau biar aku yang makan.” Bang Ridwan ikut menimpali.
“Waktu acara di Semarang dulu dia juga enggak ngambil jatah kotakan yang dikasih. Kana makannya pilih-pilih, ya?” tanya Bang Nanda ke Bang Ridwan.
“Beberapa makanan ada yang dia enggak bisa makan, sebenarnya lebih ke enggak biasa makan aja,” jawab Bang Ridwan.
Aku sebenarnya tidak enak membicarakannya, terlebih kami baru saja akan makan, yang ada aku malah enggak berselera makan. Akhirnya kami memesan dua porsi bebek goreng sambal mangga untuk Bang Ridwan dan Bang Nanda, sedangkan aku memilih menu aman–ayam goreng sambal mangga.
Saat pesanan sudah dihidangkan, aku sempat mencicipi bebek goreng punya Bang Ridwan, aku hanya bisa menelannya sedikit, kemudian enggak mau lagi.
“Nanti jangan nangis lagi, ya,” ucap Bang Nanda di sela makannya.
Aku menghentikan kegiatanku mengunyah ayam goreng yang ternyata enak sekali kalau dimakan bareng sambal mangga.
“Di pesawat tadi juga udah kuwanti-wanti,” sahut Bang Ridwan sedikit tertawa.
“Selain pilih-pilih makanan, Kana juga mudah nangis ternyata,” sambung Bang Nanda.
“Tergantung pemicunya, aku enggak cengeng kok,” kilahku.
“Bener loh ya, kan enggak asyik aja kalo sudah tinggal di Semarang eh malah nangis tiap hari. Bisa bengkak berkepanjangan tuh mata.” Bang Nanda lalu tertawa melihat reaksi wajahku karena ucapannya barusan.
Aku menoleh ke samping, dan mendapati Bang Ridwan yang juga sedang menutup mulutnya, aku yakin dia juga mentertawakanku. Menangkap kilat ketidaksukaanku Bang Ridwan lantas mengalihkan tangan yang menutup mulutnya tadi ke bahuku.
“Tenang aja, nanti kita beli tisu dan masker mata yang banyak.”
Bang Ridwan dan Bang Nanda lalu tertawa lepas, mentertawakan diriku yang nekat memilih Semarang sebagai tempat tinggal. Aku ikhlas mendengar tawa mereka berdua sambil menghabiskan ayam gorengku.
Tanggung mau balik ke hotel lagi, Bang Nanda lalu membawaku dan Bang Ridwan ke Toko Oen untuk mencicipi es krim sebelum berkeliling di kawasan Kota Lama. Bang Nanda lalu membawaku dan Bang Ridwan ke daerah perbukitan di Semarang untuk makan malam. Dari rumah makan ini kami dapat menikmati pemandangan Kota Semarang di malam hari. Melihat aku yang mulai lelah, Bang Ridwan menolak ajakan Bang Nanda kembali ke kawasan Kota Lama untuk menikmati kopi di sana.
“Besok aja deh, kalo Kana-nya juga enggak capek,” tolak Bang Ridwan.
Enak sekali Anda menjadikan saya alasan, ucapku dalam hati.
“Siap, Bang,” sahut Bang Nanda.
Saat di kamar aku segera mengirim pesan pada Bang Nanda untuk mengucapkan terima kasih. Balasan dari Bang Nanda baru aku baca setelah kembali dari kamar mandi dan merebahkan diri. Aku jadi tersenyum sendiri, pesannya sama seperti dahulu, saat aku berterima kasih dan berpamitan pulang sekali lagi via pesan dan dia memintaku mengucapkannya secara langsung kalau aku bisa kembali ke Semarang lagi.
[Ucapinnya nanti aja kalau udah ketemuan lagi.]
Keesokan harinya seperti janji Bang Nanda kemarin, pukul delapan pagi dia sudah sampai di hotel tempatku dan Bang Ridwan menginap. Bang Ridwan masih duduk menikmati kopi paginya bersama sepotong roti di restoran hotel. Aku menghampiri Bang Nanda di tempat parkir dan mengajaknya untuk sarapan.“Boleh deh, ngopi pagi dulu,” sambut Bang Nanda yang berjalan di sampingku menuju restoran hotel yang terletak di samping lobi.Aku mengambil beberapa potong semangka dan buah melon, kemudian mengambil segelas air putih. Bang Nanda yang berdiri di sampingku dengan segelas kopi hitam mengernyitkan dahinya.“Sehat banget menu sarapanmu, Kana,” kekeh Bang Nanda kemudian menghampiri Bang Ridwan.“Kopi aja nih?” tanya Bang Ridwan pada Bang Nanda saat aku bergabung bersama mereka.“Udah makan tadi, tapi kalo kopi mah enggak bisa ditolak,” jawab Bang Nanda.“Nanti mau lihat yang mana dulu nih? Mau lih
Kami hanya menaruh barang-barang di kamar ketika sampai di hotel, karena keinginan ketiga keponakanku tidak bisa ditolak lagi, mereka sudah ingin cepat-cepat diajak jalan. Setelah dibujuk agar lebih tenang untuk ukuran anak-anak dan remaja, barulah kami melanjutkan perjalanan.Bang Ridwan memutuskan membawa kami ke salah satu pusat perbelanjaan di daerah Simpang Lima. Terlebih karena Kak Dinah dan Kak Maya memaksa memilihkan barang-barang untuk tempat tinggal baruku nanti. Sebenarnya tidak banyak yang perlu dibeli, karena aku sendiri juga membawa barang-barang dari rumah di Kalimantan.Setelah lelah bermain dan berkeliling pusat perbelanjaan, akhirnya ketiga keponakanku mau diajak pulang. Lagi pula, kasihan si kecil Mega yang sudah rewel. Malam ini aku tidur dengan Allisya dan Alifa, mereka terlelap lebih dahulu setelah mandi dan mengganti pakaian. Sebelum menyusul mereka tidur, aku membuat catatan kecil pada ponselku. Mencoba menuliskan rasa syukur yang masih bi
Tidak ke Yogyakarta namanya kalau tidak menelusuri jalanan Malioboro. Bang Ridwan membawa kami ke jantung Kota Yogyakarta itu untuk menikmati makan malam di warung lesehan, mencicipi gudeg yang kata Kak Puspa bikin kangen. Makin malam, jalan makin ramai, karena jalan makin penuh dengan pengunjung yang juga sedang menikmati liburan akhir tahun mereka, kami memilih untuk tidak berlama-lama. Selain itu, masih ada destinasi lain yang harus dikunjungi, jadi kami perlu menghemat tenaga agar tidak kelelahan.Pagi-pagi Bang Ridwan telah menghilang untuk mencari tempat penyewaan mobil. Dia paling tahu soal Yogyakarta, karena pernah kuliah selama dua tahun di sini. Dari melihat Bang Ridwan inilah aku juga jadi termotivasi untuk melanjutkan pendidikanku hingga ke jenjang master. Ada kesenangan tersendiri saat kembali disibukkan dengan kegiatan belajar.Pukul tujuh lewat Bang Ridwan telah siap dengan mobil sewaannya, kami berencana akan pergi ke Pantai Parangtritis untuk men
Aku bertemu dengan Dokter Acha untuk melakukan pemeriksaan ulang di Semarang. Sesuai saran Dokter Tanto, aku bisa memercayakan proses pengobatanku pada dokter cantik di depanku ini.“Diameternya masih tidak terlalu besar, tapi dari letaknya bisa saja mengganggu fungsi kelenjar pineal-mu. Apa kamu punya gangguan susah tidur?” tanyanya saat menunjukkan hasil CT Scan otakku.Aku mengangguk, membenarkan ucapan Dokter Acha tentang gangguan tidurku.“Aku belum bisa mengambil tindakan lebih lanjut, kamu masih perlu melakukan biopsi. Operasi kecil untuk mengambil bagian tumor di otakmu, untuk memastikan jenis tumor dan stadiumnya. Bagaimana? Mau segera aku buatkan jadwalnya?” usul Dokter Acha.Aku terdiam sebentar, mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan keinginanku, aku sedikit gugup, takut dia akan menolaknya. Sebenarnya, kalaupun Dokter Acha tidak bersedia, aku masih bisa memeriksakan diri ke dokter lain di Semarang, hanya saja ak
Aku melirik penunjuk waktu pada ponsel, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bang Nanda minta ditemani minum kopi sekitar jam setengah sepuluh malam, setelah dia selesai kerja. Aku segera mengirim pesan padanya kalau aku sudah tiba di kafe tempat kami janjian.Beberapa menit kemudian chat-ku dibaca Bang Nanda, tetapi tidak ada balasan. Mungkin dia sedang di jalan, aku menyeruput minumanku yang mulai dingin. Terdengar suara kursi digeser di belakangku, kemudian Bang Nanda muncul di hadapanku dan mengisi kursi yang tadi Dila tempati. Aku sedikit terkejut dengan kedatangannya.“Aku termasuk orang yang akan kamu kasih tau tentang penyakitmu, enggak?” tanya Bang Nanda serius.Aku masih terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Aku tidak bisa langsung menjawab pertanyaannya.“Sepertinya bukan,” jawab Bang Nanda sendiri.“Aku pesan kopi dulu, ya,” lanjutnya lagi, kemudian berdiri untuk membuat pesanan
Aku memulai perjalanan ke Vancouver pada akhir bulan Februari. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana beberapa bunga sudah mulai mengintip malu di sela-sela hujan yang mengguyur Vancouver di bulan Februari. Lamunanku buyar saat Bang Nanda meletakkan sepiring tahu gimbal di depanku.Bang Nanda satu bulan ini lebih cerewet daripada Bang Ridwan dan kedua kakakku. Dia hampir setiap pagi menanyakan kabarku, dan selalu sudah siap di parkiran apartemen kalau aku akan pergi ke suatu tempat.Dia juga setiap minggu selalu menemaniku berbelanja, dia tidak lagi mengejek makanan sehatku, karena aku juga akan memaksanya untuk memakan menu harianku yang rata-rata mentah.Kecerewetannya bertambah saat aku sudah memberitahunya tanggal keberangkatanku ke Vancouver. Seperti hari ini, dia beberapa kali memintaku memeriksa informasi rumah sakit terdekat di Vancouver nanti, mengingatkanku untuk selalu berada di keramaian, padahal aku ingin menenangkan diri, ingin mencari tempat yang t
Vancouver adalah kota yang bisa memberikanku dua pemandangan sekaligus, laut dan pegunungan. Aku sangat suka laut, mungkin karena aku tinggal di daerah pesisir, laut selalu membuatku rindu. Saat menyapa laut, aku bisa berubah menjadi anak kecil yang kegirangan mengejar dan berlari bersama ombak yang menyapu bibir pantai.Setelah mengobrol cukup lama dengan Prof. David, aku dan Kate hanya sempat melihat-lihat perpustakaan utama kampus. Perpustakan ini memiliki banyak koleksi novel, yang hanya sempat kubaca beberapa. Saat otakku sudah mengepul untuk tugas dan penelitian, aku menyempatkan diri untuk membaca satu novel dalam sebulan untuk menyeimbangkan pikiranku.Di perpustakan ini juga aku mencari inspirasi dan tambahan referensi dalam membuat beberapa artikel untuk keperluan klien-klienku. Berbekal rasa ingin tahu, aku mencoba membiasakan diri untuk membaca buku-buku yang jarang aku masukkan dalam daftar bacaanku. Hal ini aku lakukan untuk memperkaya artikel yang
Aku hanya berbaring seharian di tempat tidur setelah kembali dari Vancouver. Aku sudah menumpuk terlalu banyak pekerjaan yang aku abaikan sama sekali selama di Vancouver. Aku ingin segera menuntaskan pekerjaan tertundaku, tetapi Dokter Acha lebih dahulu memintaku melakukan pemeriksaan.Ditambah lagi ada Bang Nanda yang jadi lebih siaga. Aku jadi khawatir dengan hubungan Bang Nanda bersama wanita yang pernah dia ceritakan padaku, aku jadi tidak enak menerima perlakuan terlalu berlebihan darinya.“Bang, nanti Kana bisa pergi sendiri kok. Bang Nanda enggak perlu setiap saat menemani Kana, ya,” pintaku saat kami menuju rumah sakit.Bang Nanda hanya mengangguk, dia terlihat murung hari ini. Entah apa yang mengganggu pikirannya hari ini, padahal dia selalu ceria saat bertemu denganku.Dokter Acha kemudian segera memeriksa kondisiku, menyarankan agar aku istirahat total untuk dua minggu ke depan. Dia juga memintaku untuk tidak mengabaikan menu makana