Betapa terkejutnya Devan saat melihat Sean ada di depan pintu dengan tersenyum manis dan melambaikan tangannya. "Kamu, anak yang tadi," ujar Devan tak percaya. "Iya aku anak yang tadi," jawab Sean. "Namamu Sean, 'kan?" "Betul sekali." "Bagaimana kamu bisa ke sini?" "Hmm... boleh aku masuk?" "Jan—"Belum selesai Devan melarang Sean untuk masuk, tapi Sean sudah masuk ke dalam apartemen Devan.Devan menghela napasnya, anak ini benar-benar membuatnya kesal. Bagaimana mungkin seorang anak kecil bisa masuk ke dalam unit kamar apartemennya. "Aku harus pindah apartemen kalau begini," gerutu Devan. "Jangan pindah Om, kalau Om pindah aku nanti bingung nyari Om di mana," sahut Sean sambil duduk di sofa Devan. "Kamu keluar, aku ga suka ada tamu di rumahku," ujar Devan dengan kesal. "Iiis kejam banget sih jadi om-om. Om ga lihat aku tuh masih kecil dan banyak orang jahat di luar. Kalau aku di culik gimana?" "Bukan urusanku." "Nyesel loh Om kalau
Selena yang masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya di cctv membuat kepalanya semakin pusing. Selena melihat keadaan sekitarnya seakan berputar, dia memegang kepalanya dan jatuh tak sadarkan diri. Carla, Yesi berteriak kaget saat Selena terjatuh tak sadarkan diri di lantai. Mereka segera membawa Selena ke rumah sakit terdekat. Selena tersadar di dalam kamar rawat rumah sakit, dia memegang kepalanya yang pusing. "Bu Amira, Anda sudah sadar," ujar Carla melihat Selena dengan khawatir. "Saya sudah mencoba menghubungi Pak Yohanes perwakilan Johanson Company, tapi belum ada tanggapan Bu," ucap Yesi. "Apa yang harus kita lakukan Bu? Ini juga sudah tengah malam," ujar Carla. "Sudah ga apa- apa nanti aku yang urus Sean," ujar Selena. "Tapi, apa Anda mengenal Pak Devano Johanson?" tanya Carla curiga.Selena hanya terdiam, dia tak dapat menjawab perkataan Carla. Carla melihat wajah Selena yang tampak gusar, dia yakin Selena mengenal Devano Johanson. Sean juga memiliki
FlashbackSelena yang tidak bisa tidur terpaksa harus menemui Devan di Johanson Company agar bisa bertemu dengan Sean. Tak mungkin dia mencari Sean di kediaman keluarga Johanson. Dia memantapkan dirinya harus berani menghadapi Devan. Dia tak bisa kalau harus menghindari Devan. Carla dan Yesi sudah berada di kamar hotel Selena. "Kita ke Johanson Company," ujar Selena. "Iya Bu." Carla dan Yesi menjawab dengan serempak. "Kamu ngapain ikut-ikutan aku," ujar Carla kesal dengan Yesi. "Memang kata-kata 'iya Bu' milik kamu. Bukan, 'kan?" jawab Yesi dengan kesal juga. "Sudah-sudah ga usah bertengkar hanya karena sebuah kata. Aku lagi pusing."Yesi dan Carla terdiam. Mereka tak ingin membuat Selena marah dari pada kena semprotan. Sepanjang perjalanan Selena gelisah sendiri. Dia terus memberi sugesti pada dirinya sendiri agar berani menghadapi Devan. Lelaki yang paling menyakiti dirinya lebih dari apapun di dunia.Aku ga boleh takut. Ingat aku sudah dibuang Devan. Aku s
Selena berada di dalam kamar hotelnya, dia masih menangis mengingat semua kejadian yang menyakitkan pernah terjadi 5 tahun lalu. Sean hanya bisa diam mencoba memahami apa yang telah terjadi pada Selena dan Devan, dia juga bingung dengan perkataan Devan yang tidak mengetahui kalau mempunyai anak. Mengapa pada mengira Selena telah meninggal, dia harus mencari tahu semuanya.Devan datang ke kediaman keluarga Johanson tempat Marlina tinggal. Dia ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Selena yang dikiranya telah meninggal seakan hidup kembali dan tinggal di Amerika. "Nenek di mana?" tanya Devan pada Bi Diah. "Nyonya Marlina sedang beristirahat di kamarnya Tuan," jawab Bi Diah. "Rudi, di mana Rudi?" "Pak Rudi baru saja kembali ke rumahnya Tuan." "Apa Nenek baik-baik saja? Apa Nenek ada pergi ke mana gitu?" "Nyonya Marlina kecapekan Tuan. Nyonya dan Pak Rudi baru 2 hari yang lalu kembali dari Amerika, Tuan." "Amerika? Ngapain?" "Saya kurang tahu, Tuan."Dev
Selena dan Devan bersama Carla menuju hotel, mereka akan memeriksa cctv hotel mencari Sean. Yesi menyambut mereka dengan wajah gusar, di sudah melihat cctv. "Bagaimana cctv hotel?" tanya Selena. "Sean pergi dengan sebuah mobil, Bu," ujar Yesi. "Mobil? Mobil siapa?" tanya Devan dengan penasaran. Mereka pun segera ke ruang keamanan hotel, melihat Sean keluar dari kamar Selena, masuk ke dalam lift dan bertemu seorang pria. Pria itu lalu membawa Sean dan masuk ke dalam mobil sedan berwarna merah. Devan terkejut, dia mengenal mobil itu. Itu mobil Rudi, sekretaris pribadi Neneknya, Marlina. Mereka keluar dari ruang keamanan. Selena sangat mengkhawatirkan keadaan Sean. "Aku harus bagaimana? Sepertinya Sean di culik," ujar Selena dengan wajah khawatir. "Tenanglah Lena," ujar Devan berusaha menenangkan Selena. "Bagaimana aku bisa tenang! Anakku hilang entah di bawa siapa." "Sean juga anakku bukan hanya anakmu saja." Devan tak bisa mengatakan pada Selena tentang mobil Rudi.
Devan sampai di kediaman keluarga Johanson, sayup-sayup dia mendengar suara Marlina tertawa, setelah sekian lama baru ini dia mendengar suara Neneknya tertawa begitu bahagia. Dia yakin Sean membuat Neneknya tertawa bahagia seperti sekarang. "Wah yang lagi asyik," ujar Devan. "Tuh Papimu datang Sean." Marlina tersenyum melihat kedatangan Devan. "Papi...," ucap Sean pelan.Devan mendekati Sean, dia memeluk putranya dengan erat. Air mata terjatuh di pipinya, dia sangat bersyukur putranya masih hidup. "Maafkan Papi yang terlambat tahu tentangmu, Sean," ujar Devan dengan lembut.Sean menangis dalam pelukan Devan. Walau dia juga dekat dengan Kevandra, tapi rasanya mengetahui tentang ayah kandungnya tetap berbeda. "Apa kamu marah sama Papi, Nak?" tanya Sean. "Ga Papi, aku ga marah, tapi Mami yang marah sama Papi. Walau aku ga tahu masalah Papi dan Mami. Aku tetap bersyukur akhirnya tahu kalau punya Papi kandung." "Maafkan Papi yaa Nak."Marlina menangis melihat cucu dan cicit
Wajah Selena memucat, dia sangat shock mendengar semuanya. Dia tak sanggup berkata apapun lagi, suaranya seakan tercelak tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Kenyataan yang baru diketahuinya begitu menyiksa pikirannya. "Aku mau kembali ke hotel," ujar Selena pelan. "Lena, tidurlah di sini jangan kembali ke hotel. Besok saja kamu pulang bersama Sean. Jangan malam ini." "Aku ga bisa Dev. Aku tidak bisa di sini, aku hanya ingin sendiri menenangkan pikiranku." "Baiklah jika ini memang keinginanmu, aku akan mengantarkanmu kembali ke hotel."Devan mengantarkan Selena kembali ke hotel, begitu sampai di hotel. Kevandra berada di lobby menunggu Selena dan Devan. Dia mendekati Selena, tapi Selena mengacuhkannya dan berlalu pergi masuk lift. "Apa yang kamu lakukan pada Selena, Devan!" bentak Kevandra. "Kita tidak usah bertengkar Kevandra. Aku lelah dan tak punya tenaga lagi untuk bertengkar denganmu." "Jangan pura-pura kamu, Devan!" "Ga usah marah-marah. Selena sudah mengetahu
Selena sudah tiba di rumah keluarga Johanson dia langsung mencari Devan, tapi Devan tak ada di sana. Dia hanya bertemu dengan Marlina dan Sean. "Mami," teriak Sean. "Kesayangan Mami, kamu ga nakal, 'kan?" "Ga dong Mami. Aku seneng di sini, main sama Papi dan Nenek. Tau ga Mi, koleksi buku Nenek banyak banget." "Sean, anak yang sangat pintar, Lena. Nenek ga menyangka baru usia 5 tahun membacanya sangat lancar dan sombongnya itu loh kaya Devan," ujar Marlina sambil tertawa melihat kelakuan Sean. "Aku 'kan anak Papi, Nek. Tentu saja harus menuruni sifat sombongnya selama sombong itu masih gratis kalau bayar pasti Mami marah- marah lagi lalu bilang pemborosan."Marlina tertawa mendengar perkataan Sean dan Selena mendelikkan matanya ke arah Sean. "Tuh Nek, lihat mata Mami di buka lebar- lebar tandanya kasih kode kalau lagi marah." "Nek, ga usah dengerin Sean. Sean suka sekali bercanda." "Sudahlah kalian berdua bikin Nenek ketawa terus sampai perut Nenek sakit." "Aku mau