"Kenapa aku nggak mati aja, sih, Bu?" tanya Sonya dengan tatapan kosong.
"Nak, nggak boleh ngomong gitu," Parwati yang sedang menyuapi Sonya menahan tangisnya saat mendengar perkataan Sonya, hatinya benar-benar sakit saat mendengar perkataan menantu kesayangannya itu.
"Kadang aku ngerasa kalau semua kesakitan di hidupku, nggak ada habisnya," ungkap Sonya pelan.
"Sonya Tuhan tidak akan mungkin memberikan cobaan pada umatnya bila umatnya tidak sanggup melaluinya, Sonya," bisik Parwati mencoba menyemangati Sonya sembari menyuapkan makan siang ke mulut Sonya.
Dengan malas Sonya membuka mulutnya dan berjuang mendorong makanan yang mertuanya itu suapkan. "Tapi, Sonya udah nggak sanggup, Bu. Sonya nggak sanggup, Sonya mau mati aja, Bu," isak Sonya.
"Sonya ... Sonya maafkan Ibu, tapi, Ibu harus menandatangani surat persetujuan tindakan medisnya, mereka bilang kamu harus secepatnya dioperasi kalau tidak nyawa kamu tidak tertolong," isak Parwati sembari memeluk tubuh Sonya dengan erat. "Maafkan Ibu, maafkan Ibu."
Sonya hanya bisa menepuk tangan mertuanya dan menangis sesenggukan di pelukan Parwati dan membatin, "Kalau boleh memilih aku lebih baik mati dari pada mengalami ini semua, aku nggak sanggup Tuhan. Kenapa hidup aku seberengsek ini?"
"Bu ... Sonya nggak sanggup." Hanya kalimat itu yang bisa Sonya lontarkan saat ini.
"Kamu sanggup, Sonya. Ibu yakin kamu sanggup ada Ibu dan Emir yang akan selalu membantu dan menemani kamu, Sonya," ucap Parwati sembari mengecup kening Sonya.
Seolah tersadar kalau dirinya memiliki seorang suami sialan bernama Emir yang entah di mana batang hidungnya karena sudah dua hari setelah Sonya melakukan operasi yang mengubah masa depannya itu, Sonya sama sekali tidak melihat Emir.
"Bu," panggil Sonya pelan.
"Iya, Nak?" tanya Parwati sembari menyuapkan kembali makan siang Sonya.
"Ke mana Emir? Ke mana suami aku?" tanya Sonya setelah menelan makanannya dan berbicara dengan nada mencemooh.
Parwati terdiam mendengar pertanyaan Sonya, karena sejujurnya dirinya sama sekali tidak tahu di mana keberadaan anak semata wayangnya itu. Sudah Parwati hubungi semua nomor ponselnya dan nomor perusahaan bahkan Parwati mendatangi perusahaan Emir.
Parwati hanya di sambut oleh satpam dan sekretaris pengganti karena sekretaris Emir sedang cuti. Emir sama sekali tidak ditemukan di mana keberadaannya.
"Ibu minta maaf lagi, Nak, Ibu sudah mencari Emir ke mana-mana tapi, Ibu sama sekali tidak menemukan keberadaannya, Sonya." Parwati merasa sangat bersalah karena anaknya sama sekali tidak bisa di temukan di mana pun juga.
"Kenapa di saat aku butuh dia, dia selalu nggak ada ....” Sonya mencengkeram selimut rumah sakit dengan kedua tangannya berharap dengan mencengkeram selimut itu bisa menyalurkan amarahnya.
"Emir pasti sibuk dan kesulitan mendapatkan sinyal di tempat kerjanya, dia kan sedang ada proyek." Parwati berusaha menenangkan Sonya dengan informasi yang dikarangnya, berharap Sonya mau mengerti dan memaklumi Emir. Parwati berjanji di dalam hati setelah menyuapi Sonya dirinya akan mencari ke mana anaknya itu dan menyeretnya untuk menemani Sonya.
"Oh ...." Sonya sama sekali tidak mau memikirkan apa pun lagi, dia sudah tidak berharap lagi dari suaminya itu dan Sonya sudah tahu di mana suaminya itu berada. Sonya yakin kalau suaminya itu sedang bersama Miskah.
Tok ... tok ....
"Masuk," ucap Parwati sembari membereskan tempat makan Sonya.
Seketika itu juga masuk perawat sembari membawa perlengkapan waslap, "Bu, kami waslap, yah."
"Nggak usah saya saja, Suster," ucap Parwati sembari mengambil perlengkapan waslap dengan sigap.
"Bu, nggak usah biar mereka saja yang waslap aku, aku nggak apa-apa kok," ucap Sonya yang merasa tidak enak hati bila mertuanya itu yang menwaslap dirinya.
"Nggak papa, Ibu masih sanggup kok mengurus kamu, biar Ibu saja," paksa Parwati sembari mempersiapkan segalanya.
Sonya terdiam dan menghela napas pelan, hatinya merasa hangat sekaligus sakit saat melihat betapa telaten mertuanya mengurus dirinya, hal itu membuat Sonya makin merasa tidak enak hati bila meninggalkan Emir. Oh ... Tuhan apa yang harus dia lakukan? Dia ingin bebas dari Emir namun, dia tidak ingin menyakiti hati mertuanya.
••
Brak ....Pintu kamar perawatan Sonya terbuka dengan kasar, sesosok pria yang sangat Sonya kenal berdiri menjulang di sana kemudian menatap Sonya dengan tatapan kesal bercampur marah. Pakaian pria itu terlihat santai, mirip dengan seseorang yang baru pulang dari liburan.
“Hai ... Emir, masih hidup kamu?” tanya Sonya santai.
"Sonya!?" sentak Emir sembari berjalan masuk dan menutup pintu kamar dengan keras.
Sonya yang sedang asyik memakan makan siangnya tersenyum sinis saat melihat suaminya itu mendekati dirinya, Emir baru datang menjenguknya setelah lima hari menghilang entah ke mana. Ludruk sekali kelakuan suami sialannya itu.
"Iya, Emir ada apa?" tanya Sonya dengan nada malas. Datar tanpa emosi.
"Kenapa kamu operasi angkat rahim? Kamu gila?!”
••
"Gimana?" tanya Sonya santai sama sekali tidak terpancing emosinya sama sekali."Maksudnya apa? Kenapa kamu tiba-tiba menjalani operasi pengangkatan rahim tanpa persetujuan aku!? Kamu gila atau apa? Kamu nggak mau punya anak lagi, hah!?" tanya Emir yang marah karena mengetahui kalau istrinya saat ini sudah tidak memiliki rahim lagi dan tidak mungkin bagi mereka berdua mendapatkan kembali anak. Padahal, Emir sangat menginginkan Sonya untuk hamil kembali."Kamu dari mana aja?" Sonya sama sekali tidak menjawab pertanyaan Emir.Emir menatap manik mata Sonya tidak percaya karena istrinya ini malah bertanya balik dan bukan menjawab pertanyaannya sama sekali. Dengan kesal Emir menutup pintu kamar rumah sakit, "Sonya, aku tanya sama kamu. Kenapa kamu melakukan prosedur operasi pengangkatan rahim tanpa persetujuan aku?"
1 tahun kemudian ...."Sonya udah," bisik Lidya yang kaget melihat Sonya mencabik-cabik tisu seperti orang kurang waras."Kenapa ibu maksa bangat bikin acara kaya gini, sih?" tanya Sonya semaput karena Parwati tiba-tiba meminta dirinya untuk mengadakan acara ulang tahun perkawinan dirinya dengan Emir."Ya ... mungkin dia ingin liat kamu sama Emir bahagia?" canda Lidya sembari mengambil gumpalan tisu yang sudah Sonya cabik-cabik."Wow ... bahagia banget hidup aku sama Emir, saking bahagianya aku senang banget dia nggak pernah pulang ke rumah," jawab Sonya sembari membawa gelas berisikan champagne dan menegaknya hingga habis."Dia beneran nggak pulang?" tanya Lidya yang mulai khawatir dengan kehidupan pernikahan Sonya yang benar-
15 menit sebelumnya ...."Kamu kenapa?" tanya Miska bingung saat melihat Emir yang menekuk wajahnya selama mereka berduaan di pojokkan rumah Sonya, bersembunyi dari para tamu undangan.Miska sudah tau status dirinya yang hanya dijadikan selingkuhan oleh Emir, Miska sama sekali tidak berkeberatan karena dia tahu kalau hubungan Emir dan Sonya sama sekali tidak bisa diselamatkan lagi tapi, mereka masih bersama demi kesehatan ibu kandung Emir."Kamu kenapa, Emir? Kamu sakit?" tanya Miska sembari menyapukan jemarinya di rambut Emir yang tebal.Emir yang merasakan sentuhan di kepalanya langsung menepis tangan Miska, dia sedang tidak mood untuk disentuh oleh selingkuhannya ini. Hatinya benar-benar panas saat mendengar perkataan Sonya yang mengatakan kalau selama ini tidak pernah terpuaskan olehnya. Ingin rasanya Emir sobek mulut Sonya saat mendengar hal tersebut, apakah dirinya semenyedihkan itu sampai tidak bisa membuat Sonya orgasme?"Mir, kamu kenapa?"
"Aw ... sakit, Bu Sonya."Sonya dengan sekuat tenaganya menarik rambut Miska dan menyeretnya untuk beranjak dari ranjangnya sambil sesekali tangannya menampar dan mencakar bagian mana pun dari tubuh Miska yang bisa Sonya kenai."Wanita kurang ajar!? Nggak cukup kamu bercinta di kantor suami aku, hah!? Sekarang kamu bercinta di kamar aku! Perempuan nggak punya otak!?" maki Sonya sembari terus memukuli Miska dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menjambak rambut Miska sekeras mungkin hingga membuat tubuh wanita itu terseret kemudian entah tenaga dari mana Sonya mampu membanting tubuh Miska ke lantai dengan keras."Sonya! Apa-apaan kamu!? Lepasi Miska, Sonya!" sentak Emir yang kaget dengan betapa besar tenaga istrinya itu, tubuh Sonya yang kecil ternyata mampu menyeret Miska hingga terpelanting ke lantai."Bu Sonya, lepas, Miska mohon lepas, sakit, Bu," pinta Miska sembari mencengkeram tangan Sonya berusaha untuk melepaskannya.
Sonya menampar pipi Emir sekeras mungkin dengan tangan yang sudah terlepas dari kuncian suaminya itu, tubuhnya bergetar menahan amarah dan sorot mata tajam Sonya tidak bergerak dari manik mata Emir.“Mau kamu apa, hah?!” sentak Emir yang kaget saat mendapati rasa sakit akibat tamparan Sonya yang sangat keras.Sonya menyusupkan kakinya di antara tubuhnya dan menendang tubuh Emir dengan keras hingga membuat tubuh suaminya itu terjengkang, Sonya hanya melihat sekilas pada Emir yang tubuhnya menabrak lemari baju.“Mau aku? Mau aku kamu nggak udah bawa lonte ini ke rumah aku, ke ranjang aku?!” sentak Sonya sembari mendekati Miska yang menatap ketakutan pada dirinya. Dengan cepat Sonya menarik selimut yang menutupi tubuh Miska hingga membuat wanita itu hanya mengenakan pakaian dalamnya saja.“Astaga ... kamu suka lonte kaya begitu? Bahkan pakaian dalamnya saja murahan!? Mirip kaya anak SMA?! Nafsu kamu sama yang kaya begitu?!&rdquo
“Sonya, Ibu pulang dulu, ya.” Parwati memeluk Sonya seerat mungkin saat pamit dari rumah Sonya.“Iya, Bu, hati-hati dan kamu juga Emir nyupir mobilnya hati-hati dan jangan lupa dipakai jaketnya, cuaca di luar nggak bagus.” Sonya mengenakan jaket ke badan Emir sembari berbisik pelan di kuping Emir, “Cuaca yang sangat bagus untuk seorang lonte berkeliaran hanya dengan mengenakan pakaian dalam murahan.”Emir menggemeretakkan giginya saat mendengar perkataan Sonya, ingin rasanya dia menampar mulut istrinya itu andai tidak ada ibunya di sana. “Mungkin dia lonte tapi, dia nggak mandul kaya kamu.”Sonya menelan ludahnya sendiri, dia sudah muak dan kenyang dengan hinaan Emir pada dirinya yang selalu menyebutkan kalau dirinya mandul. Sonya tahu kalau Emir tidak bisa menghina hal lain pada dirinya selain mandul, hanya itulah satu-satunya yang bisa mencabik harga diri Sonya. Sonya membencinya namun, tidak bisa melakukan apa p
“Eh ... ya ampun?!” Sonya dengan cepat berjongkok saat menyadari kalau tetangganya itu tahu kalau dirinya sedang memperhatikan tetangganya.Sonya dengan cepat menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua tangannya, rasa malu karena ketahuan sedang mengintip tetangganya langsung Sonya rasakan. “Ya ... ampun, Sonya, ngapain kamu ngintip, sih?” Sonya menjulurkan kepalanya untuk melihat kembali tetangga barunya itu dari balik jendela.Deg!Dengan cepat Sonya menyembunyikan kepalanya lagi saat melihat kalau tetangganya itu sedang tersenyum pada dirinya dan melambaikan tangan pada Sonya. “Ya ... ampun, Sonya.”Sonya memutar tubuhnya dan duduk di lantai sembari mengipasi wajahnya yang panas dan memerah karena merasa malu akibat ketahuan mengintip tetangga barunya itu. Sonya menggigit jempolnya untuk menenangkan dirinya.“Kamu, kenapa harus ngintip, sih, Sonya?” tanya Sonya pada dirinya sendiri yang bingung de
"Mampus ...," bisik Sonya pelan, saking pelannya Sonya yakin kalau hanya semut yang bisa mendengar dirinya mengumpat."Dok, kertasnya," ucap Awan sembari berjongkok dan mengambil kertas-kertas yang jatuh ke lantai kemudian menyerahkannya ke tangan Sonya."Oh, iya, terima kasih. Maaf saya permisi, masih ada operasi," ungkap Sonya sembari berbalik namun, naas saat Sonya berjalan ke arah pintu kepalanya tertabrak daun pintu yang tidak Lidya tutup ke