Fendi sudah berada di belakang kemudi, di sampingnya seorang pemuda yang baru saja dijemputnya dari bandara tak henti-henti bertanya tentang Ayuni. "Apa Ayuni sudah datang?" "Belum, baru Hasan dan Haris yang datang bersama istri-istri mereka." "Kapan Ayuni datang?" "Mungkin hari ini atau besok, dia akan datang bersama kedua orang tuanya dan bag Syarif." "Syukurlah Ayuni jadi datang, aku sudah kangen banget." Fendi mencengkeram kemudi dengan kuat, bahkan dia menginjak pedal gas dengan kuat ketika mendengar perkataan lelaki muda ini. Entah kenapa perasaannya menjadi kacau balau, bahkan dadanya bergejolak, apa dia bilang? Kangen sama Ayuni? Sudah hampir satu tahun Fendi terpisah jarak dengan Ayuni, tak sekalipun Fendi menghubungi gadis itu duluan, tetapi Ayuni datang ketik liburan kenaikan kelas lima bulan yang lalu, dia cukup sabar mengantar gadis itu kemanapun dia mau untuk liburan. Setiap interaksi yang terjadi siantara mereka selalu Ayuni yang memulai, gadis itu bertambah c
Setelah meminum air dingin di dapur, Fendi segera menuju kamarnya di lantai atas, belum lagi dia melangkah di anak tangga terkahir, telinganya mendengar percakapan seseorang. "Ayuni, aku kangen berat sama kamu." "Oh ya?" "Iya, serius ... Sudah hampir setahun kita tidak bertemu, apa kamu gak kangen sama aku?" "Hmmm!" Fendi yang sudah berada di dekat mereka, berdehem dengan kuat. Spontan kedua muda-mudi itu menoleh ke arahnya. Mereka tengah duduk di sofa, Daren bahkan sengaja duduk begitu dekat dengan Ayuni. "Kapan kau datang, Yun?" tanya Fendi basa-basi. Padahal dia sudah tahu kapan gadis itu datang dari Syarif, Fendi mendekati mereka. "Baru juga__" Ayuni belum selesai mengatakan sesuatu, namun tangannya langsung ditarik oleh Fendi, membuat gadis itu langsung terlonjak dari duduknya. "Sini dulu, Abang ada sesuatu untukmu!" Tanpa persetujuan, Fendi langsung menarik gadis itu mengikutinya, Daren yang tengah asyik bersama Ayuni jelas tidak terima cewek yang ditaksirnya ditikun
Arsen yang mendengar ucapan keras ibunya tergugu, Laura tidak pernah berkata keras apalagi membentak selama ini, sehingga membuat anak itu terkejut. Perasaan Arsen sangat terluka mendengar perkataan ibunya yang mengatakan Andika bukan lelaki yang baik. "Mommy, mungkin terjadi sesuatu pada Daddy Andika, makanya dia tidak bisa ditelpon. Mommy ... Mintalah sama Grandpa Dave untuk mencari Daddy Andika," ujar Arsen dengan suara lirih dan memohon. "Arsen! Mommy bilang stop membahas lelaki itu!" Laura akhirnya hilang kesabaran. Setelah membentak Arsen, wanita itu pergi dari hadapan anaknya dan membanting pintu menandakan jika dia tengah marah, tidak dihiraukan tangisan anaknya yang terdengar pilu, ketika ada acara seperti ini di rumah mereka, malah anak itu berulah. Sangat menyebalkan! Tak terasa air mata luruh di kedua netra Laura, membuat pandangannya kabur, dia masih berdiri di balkon, terdengar gelak tawa para kerabatnya yang mulai berdatangan, namun kenapa hatinya menjadi nelangsa
Pagi hari menjelang pernikahan Steven jam sepuluh, kesibukan di rumah keluarga Harrison sangat meriah. Kedua orang tua Melanie sudah datang, nyonya Susilawati begitu bahagia mengendong cucunya, sepanjang acara, Susilawati dan Evi bergantian menggendong kharisa, cucunya. Kondisi Arsen sudah lumayan, panas tubuhnya sudah mulai menurun. Sepanjang acara anak itu dipangku oleh Duke."Bagaimana kabarnya bocah tampan? Apakah masih sakit?" tanya Aina sambil membelai wajah anak itu."Tante cantik ... Your boyfriend is sick, you know?" Aina tertawa mendengar perkataan anak ini, sakit-sakit juga masih bisa bucin seperti ini. Duke yang mendengar perkataan cucunya juga ikut tertawa."Apakah Om Steven sudah selesai menikah?" tanya Arsen dengan mata sayu."Dimulai saja belum akad nikahnya. Apakah kau tidak enak badan?" tanya Duke."Iya, Pa ... Arsen ingin berbaring, kepala Arsen pusing," ujar bocah itu."Ha? Kau masih sakit? Bagaimana kalau Arsen berbaring di kamar ditemani Tante?" tanya Aina."I
Hasan kembali linglung mencari istrinya, sedangkan Fendi yang dimintai tolong untuk mencarinya malah ikutan menghilang. Waduh, kalau begini harus bertanya satu persatu pada semua orang. "Nis, kau melihat Aina?" "Tidak, Bang." "Memang ke mana Aina?" tanya Haris. "Gak tau nih, dari tadi menghilang." "Ya sudah, cepetan bantu cari!" Haris dan Anisa tidak bisa menolak permintaan abangnya, lelaki itu suka sadis kalau memarahi adik-adiknya, lebih baik turuti saja apa maunya. "Kau mencari Aina?" tanya Duke yang melihat Hasan dari tadi mondar-mandir tidak karuan. "Ah, iya, Kak. Apa Kak Duke tahu di mana dia?" "Oh, dia sedang di kamar lantai dua menemani Arsen." Hasan segera berlari ke lantai dua dengan mengumpat tidak henti-hentinya. "Dasar kau Arsen! Kecil-kecil sudah membuatku geram kau ya? Berani-beraninya kau mengajak tidur istri orang! Dasar bocah gak punya akhlak!" Sesampainya di kamar tersebut, Hasan membelalakan matanya melihat adegan tersebut, Aina dengan lelap tidur di seb
Tujuh bulan kemudian .... Hasan buru-buru membawa Aina ke rumah sakit, dari pagi istrinya ini sudah mengeluh sakit pinggang, semakin ke sini semakin terasa sakitnya, bahkan perutnya mulai terasa sakit dan mules. Hari ini Hasan memang sengaja tidak masuk kerja, dia terima menemani istrinya takut ada apa-apa, karena Minggu ini memang HPL Aina, kata bidan yang memeriksa dahulu kalau gak maju seminggu bisa terlambat seminggu. Sebagai suami, Hasan bukan saja suami siaga, tetapi suami yang sangat protektif terhadap istrinya. Aina tidak begitu mengalami kesulitan saat menjalani kehamilan, ada suaminya yang siap menjaganya, jika Aina merasa lelah, Hasan siap memijit kakinya atau bahu wanita itu. Hasan juga yang setiap hari membuatkan susu ibu hamil untuk istrinya, rasa cintanya kepada istri dan calon buah hatinya lelaki itu tunjukkan dengan sempurna, membuat istrinya begitu bahagia menjalani kehamilan ini. "Sudah pembukaan delapan, Pak. Siap-siap ya, sebentar lagi," ujar dokter wanita yang
Hasan mengadzani anak perempuannya dengan terharu, bagaimana dia dan Aina selalu mendebatkan jenis kelamin anaknya dulu."Abang inginnya anak cewek sih, bisa menjadi teman di kala tua nanti," ujar Hasan ketika Aina tengah hamil."Kalau aku maunya anak cowok, bisa membela ibunya kalau disakiti ayahnya.""Eh? Memangnya siapa yang akan menyakitimu, Sayang?""Ya, ke depannya kita gak tahu kan, perjalanan hidup akan seperti apa."Hasan mencium pipi mungil yang masih keriput di kedua tangannya, Allah sungguh maha pengasih dan penyayang, semua keinginannya kini terkabul. Kini mereka memiliki dua anak yang didambakannya juga didambakan Aina. Perjalanan cintanya yang penuh liku bisa mereka atasi bersama, mengingat perjuangannya dulu, kini dia harus banyak-banyak bersyukur, senyum ceria ayahnya yang kini memangku anak yang baru saja dia serahkan itu membuat matanya berkaca-kaca, tidak menyangka ayahnya akan bersikap demikian, padahal dulu dia yang paling menentang. Benar, kata Aina ... Tidak ak
"Good morning, Profesor." Sebuah sapaan bersahutan di dalam gedung itu ketika seseorang memakai kemeja putih dan celana bahan hitam datang menuju ke sebuah ruangan, kaca mata berbingkai emas yang bertengger di atas hidung lelaki itu menambah kesan dingin dan sulit untuk didekati."Morning," jawab lelaki itu singkat."In here, Prof," seru seseorang dengan seragam security menunjukkan jalan pada lelaki itu.Beberapa pria berjas hitam berjalan tegap di belakang lelaki itu, kaca mata hitam yang bertengger di setiap lelaki berjas hitam itu menambah seram penampilannya."Halo, profesor Andika Ibrahim Luthfi. Welcome, welcome," ujar seorang pria berkepala plontos memakai kemeja biru polos."Apa ini yang dimaksud dengan ruangan rahasia? Kenapa tidak terlihat rahasia sama sekali?" tanya lelaki itu dengan bahasa Inggris."Tentu rahasia yang dimaksud bukan rahasia tidak terlihat, semua ruangan ini adalah penyamaran, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalamnya.""Oke, tunjukkan aku."Pria b