PoV Reza
***
"Karin, kamu tiba-tiba ajak aku ketemu kenapa? Kamu masih kangen sama aku, ya," candaku pada Karin.
Karin adalah wanita yang telah mengambil hatiku setelah kepergian istri pertamaku. Kemarin malam kami baru saja bertunangan, dan kini ia memanggilku untuk bertemu.
Entah apa yang ingin ia utarakan.
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Mas," jawabnya sendu.
Kami sudah duduk berdua di kursi taman yang jaraknya kurang lebih tiga ratus meteran dari rumah Karin. Taman dekat danau yang sering kami pilih untuk sekedar bertemu melepas rindu.
PoV Reza***Saat ini aku sedang mengendarai roda empat untuk menuju rumah sakit."Hallo, Mbak, gimana keadaan Mama sekarang? Apa dia sudah membaik?" tanyaku pada Mbak Siska ditelepon dengan nada panik akan keadaan mama."Ibu sudah membaik, Mas, tadi untungnya ada beberapa karyawan yang segera membawa ibu ke rumah sakit terdekat."Mendengar jawaban dari Mbak Siska aku sedikit merasa lega. Tapi belum begitu lega kalau aku tak melihat sendiri keadaan mama.Jarak yang akan aku tempuh sekitar satu setengah jam. Lumayan lama untuk sampai di rumah sakit itu.
PoV DiandraAkhirnya jam makan siang telah tiba."Tit, kamu mau ke kantin sekarang?" tanyaku pada Tita yang masih duduk di kursinya."Aduh, kamu duluan aja ya, kamu enak udah beresin kerjaan kamu. Aku belum nih," jawab Tita meninggikan alis."Em ya sudah, aku ke bawah duluan, ya. Sekalian aku mau beli sesuatu. Makanya, jangan nyisir rambut sama ngaca terus. Tita, Tita.""Hiikh! Oke deh," jawab Tita kembali dengan kecut mesemnya.Yang lain sudah keluar duluan. Hanya tersisa aku dan Tita saja.Karena Tita berkata demikian akhirnya aku memutuskan untuk pergi lebih dulu. Ada sedikit urusan juga.Kini aku telah berjalan menuju lift untuk sampai di lantai dasar.Telah ku tekan tanda panah ke arah bawah. Namun pintu lift belum juga membuka karena ada orang lain yang sedang meng
PoV DiandraKini aku dan Tita telah berjalan menuju meja resepsionis. Berniat menjenguk Bu Susanti yang sudah akan check out. Dan memang Bu Susanti sudah nampak disana bersam Mbak Siska. Seorang pria pula.Aku seperti mengenal sedikit sosok laki-laki yang sedang menggandeng Bu Susanti itu. Selain Mbak Susanti yang kami ketahui kalau dia adalah sekertaris Bu Direktur."Aduh, itu pasti anaknya Bu Susanti, dari belakang juga fisiknya udah oke banget!" celetuk Tita menggigit jarinya.Bibirku mengernyit.Tita terus menggusur langkahku supaya kami lebih cepat untuk menghampiri mereka.Satu langkah, dua langkah. Dan akhirnya Bu Susanti, Mbak Siska dan pria itu yang kata suster tadi, dia adalah anaknya, kini telah ada di depan mata kami. Mereka masih memunggungi kami di depan meja resepsionis rumah sakit.Kini kami memberan
PoV DiandraMalam ini setelah menidurkan Dona aku tak langsung ikut tidur dengannya. Kurapikan dulu pakaian yang baru tadi sore kuangkat dari jemuran.Di pikir-pikir lagi, daripada diam, lebih baik aku melicin pakaian. Toh baru pukul delapan ini!Kutoleh kembali Dona yang sudah tertidur pulas. Dia pasti sangat kangen dengan ayahnya. Biasanya dia dipeluk dan dirangkul penuh cinta sebelum tidur. Sembari kubacakan dongeng kancil dan buaya. Walaupun dia tak begitu mengerti. Tapi Dona mempunyai ketertarikan tersendiri pada cerita itu.Wajahku menatap sendu putri kecil yang sudah tertidur pulas dengan mata yang sedikit melek, seperti tak sedang tidur.Seket
PoV 3Malam ini Dani sedang terpuruk. Benar-benar terpuruk dan tak pernah menyangka kalau ibu dan bapaknya bukanlah orangtua dia sebenarnya."Jadi itu alasan ibu dan bapak sejak dulu aku menikah selalu menuntut uang dariku? Ternyata ... ternyata aku bukanlah anak kandung mereka. Aaarrrkh!"Dani berteriak dan memukul-mukul tembok kamar dengan kerasnya. Tetesan air mata pilu dan kekecewaan telah terurai sejak satu jam yang lalu."Kenapa aku harus jadi anak angkat? Lalu siapa orangtua kandungku sebenarnya?" tangis teriak Dani.Kini dia bersender di dinding dan perlahan menjatuhkan seluruh tubuhnya dengan pasrah.Wajah tampan yang selalu ceria bila bersama Diandra dan Dona, kini tak terlihat lagi. Semua seakan sirna sudah.Dani memegangi kepalanya dan mengacak-acak rambutnya hingga semrawutan. Air mata yang terus berjatuhan dan teriakan
PoV Diandra"Assalamualaikum," sahut seseorang dari arah luar. Namun tak mengetuk pintu karena pintu memang tidak tertutup.Hari ini hari Minggu, jadi aku tak berangkat ke kantor. Saat ini aku sedang membersihkan rumah dari debu-debu yang beterbangan lalu menempel di setiap sudut rumah menggunakan kemoceng."Waalaikum salam!" Aku menjawab tanpa menoleh ke arah pintu.Deg! Seketika aku teringat.Suara yang aku dengar rasanya tak asing. Lalu seketika aku menoleh ke arah pintu."Mas Dani!" kejutku.Ternyata orang yang datang dan mengucap salam itu adalah Mas Dani. Mantan suamiku. Ayah dari anakku."Mas? Kamu?"Kemoceng seketika kusimpan di atas meja. Mas Dani sudah berdiri nampak membawa dua buah kantong kecil entah apa isinya."Dani?" sahut ibu dari belakangku. Ibu me
PoV DiandraKini kami sudah membayar tiket masuk untuk jalan-jalan mengelilingi taman bunga. Yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah.Dona dan Diva asyik main berdua di karpet kecil. Sedangkan aku dan Mas Dani duduk di kursi belakang mereka. Sekitar lima sampai enam meteran."Dona anteng banget ya, Mas. Pasti dia nyaman, karena kamu sekarang ada di dekatnya," kataku memulai pembicaraan."Iya, putri kecil kita begitu ceria dan mungil. Cantik dan ceria seperti Ibunya," ujar Mas Dani.Hatiku amat tersentuh dengan rasa malu. "Bisa saja, Mas. Dona itu cantik karena Ayahnya juga ganteng. Apalagi lesung pipinya, manis sekali," jawabku refleks.Up.Mas Dani menoleh ke arahku. Duduk kami agak renggang, karena status kami sudah tak seperti dulu lagi.Dia menatapku sendu. Seperti ada kekecewaan
PoV Dani "Bu, tolong. Beritahu aku dimana Ibu dulu menemukanku. Siapa tahu aku bisa bertanya-tanya pada orang disana. Meskipun tak mungkin bila aku akan menemukan orangtua kandungku," rintihku pada ibu. Yang kini tak lagi memintaku untuk bekerja ekstra. Apakah ibu dan bapak telah menyadari apa yang mereka lakukan? "Ibu menemukan kamu di hilir sungai. Saat Ibu sedang mencuci pakaian bersama bapak kamu. Ibu menemukan kamu terapung di sungai dengan keadaan luka-luka," jawab ibu pilu. Kini dia sudah tak lagi membentakku seperti kala lalu. Ibu juga meminta maaf dengan apa yang telah ia lakukan padaku. Karena ibu tak ingin aku membencinya, juga tak ingin membenci bapak. Mereka takut kalau aku pergi dan meninggalakan mereka selamanya. "Di sungai mana, Bu? Apa di sungai desa kita dulu?" tanyaku segera menyelidik. "Iya, di sungai desa kita dulu. I