Pricilia mengagumi sifat yang dimiliki oleh Hima, sosok gadis jawa yang sederhana tanpa banyak improvisasi dalam hidupnya. Setelah kemarin Pricilia bertemu dengan orang tua farhan, kini Ia di ajak oleh Farhan berkunjung ke rumah Hima, sesuai janjinya pada Hima Supaya Farhan mau mengenalkan sosok pricilia pada dirinya. Dan sekarang disinilah mereka diteras sederhana dengan bernuansa bunga dan tanaman hias yang merupakan hobi sebagian besar dari keluarga Hima.
"Aku sungguh tak percaya jika saat ini aku bisa bersama mas Farhan dan berada dikampung halamannya, bahkan keluarga Mas Farhan mau menerimaku apa adanya diriku, yang masih harus belajar banyak tentang agama, dan aku bertambah bahagia karena mempunyai teman baru sepertimu, Hima."
"Akupun demikian, Lia, aku senang mempunyai seorang teman baru sepertimu, member ku inspirasi untuk harus lebih dekat pada Allah, malu rasanya kau yang notabene berasal dari agama lain, justru lebih rajin belajar dan mengerjakan perintah agamaku,"
"Kita sama-sama belajar ya, him. Sama-sama mengapai ridho ilahi, sang pencipta alam dan segadat raya ini."
"iya."
"Him, sepertinya ditaman belakang ada tamu ya, kok rame sekali?" Tanya farhan.
"Iya, han. Ada teman-teman mas Aziz dulu waktu masih dipesantren,"
"Oh, pantas saja rame sekali tapi aku ga lihat ada kendaraan terparkir disini dari tadi, kirain mas Aziz di toko."
"Iya, Mas Aziz lagi jemput temennya satu lagi, tadi kayaknya mereka Cuma bawa satu mobil bareng-bareng, terus barusan mas Aziz keluar bawa mobil temennya buat jemput temennya yang lain."
"Oh gitu, oya Him, kamu bisa ikut kami besok untuk mencari baju pengantin untuk Lia, jujur saja kami belum menikah takut khilaf lagi," Kata Farhan sambil mangut-mangut.
"Ow boleh, tapi nunggu aku pulang dari sekolah gimana? Aku harus mengajar besok."
"Oke, ga apa-apa, sesempet kamu aja, kamu mau nemenin aja aku udah seneng banget, Him." Ujar Pricilia pada Hima.
Tak berapa lama sebuah mobil masuk ke dalaman rumah Hima, dan berhenti tepat di depan mereka sedang mengobrol. Pada awalnya mereka biasa saja melihat Aziz dan temannya turun dari mobil, tapi lama-lama Farhan mengernyitkan dahinya.
'Aku sepertinya kenal orang itu, Pak Erlan.' Farhan langsung mengenal sosok yang sedang mengambil barang di jok belakang mobil.
"Pak Erlan." Sapa Farhan pada Erlangga.
Erlangga terdiam sejenak untuk mengingat siapa gerangan yang mengetahui nama panggilannya di kantor orang tuanya dulu.
"Saya farhan, Pak. Mantan Manager administrasi di kantor Baratayudha." Ucap Farhan dengan penuh hormat, walau dia telah mengundurkan diri dari kantor itu, tapi Farhan tetap menghormati Erlangga sebagai mantan bosnya yang terkenal ramah pada semua karyawan pada bagian manapun.
Erlangga tersenyum, "Aku ingat sekarang, kamu Farhan Manager Administrasi yang pernah nemenin saya lembur sampe ketiduran di kantor kan?"
"Iya Pak Benar, itu saya."
"Senang bisa bertemu sama kamu lagi, Farhan."
"Saya juga senang bertemu lagi dengan bapak, tapi kenapa bapak ada disini? Apa bapak sekarang memimpin perusahaan anak cabang di Jogja?"
"Ga, kok. Saya memang tinggal disini, udah sejak lama."
"Apa semenjak posisi bapak digantikan oleh kakak Anda?"
"Ya, sejak saat itu, bagaimana kabar perusahaan?"
"Baik Pak tapi waktu saya mengundurkan diri, kalau saya sekarang tidak tahu pak, karena sudah hamper sebulan ini saya tinggal di kampong melanjutkan usaha bapak saya."
"Oh gitu, kenapa kalian bengong?" Tanya Erlangga pada Aziz, Hima dan Pricilia.
"Kamu kenal sama Farhan?"
"Iya kenal, seperti yang kamu lihat barusan, kami lumayan akrabkan?"
"Kamu atasannya Farhan? Kakak kamu seorang direktur? Kok aku ga tahu?" Tanya Aziz penasaran akut, karena selama mereka sekolah dipesantren sekalipun tidak pernah Erlangga menceritakan tentang keluarganya di Jakarta.
"Sudahlah, itu dulu, sekarang aku ga lebih dari pria kere, dan Cuma pemilik bengkel. Oya Farhan, ga usah panggil saya Pak, panggil saya Erlangga aja. Kita ga lagi di kantor lho sekarang." Ucap Erlangga pada Aziz dan Farhan.
"Iya, Pak eh… Mas Erlangga , maksud saya."
"Nah itu lebih enak didengar." Ucap Erlangga sambil menepuk pundak Farhan pelan.
"Hima, apa kabar?" Sapa Erlangga pada Hima yang dari tadi hanya diam dan menyimak pembicaraan mereka.
"Alhamdulilah baik."
"Ini?" Tunjuk Erlangga pada sosok wanita tionghoa yang berdiri diantara Hima dan Farhan.
"Oh, Perkenalkan ini Pricilia calon istri saya." Ucap Farhan .
"Oh, sudah punya calon istri, selamat kalau begitu, kapan nikahnya?"
"Inshaallah satu bulan lagi, Mas."
"Saya tunggu undangannya."
"Siap, Mas. Pasti saya undang."
"Ini jaket kamu yang waktu itu basah kena hujan, sudah saya cuci bersih." Ucap Erlangga sambil memberikan kantong berwarna merah itu pada HIma, Sontak wajah Hima memerah mendengar ucapan Erlangga, seumur-umur baru kali ini pakaiannya di cuci oleh seorang laki-laki dan bukan dari kalangan keluarganya.
Aziz yang melihat hal itu sontak menatap Hima seolah minta penjelasan bagaimana jaket kesayangan Hima yang bahkan dipinjam oleh kakaknya saja tak ia ijinkan kini bisa berpindah tangan dan itu tangan seorang pria pulak.
Hima menunduk, tak berani menatap kakaknya yang sudah menatapnya horror. Erlangga yang paham akan situasi yang kurang enak langsung memberikan penjelasan.
"Waktu itu Hima mengembalikan mantel hujan ke bengkel, tapi kebetulan bengkel tutup kemudian dia diberi tahu oleh tetangga bengkel letak rumah saya, karena tidak terlalu jauh Hima kemudian mengantarnya ke rumahku, dan disana dia bertemu dengan sahabatnya lalu hujan, dan saya paksa dia untuk menganti jaketnya dengan jaket saya. Takut dia masuk angin. Dan semenjak itu kami baru ketemu waktu itu dipantai sama kamu bro. Jangan salah paham sama adikmu," Ucap Erlangga panjang lebar, dan Aziz membuang nafas nya lega, ternyata memang tidak ada yang aneh-aneh pada adiknya dan sahabatnya itu.
"O, gitu tho, kirain. Masalahnya ini jaket seolah keramat banget, aku pinjem aja ga boleh, masak sekarang sama kamu, Ngga. Kan otomatis aku jadi curiga tho."
"Oh gitu. Beruntung sekali aku ini berarti ya." Ucap Erlangga berlanjut dengan tawa dan canda.
"Yuk masuk, teman-teman kita udah nunggu kamu dari tadi." Ucap Aziz pada Erlangga.
"Saya tinggal dulu ya, Han. Lia, mau temu kangen dulu sama teman lama." Pamit Erlangga pada Farhan dan Pricilia.
Menatap Hima dengan senyum sekilas kemudian masuk ke halaman belakang tempat dimana teman-teman mereka sudah berkumpul.
"Aku ga nyangka bisa ketemu mantan bos, dirumah kamu Him. Lebih ga nyangka lagi ternyata kamu kenal dekat sama dia."
"Ga dekat kok, biasa aja, dia kan temannya mas Aziz."
"Deket juga ga apa-apa Him, Pak Erlangga itu orangnya baik lho, tapi kok malah buka bengkel disini ga kerja dikantor papanya lagi kenapa ya, aku kira Pak Erlangga itu pindah kantor, tahunya malah keluar dari kantor."
"Berarti orang tuanya pemilik perusahaan?" Tanya Hima.
"Iya, baru tahu kamu Him?" Tanya Farhan, dan dijawab anggukan oleh Hima.
Hima menatap ponselnya yang tadi menyala karena seseorang yang terus saja menghubunginya, wajahnya ayunya berubah murung, moodnya yang ia bangunsusah payah agar bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik nyatanya runtuh karena nama yang berulang kali muncul di layar ponselnya.'Ardan' Laki-laki yang menyemai luka dihatinya, kembali dengan gombalan dan omongan palsu yang menyesakkan hatinya.Hima masih terus membiarkan laki-laki itu menghubunginya namun sengaja ia tak mau mengangkat telpon dari laki-laki tersebut. Sakit hati dan kecewa yang ia rasakan melebihi rasa cinta yang dulu ia berikan pada laki-laki itu, hingga kini walau Ardan menangis darah sekalipun tak kan pernah membuat hatinya luluh.Hingga bel pulang sekolah pulang, Hima membereskan buku acuan mengajarnya dan mengambil tas yang tersampir di belakang kursinya.Mengenakan helm lalu menstater motor matic miliknya menuju ke sebuah gerai makanan cepat saji yang tak jauh dari sekolah, Erlangga tak senga
Awan mendung menyelimuti sebagian kota Jogja di sore itu. Erlangga menaiki motornya dengan Joko berada dibelakang membonceng dengan menggunakan sarung."Ngga, jangan ngebut-ngebut, maghrib masih lama." Joko mengingatkan Erlangga untuk tidak melaju kencang di jalanan."Ya Allah, Jok. Yang ngebut tuh siapa, kamu dibawa kecepatan 60 km/jam udah rewel kayak anak perawan minta di nikahin aja, Jok." Ujar Erlangga pada Joko."Bukan gitu, Ngga. Aku belum nemu gadis cantik dan kaya untuk aku nikahin lho. Eman-eman muka gantengku ini kalau mati muda belum menikah, Ngga."Erlangga tertawa terbahak mendengar ucapan dari sahabat semprulnya itu. "Aduh Jok…Jok…kalau emang ganteng ga mungkin si Evi dulu nolak kamu mentah-mentah, dah kayak orang Jepang yang doyannya mentah-mentah.""Sembarangan kamu itu, Ngga. Bukan nya Evi yang nolak aku, tapi aku yang ga mau sama dia, buadannya itu nyeremin.""Nyeremin apanya? Badan seksi gitu kok dibilang nyeremin.""Elaah
“Hima, Tunggulah aku.” Ucap Erlangga sebelum Ia keluar dari ruang makan rumah Hima.Kata-kata itu selalu terngiang di dalam benak Hima, entah apa maksud dari Erlangga mengucapkan kata-kata itu namun Ia yakin Erlangga tak pernah main-main dengan apa yang Ia ucapkan.Hima kembali larut dalam pekerjaannya mengoreksi hasil ujian semester anak didiknya. Ia mengacuhkan hatinya yang masih ingin terlarut dalam ucapan bak sihir yang di ucapkan oleh Erlangga.“Ya Allah jagalah hati hamba.” Doa Hima di dalam hati.Berbeda dengan Hima, Erlangga sedang berkemas menuju kota Jakarta untuk mengecek kondisi perusahaan milik orang tuanya yang sedang dalam masalah.Sungguh Erlangga tak ingin usaha yang di rintis keluarganya hancur hanya karena kesalahan kakaknya yang tamak dan sombong.“Jok, kamu bener tidak mau ikut aku ke Jakarta?”Joko mengeleng,
Erlangga keluar dari taksi lalu masuk ke lobby utama gedung apartemen mewah di tengah kota Jakarta, tangannya merogoh saku celana lalu menghubungi awan saudara sepupunya."Assalamualaikum, Wan. Aku dibawah." Kata Erlangga tanpa menunggu jawaban salam dari sepupunya itu."Waalaikumsalam, kamu langsung naik keatas aja, sandi masih sama seperti dulu belum pernah aku ganti, aku lagi keluar sebentar.""Oke. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Erlangga bergegas memasuki lift yang kebetulan sedang terbuka, lalu berdiri diam sambil membawa koper miliknya.Tak lama kemudian Ia telah sampai di lantai tempat apartemen Awan berada. Erlangga keluar dengan segera dan langsung menuju ke ruang apartemen milik awan dipojok bangunan.Setelah memasukkan nomor sandi, pintu aoartemen mewah itu akhirnya terbuka, Erlangga langsung masuk ke dalamnya dan menuju salah satu kamar milik awan, yang sering Ia gunakan setiap kali Ia menginap di apartemen milik sepupunya in
Ketika hidup berkisah tak menentu, merangkai kesedihan dan melukiskan kesunyian, meracik segala duka dan nestapa bagai tak bertepi di dalam sebuah tempayan. Hati yang kosong tanpa arah dan tujuan, hanya hembusan angin yang menjadi penopang lemahnya raga diantara deraan tangis yang tak berjeda. Dan baru ku sadari jika hidupku adalah hampa.Erlangga menatap gedung kantor yang tingginya hanya sepuluh lantai, tidak sebesar kantor ayahnya memang, namun ini adalah hasil kerja keras dirinya bersama Dermawan, satu-satunya sepupu yang masih dianggapnya waras ketimbang saudara yang lain.Awan juga satu-satunya saudara yang selalu mendukungnya masuk pesantren kala itu, disaat semua keluarga mencibirnya namun tidak dengan awan, dia hanya diam tapi dengan kediamannya itu dia mampu menjadi embun penyejuk untuk Erlangga.Awan dididik sangat keras oleh ayahnya untuk menjadi penerus keluarga, walau tidak selaras dengan keinginannya, namun Aw
Erlangga membuka berkas kantornya, lalu fokus mengerjakan pekerjaan yang dulu sering di handle oleh Awan. Hingga tak terasa jam menunjukkan pukul sebelas siang."Yoga, apa Awan belum juga datang?" Tanya Erlangga, yang justru heran melihat Yoga yang seperti kebingungan.Erlangga mengerutkan dahi, lalu mendekat pada Yoga yang berdiri mematung. "Ada apa sebenarnya dengan awan, aku lihat setiap aku menanyakan tentang keberadaan Awan, kamu selalu terlihat bingung untu menjawab." Kata Erlangga dengan menatap lekat Yoga.Yoga menelan salivanya kasar, haruskah Ia mengatakan pada bosnya tentang apa yang Ia ketahui mengenai saudara bosnya itu? Yoga terjerembab dalam dilemma, Ia tahu dengan benar permasalahan berat yang sedang dipikul oleh Erlangga, apa kah Ia tega menambah berat bebannya, namun jika Ia tidak mengatakannya, maka akan semakin berakibat buruk untuk Awan."Jadi?" Tanya Erlangga lagi, membuat Yoga semakin panas dingin di buatnya."Maaf
Hima duduk diatas motor besama sang ibu dalam boncenganya, seperti janjinya bahwa setelah selesai mengajar ia akan mengantarkan ibunya ke rumah salah satu sahabatnya."Rumahnya masih jauh ndak, Bu?" Tanya Hima pada sang Ibu."Ndak kok, sebentar lagi sampai, dipertigaan depan belok kiri, nanti ada rumah bercat hijau, Nah itu rumahnya." Kata Ibu."Njih, Bu."Hima lalu menancap gas motornya, lalu mengikuti arahan dari sang ibu, dan tak beberapa lama mereka sampai dirumah yang mereka tuju. Hima memarkirkan motornya di halaman rumah khas jawa dengan nuansa warna hijau yang mendominasi, disampingnya ada sebuah gazebo dan tempat parkir mobil, karena ada beberapa mobil yang terparkir disana."Orangnya kaya banget ya, Bu, mobilnya banyak banget." Tanya Hima pada ibunya."Teman ibu ini pemilik rental mobil, ya sudah tentu mobilnya banyak." Jawab sang ibu sambil melepas helm.Hima hanya mengangguk, setelah selesai mengambil barang pesanan yang akan di b
“Kak Erlangga.” Suara seorang gadis membuyarkan ia dari lamunan.Seorang gadis dengan celana belel dan kemeja flannel panjang berdiri di ambang pintu, ditangannya tergantung papper bag yang sudah bisa diterka oleh Erlangga apa isi di dalamnya.Erlangga merentangkan kedua tangannya, memaksa gadis itu untuk masuk ke dalam dekapan.“Apa kau baik-baik saja selama ini?” Tanya Erlangga pada gadis yang saat ini ada dalam pelukannya.Gadis itu mengurai pelukannya, lalu menatap kakak sepupunya dengan sendu. “Semua tak akan baik jika tak ada kakak disini, harusnya kau tahu itu.” Ucap Kaira, adik sepupu Erlangga dan juga sekaligus adik Awan.“Maafkan kakak, Kai. Kakak terlalu egois, kakak tidak memikirkan kalian yang selalu ada untuk kakak, tapi kakak seolah menutup mata dengan keadaan kalian.” Ucap Erlangga dengan raut sedih dan menyesal.“Sudahlah kak, yang jelas sekarang kakak telah