Fathia berkali-kali menghembuskan nafasnya dengan gusar. Jujur saja ia ragu untuk memasuki rumah yang ada di hadapannya ini. Rumah orangtua Andi. Ragu untuk mengungkapkan semuanya, dan takutnya mereka tidak bisa menerima kabar tak mengenakan yang ingin disampaikannya.
"Thia, ayo. Kamu rileks, jangan banyak pikiran ya."
Fathia menganggukan kepalanya saat sang mamah berucap. Ia kemudian melangkahkan kakinya, mengekori Mamah dan Papahnya yang sudah lebih dahulu berjalan mendekati pintu rumah.
"Eh Pak Ardi, ibu Anya, mendadak banget sih ke sininya, gak bilang dulu." Ujar Didi, ayah dari Andi yang kebetulan sedang terduduk di kursi yang ada di teras rumah.
"Maaf jika mengganggu pak, ada hal serius yang ingin kami bicarakan."
Didi segera mempersilahkan tamunya masuk, saat mendengar ada hal serius yang harus dibicarakan. Kemudian ia memanggil sang istri yang kebetulan sedang di kamarnya.
Di ruang tamu itu, hanya ada lima orang, dan semuanya hanya terdiam selama beberapa puluh detik, tanpa ada yang memulai pembicaraan.
"Sebelum memulai pembicaraannya, apakah bisa saya meminta untuk dipanggilkan Andi, Pak?"
Fathia menatap bingung kedua orangtua Andi yang saat ini sedang saling pandang, seperti ada sesuatu.
"Andi sudah tidak ada di rumah, dia pergi ke Singapura karena dipindah tugaskan. Memangnya kenapa ya? Hubungan kalian baik-baik aja 'kan?"
Fathia hanya terdiam saat kalimat terakhir yang dilontarkan Arini --ibu dari Andi-- adalah pertanyaan untuknya. Ia juga sudah berjanji untuk orangtuanya saja yang menjelaskan, karena ditakutkan ia memakai emosi saat menjelaskannya.
"Begini Pak, Bu, kami kemari karena ingin meminta pertanggung-jawaban dari Andi, selaku putra Bapak dan Ibu. Fathia, anak kami hamil dan Andi malah memutuskan hubungannya dan menyuruh Fathia menggugurkannya. Padahal kesalahan tersebut tercipta karena keduanya, masa hanya Fathia yang harus menanggung semuanya." Ujar Ardi dengan jelas dan to the point, ia tidak mau semakin mengulur waktu.
Fathia mendapati keterkejutan di raut wajah orangtua Andi. Tentu saja hal tersebut terjadi.
"Astagfirullah. Sebentar ya nak, ya."
Terlihat raut wajah panik dari kedua orangtua Andi, dan semakin terlihat panik saat Andi yang mereka hubungi, tidak mengangkat sambungan panggilannya.
***
Jujur saja Fathia bingung sekarang. Andi benar-benar menepati janjinya, ingin mengakhiri hubungan mereka tanpa bertanggung-jawab sedikit pun.
Orangtuanya saja bingung bagaimana menghubungi Andi, karena nomor telponnya benar-benar tidak aktif dan semua sosial medianya benar-benar hilang. Pria itu benar-benar niat untuk menjauh dan pergi dari kehidupannya.
Sekarang ia harus apa? Ia juga butuh support sistem dan teman untuk melewati ini. Keluarga memang bisa memenuhi hal itu, tetapi tentu saja rasanya berbeda dengan support dari pasangan.
Fathia berat sekali memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Ia benar-benar bingung, stress, tertekan, dan beberapa perasaan lainnya yang benar-benar mengaduk hatinya.
Fathia berpikir, mungkin saja ia mengasingkan diri ke kota atau desa terpencil, sampai anaknya dilahirkan, namun hal tersebut juga bukan pilihan terbaik, karena takutnya di tempat yang ia pilih pun akan menjadi gunjingan.
Anaknya juga butuh sosok ayah, bagaimana ia harus meminta pertanggung-jawaban Andi, jika pria itu saja benar-benar sangat sulit dihubungi? Ia tidak mau suatu hari nanti anaknya kekurangan kasih sayang atau malah dibully anak lain karena tidak memiliki ayah. Sekarang ia harus bagaimana?
"Ya Allah, kenapa semuanya terasa berat sekali untukku? Maafkan hambamu ini Ya Allah, hamba menyesal. Tetapi hamba akan menjaganya dengan segenap hati. Bantu aku untuk menemui titik terang dari semua ini."
***
Di kediaman keluarga Andi, kedua orangtuanya masih terduduk di ruang tamu dengan raut wajah yang cemas. Sekarang, mereka turut mengumpulkan kedua anaknya yang lain, yaitu Adnan dan Kalila.
"Kal, udah kamu coba kan? Bisa dihubungi gak abangmu?"
Kalila hanya bisa menggelengkan kepalanya saat Arini--sang Ibu-- bertanya.
"Andi tidak bisa dihubungi sama sekali. Bahkan dia sedari awal tidak mau bertanggung-jawab terhadap kesalahannya. Kita gak bisa lepas tangan gitu aja, kasian Fathia. Hamil dengan ada pendamping saja, terasa berat luar biasa, apalagi jika harus menanggung semuanya sendirian, pasti sangat berat. Kita harus gimana, Yah?"
Didi memijat-mijat kepalanya yang terasa pusing, ia juga bingung harus seperti apa. Semuanya serba salah. Ia benar-benar tak menyangka bahwa anak sulungnya bisa bertindak sejauh itu dan tidak mau bertanggung-jawab. Ia tidak habis pikir dengan pemikiran si sulung, dan bahkan malah menyuruh Fathia untuk menggugurkan kandungannya. Kalau saja anak itu ada di hadapannya saat ini, ia akan habisi anak itu, tak peduli bahwa Andi anaknya, karena tindakannya memang salah dan sudah di luar batas.
Tadi, mereka mencoba menghubungi pihak kantor mengenai kabar Andi, dan ternyata Andi sudah resign dari kantor tersebut, bukan pindah tugas. Pindah tugas hanya alibinya, anak itu kabur entah ke mana.
"Kalau begini adanya, lebih baik Adnan saja yang menggantikan Andi. Mungkin dengan jalan ini juga, Adnan bisa lebih mandiri."
"Yah!"
"Ayah!"
Adnan hanya bisa menatap bingung orangtuanya dan Kalila. Apalagi seruan protes bebarengan dari Ibu dan adiknya itu. Ia hanya memahami bahwa namanya disebut oleh sang ayah.
"Ya memang berat, tapi kita cuman punya Adnan sekarang. Mau tidak mau Adnan harus bersedia menggantikan kakaknya untuk bertanggung-jawab."
"Yah, gak bisa begitu. Adnan itu berbeda. Pemikirannya akan hal itu juga pasti terbatas, gak akan sejauh orang normal. Ia susah bertemu dan bersosialisasi dengan orang baru. Semuanya pasti jauh lebih berat jika dilimpahkan ke Adnan. Lagipula ada kebiasaan-kebiasaan Adnan yang mungkin tidak bisa diterima orang lain."
"Kita cuman punya Adnan sekarang. Memang gak gampang, tapi dia satu-satunya harapan kita untuk bertanggung-jawab dan menikahi Fathia."
"Yah, Adnan tidak tahu apa-apa, jangan gegabah seperti itu. Lebih baik kita bayar orang dan kerahkan mereka untuk mencari Andi."
Diskusi alot terjadi di antara sepasang suami istri itu. Kalila hanya bisa menyimak, karena ia takut saran atau omongannya malah menimbulkan masalah, bukannya menemukan solusi. Sedangkan Adnan hanya bisa mendengarkan, tetapi yang tercerna otaknya dari diskusi orangtuanya, hanya sedikit yang ia pahami. Lagipula ia tidak terlalu ingin mengetahui hal apa yang sebenarnya tengah orangtuanya bahas itu.
Sedikit informasi tentang Adnan. Adnan penyandang Autis spektrum disorder (ASD), yang membuat dirinya kesulitan fokus dan mencerna sesuatu. Ia bisa terfokus ke suatu hal, jika memang hal tersebut benar-benar menarik dan menyita perhatiannya. Ia juga cukup sulit untuk bersosialisasi dan bertemu orang baru. Jika ada suatu hal yang mengganggu pikirannya, ia bisa membicarakan hal tersebut dengan berulang-ulang dan mungkin pada akhirnya bisa membuatnya tantrum, atau bahasa awamnya mengamuk.
"Tapi kita tak punya pilihan lain bu. Kita gak tahu Andi sekarang di mana. Entah benar ke Singapura atau malah ke kota ataupun negara lain. Mau berapa lama kita mencari Andi untuk mau bertanggung-jawab terhadap kesalahannya? Semakin lama perut Fathia pasti semakin membesar. Apa ibu mau keluarga kita dicap jahat dan tidak bertanggung-jawab?"
Arini terduduk lemas di tempatnya. Ia benar-benar bingung sekarang. Satu sisi, ia tidak mau Adnan menanggung semuanya, padahal anak tengahnya itu tidak memiliki salah apapun. Tetapi di satu sisi lain, alasan sang suami benar-benar logis.
Arini hanya melirik sedikit, saat sang suami menggenggam tangannya dan mengusapnya lembut, bermaksud menenangkan.
"Kita harus memutuskan secepatnya, Bu. Kita ambil ya keputusan ayah?"
"Tapi Yah, kita udah berjalan sejauh ini untuk Adnan. Lagipula, apa mereka mau menerima Adnan? Adnan berbeda, bukan hal mudah untuk dia menerima hal yang mungkin di luar pemikirannya."
"Insyaallah bisa. Niat kita baik, Allah pasti memperlancar semuanya. Ayah yakin Adnan bisa."
Setelah mencoba menenangkan sang istri, Didi mulai menghampiri Adnan yang ternyata sedari tadi sedang memperhatikannya.
"Adnan, ayah boleh meminta sesuatu sama Adnan?"
Bersambung
(Selesai ditulis pada hari Senin, 06 september 2021, pukul 10.41 wib).
Setelah mencoba menenangkan sang istri, Didi mulai menghampiri Adnan yang ternyata sedari tadi sedang memperhatikannya."Adnan, ayah boleh meminta sesuatu sama Adnan?"Adnan bingung mendengar permintaan sang Ayah yang tiba-tiba, namun yang bisa ia lakukan hanya menganggukan kepalanya."Ayah minta untuk Adnan menikah, boleh?""Menikah itu seperti apa, Yah?""Menikah itu mempersatukan dua orang yang berbeda, seperti ayah dan Ibu. Adnan mau 'kan seperti Ayah dan Ibu? Memiliki anak juga nanti?"Rasanya Adnan masih agak bingung dengan penjelasan sang Ayah, tetapi ia mulai berpikir bahwa mungkin dengan menikah, ia bisa bahagia seperti yang Ayah dan Ibunya selalu tunjukan di depannya."Menikah, seperti Ayah dan Ibu. Jika Adnan seperti Ayah, lalu sosok 'ibu' nya siapa Yah?""Nanti kita ketemu sama dia. Ayah tahu Adnan anak baik, pasti mau menuruti
Fathia hanya bisa terdiam di tempatnya. Pikiran dan hatinya berkecamuk bingung memikirkan hal tersebut.Sampai beberapa menit berlalu, keheningan melanda di ruang tamu keluarga Ardi. Mereka menunggu sedikit jawaban dari Fathia."Ini cukup berat untuk saya. Tetapi pada akhirnya, mungkin saya akan mencoba mendekati Adnan, sebelum akhirnya nanti saya akan memutuskan untuk menerimanya atau tidak."Wajah-wajah tegang yang sedari tadi terpasang di wajah orang-orang yang berada di ruangan ini, akhirnya sedikit meluruh juga ketika mendengar penuturan Fathia.Semoga saat ini, apa yang diucapkannya adalah hal yang tepat. Walaupun sepertinya Fathia harus sedikit mengikis harga dirinya, karena ia yang harus berjuang untuk mendekati Adnan.Kenapa pada akhirnya Fathia mau untuk mencoba mendekati Adnan? Karena ia berpikir Adnan adalah pria baik, yang terlihat polos dan berbeda dari pria di luaran sana. M
Awalnya Fathia mengira semuanya akan terasa mudah untuk mendekati Adnan, karena pria itu tertawa di pertemuan pertamanya setelah menjadi teman, tetapi ternyata ya seperti inilah ujungnya. Fathia seperti melukis sendirian, saking fokus dan diamnya pria itu saat sedang melukis.Daripada pusing memikirkan hal tersebut, Fathia segera mengambil cat dan menuangkannya ke atas palet yang ia beli tadi. Kemudian mulai memikirkan ide, apa yang mau dilukisnya. Setelah beberapa menit, akhirnya ia memilih untuk melukis taman bunga yang ada di depannya. Taman bunga dengan berbagai jenis bunga yang indah dilihat mata. Ia mulai mengayunkan kuasnya di atas kanvas. Matanya sesekali melirik lukisan Adnan, dan dia cukup terkejut saat melihat lukisan Adnan bahkan sudah setengah jadi. Memangnya berapa lama ia diam untuk berpikir memikirkan hal apa yang ingin dilukisnya, ia rasa tidak sampai setengah jam ia berpikir, tapi pria di sampingnya itu sudah setengah jalan saja.
"Kayaknya kamu kok capek banget sih, emang ngapain aja seharian ini sama Adnan?"Fathia yang sedang berleha-leha di sofa yang terletak di ruang tamu, segera membuka matanya dan ia baru menyadari bahwa sang Mamah sudah terduduk di kursi yang letaknya tak jauh dari sofa yang ia tempati."Cuman ngelukis aja, ngobrol-ngobrol sama adiknya, sama tante Arini, udah. Terus Adnan ngasih beberapa lukisan. Sebenernya adiknya sih yang ngasih, tapi yang lukis Adnan. Kayaknya boleh tuh mah dipajang, bagus banget lukisannya.""Mamah jadi bingung deh sama semuanya. Yang harus bertanggung-jawab kan keluarga mereka, tapi kok malah kamu yang kelihatannya harus berusaha buat deket sama Adnan, harus mengambil keputusan menerima enggaknya. Beberapa hari ini kamu harus terus berkunjung dan 'mendekati' Adnan."Fathia yang mendengar tutur kata sang Mamah yang terdengar serius, langsung mengubah posisinya menjadi duduk.
Fathia kaget bukan main saat melihat wajah Adnan berada di atasnya, apalagi tatapannya yang begitu intens. Ia segera mengubah posisinya untuk menjadi duduk di sebelah pria itu. Ia jadi bingung sendiri, kenapa ia bisa tertidur di paha Adnan, padahal seingatnya ia hanya jatuh tertidur ketika Adnan sedang fokus dengan lukisannya."Kok aku bisa tidur di atas paha kamu?""Tadi Fathia keliatan gak enak tidurnya, Adnan pikir butuh bantal, jadi Adnan jadiin paha Adnan buat jadi bantal Fathia deh. Maaf ya kalau itu gak boleh."Fathia segera menggelengkan kepalanya, menyanggah pernyataan maaf dari Adnan."Enggak, gak papa kok. Malah aku yang makasih, kamu pasti pegel kan nungguin aku tidur, pasti lama deh. Oh iya, kamu udah selesai ngelukisnya?"Fathia mengikuti tatapan mata Adnan, kemudian ia baru menyadari bahwa baru sedikit goresan cat di atas kanvas, itu berarti sedari awal ia tertidur, Adnan me
Fathia menatap intens kalender yang tertempel di dinding kamarnya itu. Ia baru menyadari jika hari pernikahannya semakin mendekat, hampir satu minggu lagi. Rasanya seperti terlalu cepat waktu berlalu, dan terlalu cepat ia mengambil keputusan yang ia bicarakan dengan Adnan di Taman tempo hari. Tetapi mau bagaimana lagi, ia memang harus terpaksa untuk mengambil keputusan dengan waktu yang cepat.Ia menjadi bingung sendiri dengan takdirnya yang entah mau dibawa ke mana. Di kehidupan sebelumnya, bahkan ia tidak pernah membayangkan bahwa takdirnya berjalan ke arah yang seperti ini.Tempo hari, memang ia sudah yakin dengan keputusannya, bahwa Adnan mungkin orang yang tepat untuk menjadi sosok Ayah dari bayi yang sedang di kandungnya. Ia yakin pria itu akan menyayangi dan mencintai anaknya dengan sepenuh hati, walaupun dengan kekurangannya, hanya karena ia melihat interaksi yang selalu Adnan tunjukan ketika sedang bersama dengan anak kecil.
Fathia terdiam sebentar saat Adnan mengajaknya masuk ke rumah yang ada di hadapannya itu. Rumah yang dimaksud Adnan akan ditinggali mereka setelah menikah.Interior luarnya saja sudah cukup membuat Fathia kagum, terlihat minimalis dan sederhana namun elegannya masih dapat dilihat. Persis seperti rumah yang dahulu sering ia mimpikan untuk menjadi rumah masa depannya. Tidak terlalu mewah dan besar, tetapi menggunakan konsep industrial house."Ini kamu yang pilih sendiri atau dipilihin sama orangtua kamu?" Tanya Fathia saat langkahnya sudah dekat dengan Adnan."Adnan dikasih beberapa pilihan, terus akhirnya pilih yang ini karena suka aja."Fathia menganggukan kepalanya, tanpa meneruskan pembicaraan tersebut. Ia mulai sibuk melihat interior dalam rumahnya, yang terlihat nyaman untuk ditinggali, dan bahkan furniturenya sudah komplit. Ada juga beberapa lukisan yang sudah pasti Adnan yang melukis, karena
Hari ini adalah hari pernikahan Fathia dan Adnan, yang akan dilaksanakan di rumah mempelai pria.Saat ini, Fathia sudah didandani dan memakai gaun pernikahannya, sedang menuju ke kediaman orangtua Adnan. Yang bisa Fathia lakukan saat ini, hanya menatap jalanan yang dilaluinya dari jendela mobil, sedangkan tangannya menggenggam erat tangan sang Mamah yang kebetulan duduk di sampingnya.Yang Fathia lakukan saat ini, hanya berdoa semoga semuanya berjalan lancar. Ia hanya ingin pikirannya terfokus akan hari ini, mencoba melupakan pemikiran dan perasaan yang mengganggunya belakang ini, selama perjalanannya menuju pernikahan yang dilaksanakan hari ini."Tenang aja, jangan nervous kayak gitu. Doa dan shalawat jangan lupa diucapin terus." Ucap sang Mamah sembari mempererat genggaman tangannya, sedangkan ia hanya mengiyakan ucapan sang Mamah dengan anggukan kepalanya."Mah, tapi Adnan bakal bisa kan buat n