Share

11. Rasa Kehilangan

“Kamu bisa bantu Aku?” Fiolina sedikit terkejut dengan tawaran Almara.

Memang, Almara berniat menjodohkan Rangga dan Fiolina agar di masa ini Rangga tidak jatuh cinta kepadanya. Jika Almara berhasil membuat Rangga jatuh cinta kepada wanita lain, maka itu akan sedikit mengurangi rasa bersalah yang Almara rasakan.

“Ya, mungkin Aku bisa coba. Aku agak ahli dalam menjodohkan pasangan,” Almara sebetulnya sama sekali belum pernah menjadi Mak Comblang. Namun, Almara cukup percaya diri. Dulu dia berhasil membuat Rangga jatuh cinta kepadanya, mungkin tidak akan sulit untuk membuat Rangga jatuh cinta kepada Fiolina. Dia hanya perlu mengingat hal apa saja yang membuat Rangga menyukainya.

“Hm ... Kamu pasti ahli dalam memahami laki – laki ya. Buktinya Kamu bisa mendapatkan Ardan.”

“Ah gak juga. Tapi bukannya layak dicoba ? Nanti Kita akan atur gimana caranya supaya Kamu bisa mendapatkan hati Rangga. Kamu percaya aja sama Aku,” Almara mengedipkan matanya dengan nakal kepada Fiolina.

“Oke siap,” Fiolina tersenyum bahagia. “Terimakasih ya, itu kita bicarakan lagi nanti, sekarang kita bahas bisnis kita dulu.”

Hampir 3 jam Almara dan Fiolina membicarakan perihal kerjasama bisnis mereka. Pada intinya, Almara dan Yoan membantu membuat kampanye peluncuran brand fashion milik Fiolina dan temannya. Fiolina sudah menjelaskan konsep yang dia inginkan. Selanjutnya Almara akan mengembangkan ide bersama Yoan.

Setelah membicarakan urusan pekerjaan, Almara dan Fiolina mengobrol ringan sebentar sebelum memutuskan untuk pulang.

Selama perjalanan ke rumah kosnya, Almara berpikir keras bagaimana cara menjodohkan Rangga dan Fiolina. Namun bodohnya, Almara tidak bisa mengingat dan memahami apa yang membuat Rangga tertarik padanya. Almara mencoba mengingat kebiasaan Rangga, makanan kesukaannya atau hobinya, namun Almara tetap tidak ingat. Almara mulai merasa menjadi istri yang sangat buruk. Mungkin dia begitu tidak peduli kepada suaminya sehingga dia tidak bisa mengingat kebiasaannya.

Saat sedang tenggelam dalam pikirannya, ponsel Almara berdering. Dia menerima telepon dari Ardan.

“Sayang, yuk temani aku makan malam. Seharian ini Kamu super sibuk di kampus, lalu Kamu ketemu klien, sampai Kamu gak ada waktu buat Aku,” suara rajukan Ardan terdengar dari dalam ponsel.

“Oke, Kamu jemput aku di kos ya.”

“Aku sudah di depan kos Kamu,”

Almara berjalan ke jendela kamarnya yang berada di lantai dua dan melihat mobil Ardan memang sudah di depan gerbang rumah kosnya. Ardan bersandar di kap mobilnya sambil memegang setangkai mawar merah. Dia mengenakan kaos abu – abu muda dengan jaket semi parasut berwarna hijau limau yang tidak dikancingkan. Perpaduan dengan celana jins membuat penampilan Ardan terlihat casual namun romantis.

Ardan menatap ke arah jendela kamar Almara dan mendapati bahwa Almara juga sedang menatapnya. Ardan melambaikan tangannya sambil tersenyum. Dia membuat bentuk hati dengan jari – jari tangannya dan mengucapkan kata ‘I Love You’ tanpa mengeluarkan suara.

Almara tersenyum. Dia merasa agak familiar dengan momen ini. Lalu dia teringat bahwa dulu Rangga pernah melakukan tindakan serupa. Saat itu Almara yang berusia 25 tahun sedang berada di rumah sakit pasca keracunan makanan. Seorang asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Almara memasak ikan buntal dengan tidak benar. Kondisi Almara saat itu sangat kritis, namun beruntung nyawanya berhasil terselamatkan.

Saat Almara sedang dilanda kebosanan karena terlalu lama menghabiskan waktu di rumah sakit, seorang perawat masuk ke kamar Almara dan memberinya sebuah bouquet bunga.

“Nona Almara, barusan ada kurir yang menitipkan bunga ini untuk Anda,” terang perawat itu.

“Oh iya Suster, terimakasih,” Almara menerima bunga itu dan melihat ada sebuah kartu ucapan di atasnya. Setelah dibuka, Almara tidak menemukan nama siapapun tertulis pada kartu itu. Dia hanya membaca sebuah pesan yang berbunyi ‘Jika Kamu bosan, coba lihat ke luar jendela’

Didorong oleh rasa penasaran, Almara berjalan menuju jendela kamarnya. Kamar Almara berada di lantai lima rumah sakit. Dari tempatnya berdiri Almara bisa melihat Rangga bersandar di kap mobilnya. Kali ini Rangga membawa Porche putih yang jarang dia gunakan. Biasanya Rangga ke kantor hanya mengendarai Audi A8 miliknya.

Rangga mengenakan kaos putih polos tanpa kerah dengan setelan jas minimalis modern berwarna abu –abu. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Saat melihat Almara menatapnya dari balik jendela, Rangga melambaikan satu tangannya sambil tersenyum manis ke arah Almara.

Rangga lalu melambaikan dan menunjuk ponselnya sendiri. Almara memahami maksud Rangga, dia meraih ponselnya lalu melihat ada pesan dari Rangga.

[Hari ini Aku sengaja membawa “kuda” putih, apa Aku sudah seperti pangeran dan cukup layak menyelamatkan Tuan Puteri dari menara?]

Almara kembali mendekati jendela, namun hanya mobil Rangga yang terlihat, sedangkan Rangga entah pergi kemana. Satu menit kemudian pintu kamar diketuk lalu Rangga melangkah masuk.

“Lho, Kamu kok bisa masuk? Ini kan di luar jam besuk,” Almara terkejut ternyata Rangga sudah sampai di kamarnya.

“Hm ... Mungkin karena rumah sakit ini adalah milikku,” Rangga dengan entengnya menjawab sambil tersenyum dan mengangkat kedua alisnya.

“Hm... Aku lupa kamu orang kaya. Jadi kamu tidak hanya punya perusahaan namun juga punya rumah sakit, mall, bandara dan lain-lain.”

“Ha Ha Ha,” Rangga terbahak mendengar pernyataan Almara. Mana mungkin dia punya bandara.

“Aku cuma punya satu perusahaan dan rumah sakit ini aja kok. Aku gak punya mall apalagi bandara,” Rangga menjelaskan dengan sabar lalu melanjutkan, ”Kamu bosan kan? Mau jalan – jalan? Kita bisa keliling taman rumah sakit ini daripada Kamu terus – terusan di kamar.”

“Oke,” Almara setuju.

Rangga mengambil kursi roda di sudut ruangan untuk Almara gunakan lalu mereka berdua keluar menuju taman rumah sakit.

“Gimana Kamu bisa tahu kalau Aku bosan?” tanya Almara dalam perjalanan menuju taman.

“Bukannya kamu sudah terima bunga dari Aku? Aku bilang kalau Kamu bosan kamu bisa melihat ke luar jendela. Dan kamu benar – benar lihat ke luar jendela, artinya kamu memang bosan. Iya kan?” terang Rangga.

“Tapi Kamu gak mencantumkan nama disitu. Gimana kalau seandainya Aku gak buru – buru melihat ke luar jendela?”

“Aku akan tunggu,” jawab Rangga

“Kalau lama?”

“Gak masalah lama, aku punya banyak waktu,”

“Kalau ternyata Aku gak pernah melihat ke luar jendela sampai Aku pulang?” Almara masih terus menanyai Rangga.

“Gak masalah. Berarti bagus karena kamu gak bosan. Aku Cuma khawatir Kamu terlalu bosan dan jadi gak semangat,” Almara akhirnya tidak bertanya lebih lanjut.

Saat mereka sampai di taman, Rangga duduk di salah satu kursi taman. Dia menggeser kursi roda Almara agar berhadapan dengan dirinya. Rangga membelai lembut rambut Almara lalu berkata, “Aku cuma mau Kamu tahu, bahwa Aku akan selalu ada buat Kamu. Saat Kamu bosan, sedih, sakit, senang, butuh teman, ataupun sedang ingin sendiri, Aku tetap ada buat Kamu.”

Almara hanya bisa tersenyum. Dulu dia melihat seorang lelaki baik seperti Rangga  mengejarnya, dan dia menerima Rangga menjadi kekasihnya hanya agar bisa cepat melupakan Ardan. Tapi hingga detik ini, dia belum juga bisa melupakan Ardan. Dalam hatinya ada kebimbangan, bisakah dia terus melanjutkan hubungannya dengan Rangga padahal hatinya untuk orang lain?

“Oya, karena Kamu bosan, gimana kalau Kita nonton pesta kembang api?”

“Tapi aku masih pasien dan belum boleh kemana- mana,” sahut Almara.

“Kalau gitu kita gak perlu kemana- mana,” Rangga memutar kursi roda Almara dan beberapa kembang api sudah mulai mewarnai langit malam itu.

Almara terkesima melihat puluhan kembang api beragam warna dan bentuk menghiasi langit malam, saat letusan kembang api sudah berakhir, Almara menoleh kepada Rangga dan berkata, “Kamu yang menyiapkan ini semua?”

“Yup,” Rangga tersenyum dengan senyum yang bisa melelehkan semua wanita normal. Dia lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam sakunya. Saat dia membuka kotak itu, tampaklah sebuah cincin yang sangat elegan dan modern. Desainnya minimalis, terdapat berlian kecil yang berkilau saat diterpa cahaya bulan.

“Almara, maukah kamu menikah denganku?”

Begitulah Rangga dulu melamar Almara. Sekalipun saat itu Almara sedang dilanda kegalauan, Almara tetap menerima lamaran Rangga dengan harapan akan semakin mudah melupakan Ardan jika dia sudah menjadi istri Rangga.

Namun saat itu adalah kesalahan dan sekarang Almara sudah kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semuanya. Hubungannya dan Ardan tidak hancur, Rangga belum mengenalnya, semua sudah seperti yang dia harapkan. Namun entah mengapa ada kegetiran dalam hatinya saat mengingat adegan kala Rangga melamarnya. Ada rasa kehilangan yang tidak bisa Almara jelaskan.

Ponsel Almara berdering. Almara cepat – cepat mengangkatnya, Ardan masih menunggu di bawah dan dia malah melamun.

“Ya Halo, sebentar Sayang, Aku turun sekarang,” seru Almara tanpa melihat siapa yang menelepon karena dia menganggap itu pasti Ardan.

“Halo Almara? Ini Aku Fiolina. Hei, Aku mau kasih tau kamu kabar gembira, barusan Rangga telepon Aku ngajak makan malam berdua. OMG Aku excited banget, apa yang harus aku siapkan nih?”

DEG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status