Share

Bab 3

Gita merasakan sebuah tangan terselip di bawah tubuhnya, lalu tangan lain berlabuh di atas perutnya. Selanjutnya, dia merasakan tubuhnya bergerak seolah-olah ditarik ke arah sang pemilik tangan, membuat tubuh mereka kembali saling bersentuhan erat. Meski matanya masih terpejam, tapi pergerakan itu berhasil membangunkannya dan menyadarkannya akan di mana dirinya. Dia dalam pelukan Rangga, pria yang baru ditemuinya semalam. 

Gita tersenyum tipis kala ingatan semalam memasuki benaknya. Obrolan panjang ditemani wiski dan berakhir dengan tidur bersama. Yeah, bukan akhir yang aneh, sebenarnya. Kenyamanan memunculkan keinginan. Itu hal yang lumrah bagi sesama dewasa. 

Gita menggerakkan tubuhnya ke belakang agar semakin menempel dengan tubuh liat di belakangnya. Namun, baru saja kenyamanan diperolehnya, tiba-tiba pintu kamar mereka terbuka. 

"Apa yang kalian lakukan?" 

Bak gelegar petir, pertanyaan itu mengagetkan dua orang yang masih bergumul di atas kasur dan memaksa mata mereka terbuka lebar. Mereka otomatis bangkit dan itu adalah keputusan yang salah. Selimut yang menutupi tubuh atas mereka melorot. Alhasil, hal itu menampilkan bagian atas tubuh telanjang Gita. Refleks, tangannya menaikkan selimutnya kembali kendati terlambat. 

"Nenek," panggil Rangga parau. Dia hanya bisa diam di tempatnya karena dia pun telanjang. Selimut benar-benar menjadi satu-satunya benda yang menutupi tubuhnya dan Gita. 

Wajah Gita berubah pucat pasi kala Rangga menyebutkan panggilannya pada orang yang seenaknya merusak pagi mereka. Dan napasnya serasa berhenti ketika menemukan bukan cuma seorang wanita tua, melainkan juga wanita lain di belakangnya. 

Ada apa ini? Kenapa rasanya dia seperti tertangkap basah? 

"Nenek, aku bisa jelaskan." Rangga masih berusaha berkata-kata dengan kesadaran seadanya. Sejujurnya, otaknya belum dapat bekerja dengan baik. Tetapi, dia tidak punya pilihan lain selain memaksanya bekerja. 

"Kenakan pakaian kalian. Kita bicara di luar," tegas Nenek sebelum berbalik dan keluar dari kamar. 

"Kalian bodoh sekali. Kami sudah bilang akan datang pagi ini." Wanita yang bersama Nenek berujar dengan ketidakpercayaan di wajahnya. Kemudian, dia mengikuti Nenek keluar dari kamar. 

Dan yang bisa dilakukan Gita hanya menampilkan ekspresi bodohnya. Dia tidak mengerti situasinya, selain mereka tertangkap basah telanjang di ranjang yang sama. Selain itu, dia tidak mengerti kenapa Nenek dan wanita itu terlihat marah dan kesal kepada mereka? Apakah dia melakukan suatu kesalahan? 

Tunggu. Jangan-jangan dia tidur dengan suami seseorang? 

Pemikiran terakhirnya membuat otak Gita macet. 

"Maaf, sudah mengagetkanmu. Aku benar-benar lupa kalau nenekku akan datang." Rangga segera bangkit untuk meraih pakaiannya yang berceceran di lantai. Inilah hasil gairahnya semalam sehingga mereka membuang asal bajunya ke manapun. "Lebih baik kita segera berpakaian," lanjutnya seraya membantu memunguti pakaian Gita. 

Gita masih tidak mengerti. Namun, dia menurut saja dengan menerima pakaiannya dari Rangga dan dengan cepat mengenakannya. Satu menit selanjutnya, mereka habiskan dengan mengganti penampilan mereka dengan sesuatu yang lebih layak untuk menemui Nenek dan sang wanita. 

"Nenekku sedikit kolot. Dia mungkin mengomeli kita soal tidur bersama." Rangga memperingatkan Gita tepat sebelum mereka membuka pintu. Setelah mendapat anggukan mengerti dari Gita, dia menekan gagang pintu dan menariknya. 

Rangga berjalan cepat menuju sofa dengan Gita mengikuti di belakangnya. Gita seolah-olah bersembunyi di balik tubuh besarnya dan berusaha keras menghindari tatapan menuduh dari Nenek dan si wanita. Namun saat mereka sampai di sana, Gita tidak dapat lagi melakukannya sebab kini mereka duduk saling bersisian. Satu-satunya tamengnya adalah diam. 

"Namamu siapa?" 

Tapi, rupanya, diam juga tidak bisa digunakannya karena jelas Gita tahu pertanyaan itu ditujukan kepadanya. "Gita Saputri." Ragu, dia berucap. Dia antara ingin menyembunyikan atau menyebutkan identitasnya. Di akhir, dia memutuskan untuk jujur sebab dia tidak mempunyai kebohongan untuk dikatakan. 

"Apa pekerjaanmu?" Nenek mengujarkan pertanyaan selanjutnya. 

"Aku manajer artis." Gita pasti tampak seperti semut di hadapan gajah. Sudah tertangkap basah, kali ini Nenek menginterogasinya. Sungguh, apa kesalahannya? 

"Bagaimana dengan orang tuamu? Apa pekerjaannya?" 

"Nenek!" Rangga menyerukan protesnya. Kenapa pertanyaan Nenek langsung tertuju kepada orang tua Gita? Itu tidak benar. 

"Diam kamu." Nenek langsung meredam Rangga dengan perintah mutlaknya. Bahkan, wanita di sebelahnya cuma bisa diam melihat keadaan canggung ini. "Apa pekerjaan orang tuamu?" ulangnya dengan pertanyaan serupa dalam nada ramah seperti sebelumnya. Tetapi, siapa pun tahu keramahannya penuh makna. 

Gita tidak langsung menjawab. Dia melihat satu-persatu orang di sekelilingnya, lantas menelan ludahnya dengan susah payah begitu menyadari situasi yang tak menguntungkannya. "Ayahku dosen, dan ibuku dulunya guru tapi berhenti setelah melahirkanku. Dia ingin menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya untuk merawatku dan adikku." 

Nenek mengangguk paham dan terlihat puas akan jawaban Gita. "Apakah kamu sudah menikah?" 

"Nenek!" Rangga kembali mangajukan protesnya. Dia mulai menduga-duga arah pembicaraan Nenek. Perjodohan. Dia sampai bosan mendengar Nenek meminta hal itu kepadanya. 

"Belum." Awalnya ragu, tapi Gita tetap menjawabnya. 

"Sudah bertunangan?" 

"Belum." 

"Memiliki kekasih?" 

Gita menggelengkan kepalanya. "Nggak ada." 

Nenek terdiam. Dia terlihat memikirkan sesuatu yang penting berdasarkan investigasi singkatnya. Beberapa detik kemudian, dia siap mengumumkan hasilnya. "Sudah diputuskan. Kalian berdua akan menikah hari ini." 

Jika insiden di awal bak gelegar petir, sekarang, kalimat Nenek seperti petir yang menyambar kilat tiga orang di sana. Nenek bukan lagi membahas soal perjodohan, melainkan pernikahan! Itu sangat mengejutkan ketiganya. 

"Nenek!" Rangga dan sang wanita menyerukan namanya keras. Protes tidak main-main mereka tunjukkan. Bagaimana tidak? Itu merupakan keputusan sepihak, dan itu tentang pernikahan. Siapa yang mau begitu saja menikah, apalagi setelah hanya bertemu sekali? 

"Apa maksudnya?" Si wanita meminta penjelasan lebih kepada Nenek. Dia tahu neneknya kolot dan tegas perihal masalah ini. Tetapi, menikah? Itu berlebihan. 

"Rangga menidurinya. Jadi dia harus bertanggung jawab dengan menikahinya." Dengan tenang Nenek merangkai kalimatnya. Tampaknya, dia sudah terbiasa menghadapi penolakan. Ya, ya. Dia memang terkesan ikut campur dalam kehidupan Rangga. Namun, itu semua demi kebahagiaan cucunya. Membina keluarga adalah keputusan terbaiknya. Dan dia ingin Rangga, serta cucunya yang lain merasakan kebahagiaan tersebut. 

"Jangan bercanda, Nek! Mana ada orang menikah hanya karena pernah tidur bersama?!" Rangga mulai kesal menghadapi neneknya. Ini zaman modern. Bahkan tidak menikah menjadi hal yang biasa. 

"Ada. Kakek dan nenekmu." Lagi, Nenek membalas dengan ketenangannya. "Kalian akan menikah. Tidak ada bantahan." 

"Nenek juga harus mempertimbangkan perasaan Gita. Jangan mengambil keputusan sepihak." Si wanita berupaya menenangkan Nenek serta mengendalikan situasi. 

Gita yang sejak tadi diam, sedikit terkejut ketika wanita itu menunjuknya. Padahal dia sengaja menarik diri dari perdebatan yang tidak dimengertinya. Oh, dia tahu itu berkaitan dengan nasibnya. Namun, benaknya masih tak dapat mengikuti keadaan membingungkan ini. Atau mungkin, kesadarannya belum pulih sepenuhnya sehingga tubuh dan benaknya tak mampu bereaksi logis. Seharusnya, dia bergabung dengan mereka untuk menolak rencana pernikahan absurd Nenek, bukan? 

Tiba-tiba, Nenek bangkit dan berjalan menghampirinya. Lalu, Nenek duduk di sebelahnya yang membuat Gita nyaris membelalakkan mata akibat perilaku tak terdugannya. Dalam hati, dia berharap-harap cemas menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Terlebih kala Nenek mendadak meraih tangannya. 

"Gita, biarkan cucuku, Rangga, menikahimu," kata Nenek dengan tatapan penuh harap kepada Gita. 

Gita adalah wanita yang tak tegaan. Melihat cara Nenek memintanya, jelas membuat hatinya goyah. "Aku tidak berpikir kita perlu menikah." Kebimbangan terdengar dalam suaranya. Itu gabungan antara kebingungan atas situasi ini dan ucapan Nenek soal pernikahan. 

"Lihat?" Rangga bergabung dengan mereka, membenarkan pemikirannya soal penolakan Gita. 

"Cucuku memang kurang ajar. Tapi, akan kupastikan dia bertanggung jawab." Nenek tidak menanggapinya seolah-olah tak mendengar Rangga dan melanjutkan pembicaraannya dengan Gita. 

Gita menelan ludahnya dengan susah payah. Dia tidak suka jika seseorang memintanya begini. "Aku baik-baik saja. Jadi-" 

"Lihat, aku sudah tua begini," potong Nenek cepat. "Umurku tidak akan panjang. Yang kuinginkan hanya melihat cucuku menikah," imbuhnya. 

"Nenek!" 

"Hah?" 

Panggilan Rangga dan respons Gita keluar secara bersamaan. 

"Dia tidak pernah mau mengikuti perjodohan yang kurencanakan. Jadi, kumohon. Nikahilah Rangga. Demi nenek tua ini." Nenek mengelus-elus tangan Gita, masih dengan tatapan yang sama. 

Gita benar-benar mulai goyah. Melihat seseorang memohon kepadanya seperti ini sudah membuatnya tak tega, apalagi seorang wanita tua yang melakukannya. Entah kenapa dia melihat sosok kakek dan neneknya dalam diri Nenek. Dua figur yang sangat mencintainya, selain kedua orang tuanya. Mereka pasti menginginkan yang terbaik untuk cucunya. 

"B-baik." Akhirnya, keputusan itu diambilnya. Entah itu akan menjadi keputusan yang baik atau justru sebaliknya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status