Mendengar deheman pria yang ada di dalam lift, mereka berdua pun langsung saling menjauh lalu bergiliran masuk ke dalam lift.
Rayden melingkarkan lengannya di pinggang Emily, sementara wanita itu berusaha melepaskan tangan Rayden dari pinggangnya.
Pria lain di dalam lift itu mengamati mereka berdua dengan agak bingung.
"Apa kalian suami istri?" tanyanya penasaran.
"Bukan," jawab Emily cepat.
'Lift ini begitu lama turun ke lobi, sampai kapan aku harus disandera oleh pria gila ini,' pikir Emily.
Mereka bertiga turun hingga lantai lobi. Pria asing di lift yang sepertinya orang Turki itu berjalan ke pintu keluar lobi sembari memperhatikan Emily dan pria satunya dengan penasaran. Ini bukan waktu orang normal berkeliaran. Saat ini pukul 03.30, lewat malam dan belum cukup pagi untuk beraktivitas. Dan ... mereka bukan suami istri, selain itu tak ada tanda-tanda kesamaan genetik di antara kedua orang itu.
"Emily, tunggu!" ser
"TOK TOK TOK." Suara ketukan jamak di pintu kantor jaksa Emily Rose Carter terdengar nyaring."Masuk saja," sahut Emily santai. Dia sedang menekuri berkas kasus kriminal yang sudah mengantre untuk disidangkan dalam waktu dekat, sebuah kasus pembunuhan berencana yang berkaitan dengan perebutan harta warisan. Dia telah menarik kesimpulan praktis ketika membaca data mentah dari catatan saksi dan bukti. Tugasnya adalah mengajukan tuntutan hukum pidana serta denda kepada terdakwa, bukan menyelidiki sekalipun terkadang kasus yang pelik pun membutuhkan campur tangannya secara tidak langsung bekerja sama dengan pihak kepolisian Chicago.Seorang pria muda bertampang keturunan Timur Tengah memasuki ruang kantornya bersama Brendan Nieson, asisten Emily. Kedua pria berbeda generasi itu duduk bersebelahan di seberang meja kerja Emily.Ingatan Emily tentang wajah pria muda bercambang dan berkumis tipis itu masih hangat dalam benaknya, dini hari tadi mereka bertemu di lift Baltimore Eclat Tower. Na
Kantor kepolisian Chicago selalu ramai dengan aktivitas para penegak hukum berlencana dan tentunya para kriminal baik yang kelas teri maupun kelas kakap. Semua bertumpah ruah di gedung berlantai 10 itu menimbulkan suara berdengung bagai kumpulan lebah yang sibuk. Dering telepon tanpa jeda membuat stres para penegak hukum itu meningkat, tidak jarang mereka harus mengonsumsi obat tidur hanya untuk meredakan migren dan beristirahat beberapa jam. Berhenti dari kewajiban mereka di jam-jam tak normal dimana orang lain telah terlelap ke alam mimpi.Dan di sanalah Emily Rosalyn Carter saat ini, langkah ringan kakinya di atas high heels 10 cm mengetuk-ngetuk lantai kayu di koridor department kriminal Kepolisian Chicago hingga terhenti di depan sebuah pintu tertutup bertuliskan Detektif Ryan Falderson. Wanita itu tersenyum tipis sembari mengetok pintu kantor sang kapten.Pria itu menyuruhnya masuk dengan suara bernada tak sabar dari dalam ruangan. Dengan perlahan Emily menarik gagang pintu di
"Baiklah, Ryan. Kau memberiku cukup banyak PR kali ini, mungkin aku harus pulang ke kantorku sendiri sekarang untuk segera mengerjakannya!" pamit Emily seraya berpelukan dengan Kapten Ryan Falderson sebelum meninggalkan ruangan 3 x 4 meter persegi bercat dinding putih membosankan itu.Saat Emily keluar dari ruang kerja Kapten Ryan Falderson, kedua ajudannya telah menunggu di bangku yang ada di koridor depan ruangan itu."Kita kembali ke kantorku, Ron, Thomas!" ucap Emily lalu berjalan mendahului kedua pria itu menuju ke mobil dinasnya yang terparkir di depan gedung Kepolisian Chicago.Sesampainya di kantornya, Emily tak menduga dia akan kedatangan tamu yang memang sudah dia rindukan."Papaaa ..., apa sudah lama menungguku?" sapa Emily lalu memeluk mantan jaksa legendaris yang telah memasuki masa pensiunnya itu.Lincoln John Carter masih tampak gagah di usianya yang menginjak kepala 6. "Hey, Gadis Cantik Papa! Dari mana saja kau, Emily?" balasnya."Dari Kantor Kepolisian Chicago, Pa. A
Aroma tubuh pria itu bercampur parfum mahal yang terhirup hidung Emily bersama air hangat shower seolah membuat paru-parunya sesak hingga ia terbatuk-batuk hebat.Tatapan nanar mata Emily mengenali siapa pria itu. 'Bagaimana dia bisa menerobos masuk ke apartmentku?!' batin Emily panik saat tubuh kekar pria itu menghimpitnya hingga punggungnya membentur dinding kamar mandi."Menerobos kediaman seorang jaksa adalah tindakan kriminal berat, kuperingatkan kepadamu—"Pria itu terkekeh dengan nada menghina lalu menjawab perkataan Emily, "Ohh ... jadi pasal-pasal hukum itu akan kau bacakan kepadaku sekarang?! Aku akan dengan senang hati mendengarkannya, tapi dengan satu syarat—""Hah? Syarat ...!" tukas Emily geli dengan nada sarkastis memalingkan wajahnya menghindari tatapan tajam nan menggoda dari pria yang tak mau menyebutkan nama kepadanya."Bacakan pasal-pasal hukum itu sambil mendesah di bawah tubuhku, Jaksa Emily Carter yang cantik. Apa kau setuju?" ujar pria dengan suaranya yang bera
Pukul 09.00 PM, Moira Jackson sedang mengajak Fluffy, Golden Retrievernya untuk jalan-jalan rutin di sepanjang tepian Sungai Chicago yang biasanya diwarnai hijau pada St. Patrick's Day. Untungnya setelah hujan ringan tadi, cuaca cerah juga jadi rutinitasnya membawa Fluffy buang air besar di luar flat sewaannya bisa terlaksana. Sinar lampu senternya dia pancarkan ke sekeliling jalan yang mereka lewati hingga ketika Moira menyinari ke permukaan air sungai berpermukaan tenang itu, dia merasa ada benda hanyut yang berbentuk memanjang berwarna merah tua.Rasa penasarannya pun muncul dan dia pun menarik tali kekang anjingnya menuju ke dekat sungai. "Sshhh ... Fluffy! Kemari sebentar—" serunya bernada tegas yang diikuti oleh Fluffy dengan bersemangat."AAAAAARRRHHHH!" jerit Moira Jackson ketika menyadari bahwa benda terapung berbentuk panjang itu tak lain adalah cardigan merah yang dikenakan seorang wanita yang dia yakin tak bernyawa lagi."Ohh Gosh ... ohh Gosh! A–aku harus panggil 911!" s
Mobil SUV Ford warna hitam itu melaju dengan kecepatan stabil di jalanan kota Chicago yang sepi, sudah lewat tengah malam ketika proses perekaman TKP pembunuhan wanita yang ternyata ditemukan identitasnya bernama Cecilia Briane Sommerhalder. Letnan Benjamin Roosevelt bersama rekannya Sersan Rodney Bradford segera mengunjungi tempat tinggal korban yang berstatus single, belum menikah. Petugas forensik juga mengikuti mobil itu menuju ke Gladious Sky apartment untuk mengambil semua sampel yang mungkin dapat dijadikan bahan penyelidikan pembunuhan itu sekalipun TKP penemuan mayat itu di Sungai Chicago.Segala kemungkinan tak boleh ada yang terlewatkan dan mereka berusaha secepatnya mengejar setiap petunjuk yang bisa mereka temukan.Akhirnya 2 mobil dinas warna hitam itu terparkir di lantai underground apartment tempat tinggal korban pembunuhan, Cecilia Sommerhalder. Para pria tegap berpakaian seragam resmi itu segera naik ke lantai lobi untuk meminta akses masuk ke unit milik wanita itu.
Selepas kepergian pria misterius yang sangat ia benci, Emily segera membukakan pintu untuk petugas room service yang mengantarkan makan malamnya ke unit apartment miliknya. "Silakan menikmati makan malamnya, Nona Emily Carter!" ujar pemuda itu ramah usai menerima tip dari Emily lalu menutup kembali pintu keluar.Rib Eye Steak BBQ sauce dengan kentang goreng dan tumis sayur sepertinya cukup untuk membangkitkan selera makannya sekalipun tubuhnya terasa tak nyaman usai melayani napsu bejat pria misterius tadi.Bercinta tidak seperti itu yang dia sukai, Emily membutuhkan Maximillian Darren Levine. Pria itu selalu mampu membuatnya merasa aman dan nyaman. Jiwa yang tenang dan tidak jahat, alasan itulah yang selalu membuat Emily bisa menurunkan kewaspadaannya serta tak perlu berpikir rumit ketika bersama fighter pro MMA itu.Dia meletakkan garpu dan pisaunya di piringnya lalu beranjak ke meja riasnya untuk mengambil ponselnya dari dalam tas tangannya. Sebuah pesan singkat ia ketik lalu kiri
"Letnan Benjamin Roosevelt, saya mengirimkan surat kerja sama penyelidikan untuk kasus yang menyeret putera Senator Crawford kepada Anda karena sebetulnya kemarin saya berbicara dengan Kapten Ryan Falderson mengenai identitas saksi kriminalitas itu karena kupikir beliau akan mau turun tangan langsung mengurus perkara itu. Namun, di menit akhir dia membatalkan niatnya. Bagiku ini sungguh mencurigakan bila di siang hari satu-satunya orang yang mengetahui identitas saksi hanya dia dan malamnya saksi terbunuh," ujar Emily mengemukakan pendapatnya di hadapan kedua petugas Kepolisian Chicago.Ben mengusap dagunya yang ditumbuhi cambang pendek sembari berpikir keras. Sebenarnya ia pun tidak menyukai kaptennya itu karena sering memilih-memilih kasus kriminal untuk ditangani. Namun, menghilangkan nyawa saksi adalah tuduhan berat untuk perwira kepolisian dengan jabatan seorang kapten."Emily, kurasa kita harus menyimpan informasi ini sebelum ada bukti yang lebih konkrit bahwa Kapten Ryan Falder