“Jangan ditutup ....” ucapnya dengan senyum yang manis dan mata yang berbinar menerpa Prims hampir putus asa.Prims melihatnya ikut naik ke atas ranjang dan memeluknya. Menempatkan mereka saling berhadapan dengan keadaan mata mereka yang sejajar sebelum Arley menghilang dari pandangannya.Sekiranya ... Prims tidak perlu bertanya lagi ke mana perginya Arley karena ia telah bisa merasakannya. Lembut lidahnya yang menyesap, pada bagian paling sensitifnya atau pada letak yang lebih dekat dengan lehernya.Prims menutup matanya, menyisipkan jemarinya di antara rambut hitam Arley yang lebat. Tidak kuasa menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara erotika. Napasnya tersengal, tubuhnya beraksi lebih banyak daripada yang ia pikirkan. Ini di luar kendalinya.“K-kenapa di sana j-juga?” tanya Prims terbata-bata saat merasakan tangan besar Arley yang menyelinap di balik dress yang ia kenakan. Menyinggahi lutut dan sekarang telah tiba di pahanya.“Bukankah paket dada artinya akan mendapatkan paket
Jika Prims tak menarik tangan Arley, prianya itu bisa saja menempel di dinding dengan terus tersenyum dan berkali-kali mengusap pipi serta dadanya sendiri secara bergantian.“Ayo makan siang kalau begitu. Kamu mau lobster yang besar?” tanya Prims yang dijawab dengan menggunakan anggukan.“Apakah aku boleh ikut makan lobster yang kamu pesan nanti?”“Iya,” jawab Arley dengan masih tersenyum di depan Prims.Mereka berjalan bergandengan tangan, menyusul Jayden yang ternyata sibuk menyiapkan mobil agar stand by di depan pintu lobi sebelah barat.“Arley bilang dia jadi makan lobster, Jay,” ujar Prims saat sudah berada di dekat jayden.“Nona tidak curiga bahwa itu hanya dia jadikan sebagai ajang—“ Jayden berhenti bicara.Ia memandang Arley yang berdiri di samping Prims, tengah tertawa berkali-kali dengan raut wajahnya yang tampak bahagia.Jayden mengerutkan alis lebatnya, matanya yang sudah sipit terlihat semakin sipit saat tatapan menelisiknya menerpa Arley dengan benak yang penuh dengan ta
“UHUKK!”—“UHUKKK!”Prims dan Arley terbatuk secara bersamaan mendengar Jayden mengatakan ‘Aku akan menikah dalam waktu dekat.’“Kamu serius?” Arley membola kedua matanya, menatap Jayden meminta penjelasan.“Memangnya aku terlihat bercanda?” tanyanya balik, sedikit kesal.“Dengan siapa kamu menikah, Jay?”“Dengan pacarku, Pak Arley. Dengan Lucia. Tadinya aku berencana melamarnya dulu dan menikah tahun depan. Tapi setelah aku pikir-pikir ... untuk apa menunda? Kami bahkan sudah selama ini bersama-sama.”Arley masih melongo, matanya mengerjap beberapa kali sebelum Prims menepuk punggung tangannya agar ia tersadar.“Jadi, kapan itu pernikahanmu?”“Sekitar dua minggu lagi. Aku akan datang dengan Lucia untuk memberikan undangannya padamu dan Nona Primrose.”Arley mengangguk, meski ia tersenyum ada seberkas rasa sedih yang tersirat di kedua pelupuk matanya.“Kenapa, Arley?” tanya Prims setelah memastikan dan menelaah bahwa yang ia lihat pada Arley memang benar sebuah gurat kesedihan “Kenapa
‘Baby, I’m dancing in the dark with you between my arms barefoot on the grass, listening to our favourite song ....’Mengalun dengan sangat manis musik yang dinyanyikan oleh sepasang vokalis pria dan wanita yang berada di sudut lain tempat.Resepsi yang diadakan pada malam harinya di ballroom hotel Kings juga sangat megah. Prims hadir di sana, menikmati sajian makanan yang beraneka ragam, dan live music yang merdu di telinganya.Ia baru saja mendengar kalimat Jayden dan Lucia yang mereka sampaikan sesaat sebelum mereka berdansa untuk pertama kalinya setelah resmi menjadi pasangan.Pemandangan manis yang hingga detik ini masih betah dilihat oleh Prims dari tempat ia duduk di kursi VIP bersama dengan Arley.Prianya itu baru saja datang dari kamar mandi dan melemparkan seulas senyumnya yang manis saat kembali duduk di sampingnya.“Apakah ini hidangan penutupnya?” tanya Arley dengan mendekatkan bibirnya di samping telinga Prims.“Iya, Arley. Stroberi di cake milikmu sudah aku makan tadi,
Prims menggigit bibirnya dengan gugup mendengar ‘Cintaku’ sekali lagi diucapkan oleh Arley. Tidak bisa mendefiniskan seperti apa perasannya sekarang ini karena jujur saja ... ini terlalu mendebarkan.Perutnya yang membeku kini seperti tak bisa merasakan apapun. Sedang Arley masih berlutut di hadapannya dengan salah satu alis yang terangkat menunggu jawaban darinya.Prims menengadahkan kepalanya saat Arley perlahan berdiri, meraih kotak transparan yang ada di tangan Prims, menjauhkannya dari pemiliknya dan meletakkannya di atas nakas.Ia tak bisa berkata-kata bahkan ketika Arley meraih pinggangnya dan membuatnya berbaring dalam waktu kurang dari beberapa detik.Mata mereka bertemu pandang di dalam kebisuan. Sentuhan jemarinya yang besar singgah di pipi Prims teriring dengan sebuah bisikan, “Apa yang kamu pikirkan?”Prims masih tak henti menatapnya. Tertawan pesona Arley yang menunduk berada di atasnya. Wangi tubuhnya tercium manis berbaur dengan stroberi yang baru saja mereka gigit sec
Arley membeku begitu mendengar apa yang dikatakan oleh Prims. Kedua tangan kekarnya yang saat ini sedang membawa Prims dengan tanpa beban itu terasa kram. Ia tak melakukan apapun selama beberapa detik selain menatap Prims saja.“Aku hamil, test pack-nya garis dua,” sebut Prims sekali lagi. Satu kalimat yang kemudian menyadarkan Arley sehingga ia lalu menurunkan Prims, urung untuk mengangkatnya secara sembarangan setelah mengetahui istrinya sedang mengandung.Prims memandang Arley yang masih tak memberikan reaksinya. Bibirnya masih lurus seperti tombol spasi. Melihat wajahnya yang datar ... Prims ragu prianya itu akan menerima kabar ini dengan senang hati.“K-kenapa kamu diam saja?” Prims meraih kemeja di bagian pinggang Arley, memberinya sedikit tarikan sehingga kepalanya tersentak.“Ya?” tanggapnya. “Kamu bilang apa, Primrose?”“Aku tanya kenapa kamu diam saja?”“Kamu sungguh hamil?”Prims menganggukkan kepalanya terlebih dahulu, “Iya. Aku sudah telat sejak kita pulang bulan madu i
***“Apakah kamu mual?”Tanya dari Arley membuat Prims memalingkan wajah yang semula menunduk di depan closet. Ia melihat Arley yang tampak sudah rapi dengan kemeja lengan panjang dan juga coat yang menggantung di lengan kanannya.“Sedikit saja, Arley,” jawab Prims kemudian menekan flush.“Apakah kamu benar-benar sanggup untuk pergi?” tanya Arley sekali lagi saat Prims berkumur di wastafel kemudian mencuci tangan dan mengeringkannya terlebih dahulu.“Bisa kok.”“Jika kamu tidak bisa, aku akan bilang pada profesor Mashe bahwa kamu sedang tidak enak badan dan tidak bisa hadir memenuhi undangan beliau.”“Tidak apa-apa, sudah mendingan sekarang. Ayo!”Prims tersenyum, lalu melingkarkan tangannya pada lengan Arley setelah prianya itu memastikan Prims benar-benar dalam kondisi yang baik sekarang.Hamil muda, pada trimester pertama, tepat setelah Prims mengetahui kondisinya yang berbadan dua, ia mulai diserang morning sickness. Arley sudah melihatnya mual lebih dari lima kali sejak pagi.Dan
Namun, alih-alih menunjukkan tatapan yang bersahabat seperti yang ia lakukan sebelumnya, Richard justru melemparkan senyum yang tak bisa diartikan. Sejenak, Prims menjumpai sebuah kebencian yang besar dari sepasang netranya sebelum akhirnya teman lamanya itu melangkahkan kakinya meninggalkan parkiran.Prims melihat punggungnya yang berbalut dalam jas warna biru gelap itu lalu menghilang di pintu masuk William Traver Gallery."Apakah kamu melihat yang barusan, Arley?" tanya Prims seraya menoleh pada Arley yang berdiri di sebelah kanannya. Arley mengangguk setuju untuk hal itu, "Iya," jawabnya singkat."Kenapa dia tiba-tiba bersikap seperti itu?" tanya Prims sedikit cemas. Ia tipe yang tidak bisa melihat perubahan sikap seseorang secara signifikan—apalagi pada Richard ia seperti sedang membenci Prims."Mungkin dia sedang tidak enak hati, Sayang," jawab Arley dengan sedikit menunduk, menunjukkan senyumnya mengintip netra Prims yang bersembunyi di balik bulu matanya yang lentik."Aku pi