Part 7
"Mama kenal?" tanya Mariana lagi. Ia melangkah mendekat, membuat Bu Samira tampak tergagap lantas tersenyum."Emhh ya, Mama kenal dia," jawab Bu Samira. "Dia pembantu di rumah Mama dulu," sambungnya lagi sambil tertawa kecil.Aku menoleh ke arahnya, hatiku seakan tercubit dengan perkataannya itu. Jadi dia hanya menganggapku sebagai pembantu.“Kamu harus hati-hati, Sayang. Dia pembantu tapi tidak jujur. Maka dari itu dulu mama memecatnya. Makanya mama sangat terkejut, saat dia ada di sini. Awas saja, barang-barang kalian, takutnya ada yang hilang. Terlebih kamu, kamu harus lebih hati-hati.”“Oh ya? Jadi dia pencuri?” Mata Mariana membulat lalu menatapku tajam. “Kau pencuri?” tanyanya lagi penuh selidik.“Tidak, Nyonya. Saya berani bersumpah, saya bukan pencuri. Bu Samira berbohong, saya itu is—““Sekalinya pencuri tetaplah pencuri, pasti dia tidak akan mau ngaku ‘kan? Kamu pasti lebih percaya Mama kan dari pada si pembantu ini?” sela Bu Samira. Ah, dia tega sekali memfitnahku dengan kebohongannya.“Tentu dong, aku lebih percaya sama Mama dari pada dia.”“Makanya lebih baik dia dipecat saja, dari pada bikin masalah. Mama sih hanya memperingatkan ini saja sih, sebelum semuanya terjadi.”Mereka berdua menatapku tajam.“Sekarang sih mungkin masih belom ketahuan belangnya, tapi lihat deh ke depannya, pasti akan ada barang yang hilang satu per satu,” ujar Bu Samira lagi memojokkanku.“Aku akan bilang ini ke Om Putra biar dia dipecat.”“Kenapa harus bilang ke Om kamu? Tinggal pecat aja sekarang sebelum terlambat—““Soalnya dia pengasuh Alvaro, Ma. Aku gak ada hak untuk memecatnya, Mama tau sendiri Om Putra seperti apa. Tapi, aku gak nyangka loh penampilannya polos tapi ternyata maling.”“Tentu saja biar gak ketahuan.”“Pantas saja, Ma, dia lihat Mas Jaya kayak orang yang sudah kenal lama, jadi ternyata—“Aku menunduk, tak kuasa menahan hinaan mereka. Kenapa rasanya sakit sekali.“Sudah saya bilang, Nyonya, saya bukan pencuri. Saya melamar kerja di sini sebagai pembantu. Hanya itu saja, tidak ada niatan lain.”“Ehem! Ada apa ini?”Kami semua menoleh ke sumber suara. Tampak Tuan Besar Mahesa memandangi kami dengan tatapan penuh tanya.“Kakek, kebetulan kakek datang. Kata Mama, dia ini bekas pembantu di rumahnya,” tutur Mariana dengan nada suara yang manja.“Ya, terus apa yang salah dengan itu?”“Dia kedapatan mencuri, Kek. Makanya dia dipecat sama Mama. Jadi Ana rasa, pecat saja dia, Kek. Lagi pula dia kan baru beberapa hari di sini. Dari pada barang-barang kita ada yang hilang ‘kan?”Tuan besar Mahesa terdiam beberapa saat.“Maaf Tuan besar, saya berani bersumpah, saya bukan pencuri. Yang dikatakan Bu Samira hanya kebohongan belaka. Saya, saya—““Kakek, jangan percaya sama dia! Dia pandai sekali bersilat lidah.”Tuan Mahesa mengangkat tangannya agar Mariana berhenti bicara. Lalu dia menatapku. “Kamu tadi ingin bicara apa?”“Maaf Tuan, sebenarnya saya—““Papa! Walaah, ternyata kalian berkumpul di sini,” seru Nyonya Reni yang tida-tiba datang. “Ya sudah, ayo kita makan malam bersama, yang lain udah pada nunggu tuh! Ayo Pa,” tukas Nyonya Reni.Wanita itu langsung menggamit lengan Tuan Mahesa dan beranjak pergi, disusul Mariana.“Ma, ayo!” seru Mariana pada sang ibu mertua.“Iya, duluan saja, Sayang. Mama mau ke toilet sebentar,” jawab Bu Samira.Dia mendekat ke arahku. “Jangan katakan apapun, tentang siapa dirimu sebenarnya, atau keluargamu tidak akan selamat. Aku tidak main-main dengan ucapanku, Hana,” bisiknya mengancamku.Secepat kilat wanita kaya dan sombong itu pergi meninggalkanku. Aku membuang napas gusar. Dari dulu ia memang tak pernah menyukaiku. Kenapa aku tak sadar diri dari awal. Harusnya aku tak perlu masuk ke dalam hidup Mas Bambang.“Hana, kamu malah bengong di sini! Ayo kamu antarkan makanan ke kamar Tuan Putra!”Aku terkesiap mendengar suaranya. Rupanya Bik Rasni datang dengan wajah masam. “Maaf, Mbak. Tuan Putra sudah pulang?”“Iya, dan dia minta kamu untuk mengantarkan makanan ke kamarnya.”Aku mengangguk, mengekori langkah Bik Rasni menuju ke dapur. Baki berisi piring nasi, lauk serta sayurnya sudah ada di atasnya beserta sendok garpu juga tissue, lalu segelas air putih hangat.“Antarkan ini ke kamar Tuan Putra, dan pastikan dia makan lebih dulu karena dia punya asam lambung, jadi makan harus teratur.”“Baik, Mbak.”“Ingat jangan lama-lama di sana. Tuan Putra tidak senang ada orang asing yang masuk kamarnya terlalu lama.”“Baik, Mbak.”Aku bergegas menuju ke kamar Tuan Putra di lantai dua, tentu saja melewati meja makan. Keluarga besar itu tengah makan bersama dengan lahapnya.Kuketuk pintu kamar Tuan Putra berkali-kali. Tapi tak ada sahutan apapun dari dalam. “Permisi, Tuan Putra, saya Hana ingin mengantarkan makanan,” ujarku dengan nada setengah berteriak.Hening, tak ada sahutan. Apa Tuan Putra gak ada di dalam?“Permisi, Tuan. Saya Hana, ingin mengantarkan makan malam,” teriakku lagi. Menunggu satu menit dua menit, tapi tak ada sahutan dari dalam. Apakah Tuan Putra sudah tidur? Aku mencoba memutar handle pintu ternyata tidak dikunci. Melangkah masuk dengan pelan, memperhatikan kamar Tuan Putra yang luas dan tampak begitu rapi. Aku mencari sosoknya tapi tak ada, hanya terdengar suara gemericik di kamar mandi.Kuletakkan makanan itu di atas meja. Aku terkesiap kaget saat pria itu tiba-tiba ada di sampingku. Ia hanya memakai celana training panjang dan bertelanjang dada. Rambutnya basah, masih terdapat bulir-bulir air, sisanya mandi. Aku tertegun sejenak saat mata kami bersirobok.Aku langsung menunduk dan mundur perlahan. Degup jantung terasa tak beraturan.“Maaf Tuan kalau saya lancang, saya hanya ingin mengantarkan makanan ini dan memastikan Tuan makan malam,” ucapku sedikit gugup.“Ya, terima kasih. Kamu boleh pergi, Hana.”“Ba-baik, Tuan.” Aku berbalik dan melangkah meninggalkan kamar. Sebelum sampai di pintu, dia justru mencegahku.“Tunggu, Hana.”“Ya, Tuan?” Aku berbalik, lelaki itu justru mendekat.“Bagaimana dengan Alvaro hari ini?”Aku tersenyum lalu menceritakan kebersamaanku dengan anak itu. Lelaki itu menyimak ucapanku.“ ... sekarang Alvaro sudah tidur, Tuan. Alvaro itu anak yang lucu dan menggemaskan. Sebenarnya dia tidak nakal, hanya butuh perhatian saja.”Tuan Putra tersenyum. Eh tunggu, baru kali ini kulihat dia tersenyum. Selama ini dia hanya menampakkan ekspresinya yang datar juga dingin.“Maaf Om Putra, ada yang ingin saya tanyakan mengenai pekerjaan di kan—“Lelaki itu nyelonong masuk tanpa permisi. Mulutnya membulat saat melihatku ada di sini. Dia lantas menatapku tajam.“Hana, kau kenapa ada di sini? Kau berusaha menggoda majikanmu sendiri ya?” pungkasnya dengan tatapan mengintimidasiku.Astaghfirullah, kenapa aku selalu dalam posisi tak mengenakan seperti ini. Tadi ibunya membeberkan fitnah kebohongan, dan sekarang anaknya?“Maaf Tuan, saya permisi dulu.” Tak ingin terjebak lebih lama, aku segera keluar dari kamar majikanku. Namun entah kenapa Mas Bambang justru mengejarku.“Hana, kuperingatkan kau, jangan cari muka di sini apalagi berusaha menggoda majikanmu sendiri atau—“Part 8“Hana, kuperingatkan kau, jangan cari muka di sini apalagi berusaha menggoda majikanmu sendiri atau—“"Atau apa, Mas? Lebih baik kamu tidak usah pedulikan aku lagi. Anggap saja kita tidak saling mengenal satu sama lain di sini. Apa kau tidak takut sikapmu ini ketahuan istri barumu?" Kukibaskan cekalan tangannya dengan kasar.Dia terhenyak dan menatapku beberapa jeda. Sorot matanya sangat berbeda, tak nampak kehangatan seperti dulu lagi. Dia bukanlah Bambang Wijaya yang pernah kukenal dulu.Aku tersenyum masam, lantas melirik ke arah kamar Tuan Putra. Rupanya pria itu tengah memperhatikan kami dengan tatapan bertanya-tanya.Gegas aku pergi dari sana, tak ingin terjadi salah paham apapun lagi. Terlalu sakit hati ini bila terus mendapatkan penghinaan oleh orang-orang kaya.Aku kembali melewati mereka semua. Tatapan Bu Samira padaku begitu tajam hingga membuatku bergidik.***Rutinitasku sehari-hari seperti biasanya, mengasuh Alvaro, dari mulai memandikan, menyuapinya makan, lalu
Part 9"Hah?""Kenapa bengong?""Eh, i-iya, Tuan. Saya akan buatkan kopi.""Kopi hitam ya, jangan terlalu manis.""Baik, Tuan."Aku segera beranjak keluar dari ruang kerja majikanku. Aneh sekali, katanya mau dihukum, ternyata cuma disuruh bikin kopi?Gegas aku menuju ke dapur, menyiapkan cangkir dan tatakannya. Dua sendok kopi, dan satu sendok gula pasir lalu kutuangkan air panas dari termos. Tidak terlalu manis sesuai permintaannya."Hana, kamu buat kopi buat siapa?" tanya Isna."Tuan Putra.""Tumben Tuan Putra minta dibikinin kopi."Aku hanya mengendikkan bahu. "Tapi kata Mbak Rasni, Tuan Putra gak boleh kebanyakan minum kopi, karena punya sakit lambung."Aku mengangguk. "Isna, kamu tahu gak kenapa semua anak-anak Tuan Mahesa pada kumpul di sini? Padahal sudah pada berkeluarga. Kenapa gak misah gitu?" tanyaku penasaran. Ya memang sih, rumah ini sangat besar jadi muat menampung mereka."Kenapa nanya gitu?""Ya cuma pengin tau aja, Isna. Biasanya kan orang udah berkeluarga pada misah
Part 10Aku mengangguk dan masuk ke ruang kerja Tuan Putra. Sebelumnya kudengar Mariana melangkah pergi dengan menghentakkan kakinya seraya menggerutu.“Ya, Tuan?”“Saya ingin memasukkan Alvaro ke PAUD tahun ini, apa kau bersedia mengantar dan menungguinya selama jam pelajaran berlangsung?”“I-iya, Tuan.”“Bagus. Kalau begitu kau list semua kebutuhannya untuk sekolah nanti, lalu berikan pada saya.”“Baik, Tuan.”“Jangan sampai seperti tahun kemarin, saya tidak ingin kegagalan terulang lagi.”“Maaf, maksudnya gimana, Tuan?”“Alvaro gagal bersekolah tahun lalu.” “Baik, Tuan, saya akan berusaha dengan sebaik mungkin untuk menjaga Den Alvaro.”“Ya, sudah, kau boleh pergi.”Aku mengangguk.“Maaf Tuan ...”“Ya, ada apa, Hana?”“Soal guci yang pecah itu apa nantinya akan dipotong dari gaji?”“Oh, kamu masih memikirkan hal itu?”“I-iya, Tuan. Saya merasa bersalah."“Tidak. Kau jangan khawatir, gajimu tetap utuh.”"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Tuan."Senyumku mengembang mendengar jawab
Part 11“Aku akan laporkan hal ini ke kakek. Beliau pasti shock, ada wanita yang dekat dengan anaknya tapi cuma seorang pembantu!”Setelah mengatakan hal itu, Mariana langsung pergi. Aku segera bangkit. “Tuan maafkan saya, gara-gara saya, Tuan jadi kena masalah.”Aku langsung mengejar Mariana. “Nyonya, tolong jangan laporkan hal ini pada Tuan Besar. Saya yang salah.”“Ya, memang kamu yang salah, harusnya kamu tahu diri!” tandas Mariana seraya tersenyum sinis.“Nyonya--"“Sudah, biarkan saja, Hana. Terserah kamu mau laporkan ini ke siapapun, aku tak peduli!” Tuan Putra datang menghampiri. Mata lentik Mariana makin melebar mendengar ucapan pamannya. Ia lantas pergi seraya menarik tangan Mas Bambang.“Tapi, Tuan—““Duduklah kembali dan habiskan makananmu.”Aku tertunduk dan hanya menunduk. Alvaro menatapku bingung. “Mommy kenapa?”“Gak apa-apa, Sayang,” jawabku seraya tersenyum.Tuan Putra kembali duduk di hadapanku. “Kenapa diam saja? Ayo dimakan, jangan cuma dilihatin terus.”“Tuan—“
Part 12Tanpa sengaja, Bambang melihat kedakatan mereka berdua di dapur. Putra dan Hana, semakin hari semakin akrab saja. Ditambah si Alvaro yang memanggil Hana mommy. Memang benar-benar aneh. Putra, paman istrinya sekaligus bosnya di kantor terlihat lebih santai ketika bersama mantan istrinya itu. Tak seperti perangainya di kantor yang kaku dan dingin, serta keras kepala.Dadanya bergemuruh, terasa panas dan cemburu. Meski Hana hanya mantan istrinya tapi perasaan cinta itu belum pudar. Ia terpaksa menceraikan Hana karena permintaan orang tua. Ia pun terpaksa menikahi Mariana atas perjodohan itu, pernikahan bisnis agar bisnis ayahnya makin berkembang.Beberapa bulan yang lalu ...“Pulanglah dulu, Bambang, Papamu sakit,” ucap Bu Samira di seberang telepon. Bambang melirik arloji yang melingkar di tangan, waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB. “Tapi aku masih bekerja, Ma,” jawab Bambang.“Jadi kau lebih memilih pekerjaan dari pada papamu? Kau sudah lama tidak berkunjung kesini sejak men
Part 13"Asalkan apa, Tuan?" Tok tok tok ... Tetiba terdengar suara ketukan pintu. Tak lama Mariana masuk ke dalam."Om Putra?! Masih belum selesai juga? Itu ada Tante Sasya nungguin di ruang tamu!" seru Mariana. Ia melirik ke arahku dengan tatapan sinis."Mau apa dia datang? Bilang saja aku sedang sibuk.""Itu tidak mungkin, Om. Kayak gak tahu tante aja.""Oh iya, Hana, kamu boleh pergi!" pungkas Tuan Putra lagi. "Baik, Tuan, saya permisi."Aku keluar dari ruang kerja Tuan Putra. Terdengar suara langkah kaki mendekat."Eh, eh tunggu Hana! Buatkan minuman untuk tamu spesial yang datang hari ini!" "Baik, Nyonya." "Dia adalah mamanya Alvaro. Di sini biar kamu sadar diri, kamu itu tidak selevel dengan Om Putra!" bisiknya penuh penekanan, lalu pergi begitu saja.Aku menghela napas. Segera menuju ke dapur, membuatkan minuman untuk tamu. Di ruang tamu kulihat wanita cantik yang tempo hari bertemu di mall. Ia sedang berbincang dan tertawa dengan Mariana."Silakan diminum tehnya, Nyonya.
Part 14"I-iya, baik, Tuan. Den Alvaro bagaimana?""Kamu berapa hari di kampung?""Maaf Tuan, kalau saya izin dua hari apakah boleh?""Ya, tentu."Aku merasa sangat senang, ternyata majikanku yang satu ini sangatlah baik, berbeda dengan yang lainnya, mereka tak menyukaiku di sini. Entahlah ..."Kalau begitu, Alvaro diajak. Saya gak percaya dengan orang rumah.""Baik, saya akan siapkan Den Alvaro juga.""Saya akan menginap juga dua hari.""Hah? Menginap?" Sungguh aku tak percaya ucapannya. Masa sih Tuan Putra ingin menginap? "Ya, kenapa? Ada yang salah?""Ti-tidak, tapi--""Hal yang wajar bukan, seorang majikan silaturahmi pada pembantunya? Apalagi keluargamu sedang terkena musibah.""I-iya sih, tapi saya takut mengecewakan Tuan.""Kenapa?""Rumah saya kecil dan jelek, Tuan. Saya takut Tuan dan Den Alvaro tidak kerasan di sana. Karena gak ada springbed ataupun AC.""Kau tenang saja, saya bisa pesan hotel.""Tapi--""Hana, saya ini bermaksud baik lho, tapi secara halus kamu menolak say
Terlihat Tuan Putra dan Nyonya Reni berdebat sejenak."Mbak gak habis pikir, kok bisa-bisanya kamu mau nganterin pembantu pulang kampung. Dia itu digaji buat bekerja sama kita, bukan malah sebaliknya. Kamu sudah gak punya otak ya, Putra?!""Sudahlah, Mbak, jangan ikut campur dengan urusanku.""Tapi dia kan cuma pembantu, kita itu tidak boleh seperti ini nanti lama-lama pembantu itu ngelunjak.""Mbak, jangan nilai seseorang hanya dengan strata sosialnya. Sudah cukup, saya tidak ingin mendengar sanggahan apapun lagi!" Tuan Putra menoleh ke arahku yang tak sengaja mencuri dengar perdebatan dengan Nyonya Reni."Hana, cepat masuk mobil."Aku mengangguk ragu. "Maaf, permisi dulu, Nyonya.""Oh ya, Mbak, bilang ke ayah, aku gak pulang tiga hari. Tidak usah dicari," ujar Tuan Putra penuh penekanan."Hah? Kamu?"Aku masuk ke dalam mobil, duduk memangku Alvaro. Secepat kilat kaca jendela mobil ditutup oleh Tuan Putra. Nyonya Reni tampak kesal sekali, terutama mungkin padaku. Ia pun segera mela