Share

Ibu Hamil Jangan Banyak Pikiran

Hanna menggeleng tegas. “Nggak! Aku udah nggak mau ketemu sama dia lagi. Dan dia juga nggak tahu kalau aku lagi hamil,” ucapnya mantap.

Sagara mengangguk mengerti, namun ekspresinya memperlihatkan sedikit kebingungan. “Aku pikir Raffael lari dari tanggung jawab. Ternyata, kamu belum memberi tahu dia. Kalau begitu, kamu tidak perlu memberi tahu dia. Aku mau mandi dulu.”

Dengan sedikit kebingungan, Sagara masuk ke dalam kamar mandi setelah mengusap pucuk rambut Hanna.

Namun, perempuan itu merasa ada yang tidak beres dengan ucapan Sagara. Ia hanya bisa menatap punggung suaminya yang telah masuk ke dalam kamar mandi, hilang di balik pintu tertutup.

“Kenapa seperti ada yang disembunyikan oleh Sagara dariku? Apa dia kecewa, karena baru tahu kalau aku belum kasih tahu Raffael. Gimana mau kasih tahu. Sedangkan saat aku mau kasih tahu dia, dia lagi melaksanakan ijab kabul,” gumam Hanna dalam hati, merasa kebingungan dengan sikap tiba-tiba Sagara yang menjadi dingin dan enggan membahas hal yang sebenarnya masih sangat panjang untuk dibahas.

Hanna merenung sejenak, membiarkan pikirannya melayang-layang. Tidak ada jawaban yang memuaskan di benaknya. Ia merasa cemas dan tidak nyaman dengan situasi ini, tetapi tidak tahu harus berbuat apa.

Mungkin, saat ini yang bisa dilakukannya adalah menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan semuanya dengan Sagara, dan mencari kejelasan mengenai perasaan suaminya itu.

**

Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Dapur dipenuhi dengan aroma harum dari sayur sop yang sedang disiapkan Hanna untuk makan malam mereka berdua. Namun, pikiran Hanna masih sibuk dengan sikap Sagara yang terasa dingin dan misterius.

“Apa aku ada salah bicara? Kenapa Sagara kayak marah ke aku?” gumam Hanna sambil mengaduk-aduk sayur sop yang tengah dihangatkannya.

“Siapa yang marah?”

Suara tiba-tiba itu membuat Hanna terkejut. Ia segera menoleh dan melihat Sagara berdiri di belakangnya. “Sagara!” serunya, terkejut dengan kedatangan mendadak suaminya.

Sagara tersenyum miring melihat ekspresi terkejut Hanna. “Aku hanya lagi mikir aja. Aku pikir, pacar kamu lari dari tanggung jawab.”

Hanna menatap Sagara dengan raut wajah khawatir. “Kamu nyesel ya, udah menikah sama aku?” tanyanya hati-hati.

Sagara menggeleng pelan. “Nggak. Aku juga yang salah. Jangan dibahas lagi, yaa.”

“Tapi, kamu terlihat marah sama aku, Sagara. Sebenarnya kamu menyesal kan, karena sudah menikahiku?” Hanna mencoba mendekati perasaan yang mungkin dirasakan suaminya.

Sagara mematikan api kompor yang masih menyala, kemudian menatap Hanna dengan tatapan yang dalam. “Apa perlu … kita membahas yang bahkan menurut aku nggak penting?”

“Menurut aku penting, Sagara.”

“Oke, kalau menurut kamu ini penting.” Sagara menghela napasnya panjang. “Aku nggak menyesal sama sekali. Karena pacar kamu itu juga udah menikah. Nggak akan bisa rebut kamu dari aku lagi. Walaupun dia berani merebut kamu, aku nggak akan tinggal diam.”

Hanna kembali terdiam. Ucapan Sagara terdengar serius, namun sikapnya begitu santai. Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya semakin bingung.

‘Pria di depan mataku ini, yang sudah menjadi suamiku … sampai sekarang, aku belum bisa mengartikan arti dari semua yang dia ucapkan. Ada apa dengan Sagara? Siapa dia? Kenapa ucapannya begitu santai?’ pikir Hanna dalam hati, merasa semakin penasaran dengan sisi lain dari suaminya yang belum ia pahami sepenuhnya.

Hanna bertanya dalam hatinya sembari menatap Sagara yang juga menatapnya. “Kamu siapa, Sagara?” tanyanya datar.

Sagara tersenyum lembut mendengar pertanyaan istrinya. “Aku … Sagara, suami kamu. Amnesia? Kenapa tanya seperti itu ke aku, Hanna? What's wrong?” tanyanya dengan nada khawatir.

Hanna menghela napasnya dengan pelan. “Aku lapar, Sagara. Nggak bisa mikir. Makan malam dulu.” Hanna tidak ingin membahas tentang apa yang dia pikirkan mengenai suaminya saat ini.

“Ibu hamil jangan banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Yang perlu kamu tahu, aku nggak menyesal sama sekali menikah dengan kamu. Jangan mikir yang aneh-aneh ya, Hanna.” Sagara berusaha menenangkan istrinya sambil mengambil nasi untuknya. “Selamat makan, ibu hamil.”

Hanna menatap Sagara dengan tatapan aneh. “Kenapa kamu menyinggung aku dengan ucapan seperti itu?” tanyanya, sedikit bingung dengan perkataan suaminya.

Sagara terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-katanya tadi. Meskipun tidak ada niatan buruk di baliknya, ia menyadari bahwa ucapan tersebut bisa terdengar menyakitkan bagi Hanna.

“Selamat makan, Hanna.” Sagara mencoba tersenyum lebar, tetapi tidak ada respon dari Hanna yang tampak kesal padanya. Istrinya terlalu fokus pada makanan yang sudah disiapkan olehnya.

Setelah makan malam selesai, Sagara mengajak Hanna keluar untuk mencari angin segar karena waktu sudah menjelang pukul delapan malam.

“Kamu mau bawa aku ke mana, Sagara?” tanya Hanna begitu mereka masuk ke dalam mobil.

“Aku nggak mau bikin kamu kesal terus sama aku, Hanna. Aku mau ajak kamu keliling taman malam ini. Supaya mood kamu kembali lagi,” jawab Sagara sambil memulai mobilnya.

Sagara memandang mobilnya sejenak, teringat akan kejadian sore tadi. Ia kemudian menoleh kepada Hanna, hendak meminta izin untuk menjual mobilnya dan membeli yang lebih sederhana.

Tiba di taman, keduanya duduk di bangku taman sembari menatap air mancur di depan mereka, mencoba menikmati momen tenang bersama di bawah bintang-bintang yang bersinar di langit malam.

“Hanna?” panggil Sagara kemudian, mencoba memecah keheningan di antara mereka.

Hanna menoleh dengan perlahan pada suaminya. “Ada apa, Sagara? Aku nggak kesel apalagi marah kok,” ujarnya dengan suara lembut, tetapi ada kekhawatiran tersirat di dalamnya.

“Bukan itu yang ingin aku bahas,” ucap Sagara, mencoba menyampaikan pesannya dengan hati-hati.

“Lalu?” tanya Hanna, mencoba mengetahui apa yang ingin dibicarakan suaminya.

Sagara menghela napasnya dengan pelan. “Aku … mau jual mobilku. Lumayan juga, buat nambah-nambah tabungan untuk biaya lahiran kamu nanti,” ucapnya akhirnya, menyampaikan niatnya dengan jujur.

Hanna terkesiap mendengar ucapan suaminya itu. Matanya melirik ke arah mobil sport berwarna hitam mengkilap di belakangnya. “Kamu nggak sayang, sama mobil itu? Katanya itu mobil hadiah ulang tahun dari papa kamu,” ujarnya dengan nada sedih.

“Kita bisa beli lagi kalau aku udah bisa punya segalanya seperti dulu lagi, Hanna. Lagi pula, terlalu mewah jika aku bawa ke kantor. Sedangkan seragamku seragam OB,” jelaskan Sagara, mencoba memberikan alasan di balik keputusannya.

Hanna menundukkan kepalanya, merasa bingung dan sedih. Tak tahu lagi apa yang harus dia katakan kepada suaminya itu. Perasaan bersalah dan kekhawatiran bercampur aduk di dalam hatinya.

“Hanna. Kamu nggak perlu merasa bersalah terus menerus seperti ini—“ Sagara mencoba menenangkan istrinya.

“Jangan jual mobil kamu itu, Sagara. Aku gak mau, semua yang kamu punya harus hilang hanya karena ‘tanggung jawab.’ Kamu bisa pakai mobil aku. Mobil kamu disimpan aja di garasi. Nggak usah dijual,” ujar Hanna tiba-tiba, berusaha menawarkan solusi agar Sagara tidak perlu mengorbankan apa pun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status