Ailyn bersiap mengenakan pakaian terbaik. Malam ini ada acara penghargaan bergengsi yang akan dihadiri.
Dengan balutan gaun indah berwarna hitam dan dilengkapi anting panjang hadiah dari Karan semalam. Sungguh, Karan sampai tak berkedip menatap kecantikannya saat ini.“Kenapa menatapku begitu? Ada yang aneh, ya?” Ailyn berputar, memeriksa tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang dikucir kuda membuat lehernya lebih terlihat.“Kita tidak usah pergi sajalah.” Karan menggaruk kepala. Melihat istrinya saat ini malah membuatnya merasa berhasrat.Tarikan napas terdengar bersamaan dengan Ailyn berkacak pinggang. Suaminya malah berdecak, menggelengkan kepalanya.“Mana boleh begitu, Karan? Ini kesempatan emas untukku. Siapa tahu nanti aku menang penghargaan.”Diambilnya tas tangan yang berada di atas kasur, lantas menarik tangan Karan agar keluar dari kamar. Berlama-lama di sana malah akan membuat Karan membujuknya untuk tak pergiYunita menemui Farel yang ternyata bersiap untuk menemui Alex. “Mama tidak usah ikut. Kalau Alex ingat Mama sudah mengunci Kiran di dalam lemari, habislah kita,” ujar Farel. Yunita berdecak, memukul kepala anaknya cukup keras dengan tas. “Masa iya, Mama akan menunggu di sini?” Yunita memutar bola matanya, kesal. Di rumah tadi dirinya tak diajak, sekarang Farel juga melarangnya ikut. Semua orang seolah-olah tak menginginkan keberadaannya. “Farel pergi dulu. Kenapa Mama tidak nonton saja? Acara penghargaan itu disiarkan langsung, kan?” Farel mengambil remot dan menyerahkannya pada sang mama. Yunita bergeming, membetulkan posisi tas di lengannya. Tangan itu malas mengambil remot yang Farel berikan.Akan menyebalkan kalau seorang Yunita malah menonton acara menantu yang ingin sekali dihancurkan. Demikian yang ada dalam pikiran Yunita. “Ayolah, Ma.” Farel memaksa Yunita untuk mengambil remot itu. Sayang, Yunita tetap bersike
Ailyn merasa ada yang tidak beres dengan suaminya. Sejak semalam, Karan seolah merahasiakan sesuatu darinya. “Sayang, kau baik-baik saja?” Ailyn mengambil handuk untuk mengeringkan rambut Karan yang baru keluar dari kamar mandi. “Ya, aku baik-baik saja. Memang kenapa?” Karan balik bertanya, duduk di sofa. Dibiarkannya Ailyn mengeringkan rambut itu dengan gerakan perlahan. “Aku merasa kau menutupi sesuatu. Apa kau tidak senang aku berhasil meraih penghargaan? Atau kau tak suka nanti aku akan menemui desainer itu?” Karan tersenyum. ‘Andai kau tahu, Ayah tiriku bertingkah lagi,' batin Karan. Ingin sekali ia memberi tahu apa yang dilihatnya dalam video itu. Pantas saja hari itu Ailyn buru-buru mengajak pulang dengan alasan pusing. Karan menghela napas saat sang istri mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. “Mau kutemani nanti?” tanyanya. Membuang semua pikiran-pikiran yang bersarang dalam benaknya bukanlah hal mudah.
Karan tengah mengadakan rapat. Rencananya hari ini dia akan menyelesaikan beberapa berkas, lalu bersiap untuk ikut ke Prancis. Tak akan mungkin baginya membiarkan Ailyn tanpa pengawasannya. “Kita bisa minta Tuan Bima untuk mengirim beberapa orang yang akan mengawasi proyek. Dana proyek itu kan sudah kita terima.” Karan memeriksa laporan keuangan. “Kemarin ada dari PT Sanjaya datang. Katanya sih, mereka ingin merelakan lahannya di daerah Elite Street untuk kita gunakan sebagai lahan proyek baru.” Seorang pria bicara. Pandangannya tertuju pada berkas di meja. Sembari membetulkan posisi kacamata, pria itu tampak sangat serius memeriksa detail. “Kenapa? Atas dasar apa perwakilan PT Sanjaya memberikan lahan dari daerah yang banyak diincar?” Karan menandatangani berkas, lalu menyerahkannya kepada Jovan. “Sebagai permintaan maaf karena kesalahan Krisnha. Mereka juga menghubungi saya untuk membicarakan ini dengan Tuan,” kata Jovan.
“Kiran sayang Papa, kan? Beri Papa kesempatan untuk menebus kesalahan, ya?” Alex merenung tepat pada mata sang anak. “Sungguh?” Kiran yang masih kecil tentu mudah dipengaruhi. Ia menatap wajah Alex dengan penuh kesedihan. Walau bagaimanapun, Alex adalah sosok seorang papa baginya. “Ya. Papa janji. Ambillah boneka ini. Kalau Kiran setuju, kita pulang sekarang.” Alex menyerahkan boneka pada anaknya yang menerima dengan ekspresi ragu-ragu. Pelayan muncul membawa nampan berisi minuman. Diletakkannya cangkir di atas meja tepat di depan Alex. “Silakan diminum,” ujar Yunita, memerlihatkan senyuman. ‘Aneh. Kenapa dia jadi bersikap baik pada pria ini?’ batin Ailyn, merasa ada yang mencurigakan dari sikap Yunita. Alex langsung meminumnya seperti tak merasakan panas, padahal asap tampak saat cangkir itu diangkat. “Kalau Kakak mengizinkan, Kiran akan ikut Papa,” kata Kiran, memainkan tangan boneka beruang berwarna coke
Karan dan Ailyn bersiap pergi ke peragaan busana. Keduanya tampak berbincang sembari memasuki aula yang sudah dipenuhi beberapa orang. “Ailyn!” Adolf melambaikan tangan mendekati begitu melihat Ailyn datang. Wanita itu membalas lambaian tangan dengan senyuman. “Ayo, kita ke sana. Acara akan segera dimulai,” ajak Adolf. Ailyn dan Liodra berpandangan, lalu mengikuti Adolf, sementara asisten Liodra bersama Karan dan Jovan. Ketiganya menuju ke ruangan yang dijaga ketat oleh beberapa pengawal. Bahkan saking ketatnya, untuk masuk saja harus melalui detektor untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. “Wait!” Hadid berlari sambil membawa gaun beserta gantungan baju. Pria itu berpakaian cukup rapi mendekati Ailyn. “Ayo,” katanya, mendahului. “So sorry, but you can’t .... “ Adolf menggerakkan leher pertanda Hadid dilarang masuk. “Aku managernya, aku managernya.” Hadid sampai mengulang. “Aku tahu, tapi ruangan it
“Emm!” Ailyn menginjak kaki Alex dengan high heel hingga pria itu melepaskannya. Alex menyeringai, tampak menakutkan. “Jangan mendekat! Aku akan benar-benar berteriak!” Ailyn mundur, berusaha mencari sesuatu yang bisa dijadikan alat pertahanan diri. Namun, ia tak menemukan apa pun. Hanya ada peralatan make up di ruangan itu yang memang karena dikhususkan untuk para model berdandan. “Tenang, Sayang. Kenapa kau harus agresif? Aku kan hanya ingin bertemu. Kau tidak mau berterima kasih padaku?” Alex melonggarkan dasi. “Kenapa aku harus berterima kasih? Tanpa bantuanmu pun, aku akan bisa menjadi model internasional,” bela Ailyn. Alex manggut-manggut. “Memang benar. Saat aku mendapat bocoran kalau kau yang menang, aku langsung menghubungi Adolf. Ternyata dia tertarik.” Alex menceritakan bahwa dia merekomendasikan Ailyn sebagai salah satu model di fashion show itu. Bahkan Adolf yang melihat bagaimana cara Ailyn tampil langsu
Alex yang menyadari diikuti Karan, langsung bersembunyi di ruang ganti para model. Pria itu mengirim pesan pada Lusi agar menunggu di parkiran. Tampak Karan mencari ke beberapa sisi sebab yakin melihat ayah tirinya di tempat yang sama. “Ke mana dia?” Karan mengusap dagu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri berada di dalam kantong celana. “Karan! Kenapa kau mendadak keluar? Acaranya belum selesai.” Hadid memeriksa arloji yang sudah menunjuk angka 23.22. “Aku yakin melihat Om Alex.” Karan memeriksa dengan teliti. Tak ada siapa pun di sana. Hanya beberapa orang keluar-masuk beserta para penjaga yang berseliweran. “Barangkali kau salah lihat. Ayo, Ailyn pasti menunggu. Huaaaaiii. Aku ngantuk sekali.” Hadid menguap panjang, lantas kembali memasuki aula. Karan hanya berdecak. Kalaulah dugaannya benar, pasti terjadi sesuatu tanpa sepengetahuannya. Sial! Karan meninju pasak, lalu mengikuti Hadid. Lusi yang be
Bella berdiri sambil menatap arloji. Sudah satu jam lebih ia berdiri di sisi gerbang K2 Company bagian samping. Sudah lama ia mengincar seseorang, dan sekarang harus terlaksana. Ada dendam yang belum selesai dan menuntut untuk dituntaskan. “CK! Lama sekali!” Tak sabar rasanya ingin bertemu. Sesekali ia menoleh ke arah perusahaan besar itu. Perusahaan yang sempat ia dengar akan membangun perhotelan. Saat masih menunggu, terlihat sebuah mobil hitam keluar dari gerbang yang terbuka otomatis. “Itu dia!” Bella merapikan rambut, langsung mendekat. “Tuan, berhenti!” cegatnya, berdiri di depan mobil. Perlahan mobil berhenti dan kacanya diturunkan. Tampak Kusuma mengernyitkan dahi. Sudah lama ia tak melihat Bella. Tepatnya sejak dipecat. “Kau mau apa?” tanyanya saat Bella mendekat. Wanita itu malah membuka pintu mobil dan masuk tanpa permisi. “Lancang!” Kusuma tampak kesal. “Tuan, ada yang perlu saya bicarakan. Ini masala