“Kalian kok bisa kenal pemilik doggy tadi?” tanya Cantika pada Byana yang duduk melipat kaki ke belakang di sebelahnya.
Mereka ada di kamar Bianca dan Byana, sibuk membereskan buku pelajaran untuk besok. Sore tadi Cantika tidak sempat bertanya karena Byana dan Bianca harus mandi, makan malam bersama maminya, lalu mengerjakan PR.
“Kan Byan pernah main sama doggynyaa,” jawab Byan dengan mimik dan nada lucu nan polos.
“Kenapa kamu manggil dia ‘Kak'? Dia jauh lebih tua. Kayaknya lebih cocok dipanggil Om sama kamu.”
“Katanya panggil Kak Ben aja. Kak Ben itu orangnya baiikk, deh. Udah gitu ganteng kayak artis.”
Cantika kontan ternganga.
Demi krabby patty, anak sekecil Byana saja bisa bilang dia ganteng?? Tahu dari mana dia? Siapa yang bilang begitu ke Byana yang polos??
“Kata siapa Om itu ganteng?” tanya Cantika memastikan. Dirinya tergelitik untuk mencari tahu.
“Emang ganteng kok, Kak!” Tiba-tiba Caca yang sedang memasukkan buku pelajaran ke tas sekolah ikut dalam obrolan. “Mirip pemeran Guardians of The Galaxy, versi mudanya.”
“Byan mau married sama laki-laki kayak Kak Ben kalau sudah besar,” ucap Byana sambil mesem-mesem imut.
“Kamu masih kecil, tau! Yang married duluan ya, aku!” Seketika mulai lagi perdebatan keduanya. Tiada hari tanpa bertengkar. Apalagi Bianca dan Brian, kalau sudah bertengkar bisa saling jambak dan tabok-tabokan. Kadang Cantika sampai kewalahan melerai mereka.
Tapi bukan itu masalahnya. Memang dua bocah perempuan ini paham apa itu married? Apa itu menikah?
“Kalian memang tau, married itu apa?” Sepasang alis Cantika bertaut penasaran.
“Tau dong, Kak!” sahut Bianca yakin. Anak itu tampaknya sudah selesai merapikan buku. Dia berdiri di depan Cantika dan menjawab, “Kayak Papi sama Mami. Habis pesta pernikahan, hidup bersama, tinggal bersama, terus punya anak!”
‘Ya Tuhan ... Ya Gusti ... Ya Lord ...’
Cantika jadi sakit kepala memikirkan anak-anak yang sudah berpikir dewasa sebelum waktunya. Waktu seumuran Bianca dulu, dia saja belum benar-benar mengerti apa itu pacaran. Hebat benar Bianca bisa tahu sampai soal punya anak. Mungkin kedengaran lucu kalau anak-anak yang polos punya impian seperti ini.
Jika calon suami impiannya aktor, penyanyi, atau teman sebaya, mungkin Cantika hanya akan menanggapinya sambil bergurau. Tapi ini Ben, loh! Ben! Pria mesum, sinting, sosiopat, predator maniak yang tertangkap melepaskan hasrat di dalam roda empatnya.
‘Wahai adik-adikku yang polos, jangan sampai muka ganteng pria bernama Ben itu meracuni pikiran kalian yang masih suci seperti kertas putih.’ Cantika membatin prihatin.
“Oh iya, Kak Can!” Bianca meraih tangannya seraya mengayun-ayunkan kedua tangan Cantika.
“Kenapa, Sayang?”
“Besok kita mau main ke T*mezone sama teman-teman sebelum les, Kak Brian juga. Tapi harus ditemenin Kak Can biar diizinin Mami. Kak Can ikut yaaa?”
“Hmm ... gimana yaa?” Cantika pura-pura berpikir.
“Ayo dong, Kak, sebentaar ajaaa.”
“Hmm ...” Kembali Cantika bergumam. Matanya melirik ke arah lain sambil tersenyum. “Oke, deh!” Serunya kemudian. Membuat cengiran lebar terbentuk di bibir Bianca sebelum dia dan Byana menjerit kegirangan.
***
Theo memandang lelaki di sebelahnya dengan kening berkerut. Sudah sejak dia datang tadi, Ben melamun dengan mulut mencebik dan bertingkah aneh. Berjalan sambil menyandarkan kepala dan sebelah sisi tubuhnya ke dinding, seperti orang yang tidak memiliki tulang.
“Kenapa lo?” Theo memilih mengambil sendiri minuman dari dalam lemari es ketimbang menunggu Ben yang bergerak mengambilkannya.
Terlalu lambat.
Kalau menunggu Ben yang sedang dalam mode gerak seperti siput begitu, Theo keburu dehidrasi. Satu jam mengalami macet-macetan di jalan usai bertemu klien membuatnya kehausan tanpa air di mobil.
“Baru kali ini,” gumam Ben dengan raut ditekuk. Bersandar miring pada lemari kabinet dapur di sebelahnya.
Theo membuka lemari es, mengambil dua kaleng soda dari sana. “Apa?” Diletakkannya satu kaleng di atas pantry, sedang yang satu lagi masih dipegangnya.
“Baru kali ini ada yang bilang begitu.”
Sembari menarik penutup kaleng yang ada dalam genggaman, Theo bertanya datar, “Bilang apa?”
“Katanya punya gue nggak ada apa-apanya, ulet keket.”
Minuman soda yang baru saja diteguk Theo segera menyembur keluar dari mulut. Pria yang merupakan sahabat Ben itu tidak bisa menahan untuk tidak terbahak. Terlalu geli sampai rasanya tertawa saja tak cukup. Saking puasnya Theo tergelak, dia sampai harus memegangi perutnya yang sakit akibat tertawa.
“Dasar jorok! Diam lo!”
Ben tahu, kalau waktu itu dia sedikit kelewatan bercanda. Tapi, hinaan yang didapatnya lebih menyelekit dan berhasil mengacak-acak harga dirinya. Sepanjang sejarah, belum pernah ada perempuan yang mengatakan milik dia tidak ada apa-apanya. Belum pernah! Sama sekali.
“Bahahaha ... ulet keket!” Theo bahkan belum bisa berhenti tertawa saat lanjut bertanya. “Unyu dong? Mini, imut, dan menggemaskan.”
Ben berdecak sebal dan melempar kaleng soda di pantry ke arah Theo—yang langsung ditangkap gesit oleh lelaki itu. Kalau saja Rubic Design Building—usaha yang dirintis mereka—bukan dikelola oleh Theo sekarang, pasti sudah Ben buat babak belur karena berani menertawakannya.
Ben merupakan Founder, sementara Theo adalah Co-Founder dari Rubic Design Building, perusahaan startup yang bergerak di bidang arsiterktur dan interior. Awalnya Ben tidak sampai kepikiran untuk mendirikan kantor. Mengingat ayahnya adalah Direktur di Asia dari industri furnitur terbesar yang mendunia dan pemilik perusahaan properti di Indonesia, serta kakaknya yang merupakan owner dari perusahaan smart living system, paling-paling Ben hanya berakhir membantu mereka.
Setelah lulus kuliah di London dan kembali ke Indonesia dengan Theo, dia mengajak Theo untuk bekerja sama menawarkan jasa desain arsitektur dan interior. Semuanya dimulai kecil-kecilan, bisa dibilang sebagai pengisi waktu luang.
Namun lambat laun, karena banyaknya permintaan dari para kenalan, mereka tidak sanggup lagi hanya menangani berdua. Ben mulai merekrut pekerja lepas, hingga akhirnya mereka menyewa tempat untuk kantor sendiri, dan terbentuklah Rubic Design Building. Hasilnya? Tentu saja Ben jadi pusing mengurus banyak hal.
“Siapa sih yang bilang? Siapa?” tanya Theo, masih menyisakan tawa.
“Lo ingat klien kita Pak Dany sama Bu Grace?”
“Yang rumahnya dekat sini?” Pertanyaan Theo dijawab Ben dengan anggukan. “Apa hubungannya sama mereka?”
“Cewek yang gue ketemu pagi-pagi itu, anaknya.” Setelah menjeda sebentar kalimatnya, Ben menambahkan, “Dia yang ngatain gue.”
Theo kembali tertawa sekencang-kencangnya, namun tak lama kemudian tawanya segera lenyap. “Tunggu,” katanya, mengacungkan sebelah tangan. “Anaknya Pak Dany yang cewek masih SD, woi! Lo ped*fil dong!”
“Yang paling besar, sialan!”
“Paling besar? Si Brian? Cowok, anjir! Selama ini lo bengkok?!”
“Bukannn, ada kakaknya lagi.”
“Memang ada? Seingat gue anaknya tiga, paling besar cowok, kayaknya masih SMP. Kalau ada kakaknya lagi, berarti lo kepincut anak SMA? Anak Sultan mah, beda seleranya.”
“Nggak, nggak mungkin masih SMA. Body udah jadi gitu, paling nggak udah dua puluhan umurnya. Lagian auranya bukan anak sekolahan.”
“Lah, Pak Dany sama Bu Grace aja rasanya nggak beda jauh sama kakak lo. Masa udah punya anak umur dua puluhan?”
Ben terpaku di tempat, berpikir sejenak dan mengolah semua informasi di kepala. Benar juga. Dany, kliennya, masih terlalu muda untuk punya anak sebesar itu. Bisa jadi dia bukan kakaknya Byana dan Bianca. Lantas, siapa sebenarnya gadis cantik itu?
“Apa saudaranya?” gumam Ben, lebih pada dirinya sendiri.
“Atau pembantu?” celetuk Theo yang langsung membuat Ben meliriknya tajam.
“Masa iya—”
“Jangan salah, banyak asisten rumah tangga sekarang cakep-cakep. Makanya banyak berita suami selingkuh sama ART.”
“Lo kebanyakan baca berita emak-emak kayaknya. Apa kebanyakan baca novel online?”
Masalahnya, gadis yang dilihat Ben itu benar-benar cantik tanpa celah. Kulit putih glowing, tampak terawat. Kalau dibilang model skincare, semua orang pasti akan lebih percaya. Rambutnya bahkan dicat ballayage dengan warna yang tidak terlihat murahan. Ditambah kaus berlabel GU*SS asli yang kenakannya. Penampilan dari atas sampai bawah sebegitu glamor.
Mana mungkin dia seorang ... pengasuh anak?
Suka cerita ini? Beri rating dan tinggalkan komentar kamu ya :)
“Bannya bocor??” Satu tangan Cantika memindahkan ponsel ke telinga sebelahnya. Dia melirik ketiga bocah yang sedang duduk sambil memerhatikannya yang sedang menelepon. “Lama nggak, Pak? ... Ya udah, deh. Tolong kabarin secepatnya, ya? Sebentar lagi ‘kan udah jamnya anak-anak les. ... Oke, makasih, Pak.” Cantika mengembuskan napas panjang setelah memutus sambungan telepon. Dilihatnya jam yang ada sudut atas ponselnya, hampir jam setengah empat. Hari ini waktu kursus Brian, Bianca, dan Byana sama-sama pukul empat sore. Sengaja memilih waktu bersamaan karena masih satu tempat kursus. Dari mal di mana mereka berada butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai ke tempat kursus. Itu pun kalau jalanan tidak padat merayap. Kalau ada kendaraan yang geraknya lambat dan bikin macet, bisa lebih lama lagi. Semoga saja Pak supir bisa menjemput mereka kurang dari lima belas menit. “Kenapa Kak? Bannya bocor?” tanya Brian yang sejak tadi menyimak obrolan Cantika di telepon. Cantika memasukka
Ini sudah yang kedua kalinya Cantika berada di dalam mobil milik Ben. Jujur saja yang pertama dia tidak terlalu ingat dengan mobilnya karena aksi mencengangkan lelaki itu. Dia juga tidak terlalu lama di dalam mobil. Namun kali ini berbeda, karena supir mereka tidak bisa datang menjemput, Cantika terpaksa harus menempuh perjalanan beberapa menit dengannya berduaan. Duduk di sebelahnya dan sadar kalau sesekali lelaki itu meliriknya. Iya, berdua. Brian, Bianca, dan Byana sudah diantar ke tempat les. Cantika tidak mungkin menunggu anak-anak sampai selesai kursus selama satu setengah jam. Jadi, lebih baik dia pulang. Niatnya Cantika mau pulang dengan taksi online, tapi dasar nasib, uang cash di dompet sisa selembar dua puluh ribu dan sepuluh ribuan, uang sakunya di ATM juga sangat menipis. Sehingga keberadaan Ben sejujurnya seperti pertolongan untuknya. Kalau Cantika jadi panggil taksi online tadi, dia harus menunggu kucuran dana lebih dulu untuk ongkos anak-anak. Waktu berangkat, Brian
“Yakin nggak mau makan?” tanya Ben seraya melihat-lihat jajaran kios penjual makanan di area food street. Cantika berjalan mengikutinya tak acuh. “Nggak. Masih kenyang.” “Dessert atau minum?” tawar Ben pada gadis yang masih tampak cemberut. Gadis itu diam sebentar, tampak menimbang-nimbang. “Kenapa? Kakak mau traktir?” tanyanya gamblang. Masalah bayar membayar itu butuh kejelasan, apalagi uang tunai yang dibawanya terbatas. Lagi pula Ben yang mengajaknya, jadi tidak ada salahnya dia bertanya. Ben kemudian mengangguk, tidak terganggu sama sekali dengan pertanyaannya. “Iya, pesan aja.” “Aku mau jus aja kalau gitu.” Setelah berpencar sebentar menuju kios yang menyediakan pesanan mereka, keduanya menempati salah satu meja kosong di sana. Duduk di bawah terpaan angin sore yang masih terasa hangat. Ben memerhatikan gadis berkulit putih di depannya yang sibuk melihat-lihat sekeliling. Rambut panjangnya yang dicat tampak berkilau di bawah matahari. Bulu mata lentik hasil lashlift-nya ma
Ben pulang dengan suasana hati yang baik dan senyum merekah di wajah. Dia kira waktu cutinya ini hanya akan dihabiskan untuk sendirian, melanjutkan pekerjaan lain di rumah, atau ngalor-ngidul tidak jelas. Tetapi ternyata hal menarik ditemukannya sepanjang ia cuti. Kiara, gadis cantik yang masih kuliah, sepuluh tahun lebih muda darinya. Selama mengobrol, bibir penuh bergaris belah dan leher ramping gadis itu tidak luput dari pandangannya. Benar-benar membuatnya bergairah. Gadis itu memang bukan gadis cantik pertama yang dijumpai Ben. Tetapi daya tariknya amat kuat. Ben menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia membuka aplikasi media sosial dan mengetik nama Kiara pada kolom pencarian. Satu per satu foto profil ditelitinya. Terlalu banyak perempuan bernama Kiara. Sayang sekali dia tidak mendapatkan nama lengkap gadis itu. Ben lalu menghela napas kasar dan melempar pelan ponselnya ke meja sesaat sebelum benda pipih itu berbunyi. Dia sudah
“Lo masih ketemu om-om itu, Lin?” Pertanyaan sensitif dari Cantika mengundang helaan napas lolos dari mulut Olin. Wanita yang pernah tidak naik kelas dua kali akibat daftar kehadirannya di sekolah, mengepalkan sebelah tangan erat. Sangat kontras dengan senyum di wajahnya. “Menurut lo, dari mana gue bisa dapat ini semua kalau bukan dari dia?” ungkap Olin mengangkat sebelah tangannya dengan telapak terbuka. Atmosfir di ruangan Olin seketika berubah pekat. Cantika kira, dengan kesibukan Olin sekarang, dia sudah tidak menemui pria berumur itu lagi. Masalah Olin memang bukan urusan Cantika. Tetapi di lubuk hatinya, dia ingin Olin menjalani hubungan yang normal. Secara fisik, tidak ada yang kurang dari sahabatnya itu. Olin memiliki wajah manis khas Melayu. Kulitnya yang coklat eksotis dan tubuh berisinya membuat gadis itu kelihatan seksi. Meski tidak setinggi Cantika, tetapi Olin tidak tergolong pendek. Secara fisik penampilannya menarik. Secara kepribadian, dia wanita yang menyenangkan
“Jangan,” ujar Miko setelah mendengarkan cerita tentang Cantika. “Kamu masih belum pengalaman menghadapi cowok umur segitu. Menurutku Cantika nggak perlu ikutin kemauannya. Apalagi dengar pertemuan awal kalian yang ... ehem,” Miko berdeham sebelum melanjutkan dengan suaara lembutnya, “anti mainstream.” Garis bibir Cantika melengkung ke bawah, dia tidak begitu suka dianggap belum dewasa. Tapi apa yang dikatakan Miko juga tidak salah. Dia belum pernah berkencan dengan laki-laki yang jauh lebih dewasa darinya. Paling jauh hanya terpaut tiga tahun di atasnya. Cantika menopang wajah dengan sebelah tangan dan berkata, “Kalau aku betulan nggak sengaja ketemu sama cowok itu lagi, gimana? Aku harus bilang apa buat nolak taruhannya?” “Memang kamu berharap ketemu dia lagi?” tanya pria gagah berkulit putih yang sejak tadi mengundang beberapa pasang mata memandangi tubuh atletisnya. Tubuh kekar yang dibalut kaus hitam body fit begitu menggiurkan para kaum hawa. Kalau kalian pernah lihat koko-ko
Cantika melihat lampu di halaman rumahnya sudah terang. Dia terdiam sejenak saat tiba di depan pintu, mengatur napas sebelum meraih gagang pintu. Masuk rumah sama gugupnya dengan masuk ruang interview.“Dari mana aja kamu?” Suara dingin dan ketus segera menyambut kedatangannya.“Mama tumben udah pulang.” Cantika tidak menjawab pertanyaan ibunya, hendak melangkah ke kamar.“Kamu yang pulang kemalaman. Nggak ada di rumah, nggak jemput Caca, kamu ngelayap ke mana?” tuding Arita, sang ibu.Gadis cantik itu menghentikan langkah dan menjawab, “Cuma ketemu Olin sebentar.”“Ada atau nggak ada tugas kuliah, kamu wajib ke rumah Om Dany dan Tante Grace. Bantu mereka sebisa kamu. Ingat, kuliah kamu dibayarin.”“Kata Tante Grace lagi ada supir, aku enggak perlu jemput anak-anak hari ini. Jadi aku ke tempat Olin sebentar, apa salahnya? Lagian dari Olin kadang aku dapat kerjaan. Rambutku dicat begini juga dibayar, bukan cuma gaya-gayaan.”Cantika tidak bohong. Olin mengenalkannya pada salah satu tem
“Astaga! Apa itu?!” Cantika terkejut ketika bumper mobil bagian belakangnya membentur sesuatu. Dengan panik dia menoleh ke kaca spion di depan. Cantika pikir siang itu jalanan kompleks sepi. Tapi saat dia mundur untuk putar balik di tikungan, rupanya ada mobil lain yang melaju di belakangnya. Karena terburu-buru, Cantika tidak memerhatikan sekeliling. Akibatnya, dia malah menabrak mobil orang. “Aduh, gimana ini?! Nggak sadar ada mobil di belakang, malah nabrak.” Dengan panik, dia menengok ke belakang dari bangkunya. “BMW pula! Kena dimaki nih, bisa-bisa.” Mobil itu bukan BMW seharga ratusan juta yang bisa dibeli sejuta umat. Melainkan jenis BMW kelas atas yang harganya menyentuh bilangan miliar. Bagaimana Cantika tidak ketar-ketir? Ketika menyadari mobil tersebut adalah sedan yang di kenalnya, Cantika merasa secuil bebannya terangkat. Paling tidak dia bisa menunduk minta maaf dan bernegosiasi. Gadis itu kemudian memberanikan diri turun dari mobil, menghampiri mobil di belakangnya.