"Mau apa?" "Mau ... pinjam sertifikat sawah Ibu." Mata Eni melotot melihat anak sulungnya. Tanpa sadar, tangannya mencengkram lengan Hesti kuat membuat wanita itu meringis kesakitan. "Aduh, Ibu. Sakit tauk!" Hesti menepis tangan Eni cepat, dia mengusap-usap lengannya dengan lembut. "Pinjam sertifikat sawah Ibu? Bukannya tadi kamu bilang pacar kamu kaya?" selidik Eni. "Ah ... Ibu, Mas Brian itu mau tanam saham, tapi uangnya kurang, apa salahnya sih kita pinjam sertifikat sawah Ibu? Lagipula nanti kalau dapat untung kan kita juga yang ikut ngerasain."
Suasana hutan di kampung yang sepi, membuatku sulit untuk meminta bantuan pada orang di sekitar. Aku merutuki kebodohan, mengapa dengan begitu mudahnya mempercayai Agung dan mengikuti lelaki itu hingga sampai masuk ke tengah hutan, padahal jelas-jelas sawah Bapak jauh dari sini, memang, rutenya bisa dilewati melalu hutan jika sungai tempat menyebrang mendadak airnya tinggi. Tapi jika di musim pancaroba begini, air sungai lebih sering surut daripada pasang, itu sebabnya, aku yakin tidak ada yang melewati hutan ini. Air mataku sudah mengering. Sekarang yang kupikirkan adalah bagaimana caranya aku bisa kabur dari lelaki di belakangku. Siapa dia? Sejak tadi dia tidak membuka suara, hanya tangannya yang sibuk membungkam mulutku dengan memaksa terus berjalan di depannya. Aku sengaja menghentikan langkah. N
PoV Author Leha mondar-mandir di depan rumahnya menunggu kedatangan Halimah menjemput Karim di sawah. Hingga matahari semakin meninggi, sosok Halimah tidak kunjung terlihat dari ujung jalan. Kedua tangan dia remas seolah memberi pertanda jika hatinya sedang cemas. Dia khawatir. Khawatir pada Karim, Sang suami, juga pada Halimah yang tidak juga datang. Di tengah kebingungan yang melanda, sosok Agung berjalan di depan rumah Leha sambil bersiul dan menghitung banyak uang di tangan. Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Leha menghampiri Agung dan mencekal pergelangan tangan lelaki muda di depannya, "Halimah mana, Gung?" Agung menghentikan langkah dan menyembunyikan uang ke belakang tubuhnya. &
"Kang Tarjo ... dia yang sudah menculik Mbak Halimah!" Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Agung. Lelaki muda itu semakin terduduk lesu setelah mendapat tamparan keras dari Budhenya sendiri yang tak lain adalah Ibu Tarjo, Eni. Nur menarik kasar tangan Eni hingga hampir saja terjerembab jika Gina tidak dengan sigap menangkap tubuh mertuanya. Hadi, suami Nur datang setelah salah satu tetangga memberi kabar jika di rumahnya sedang ada keributan. Tubuh Hadi menyelinap di antara kerumunan orang. Dia menyaksikan anak lelaki satu-satunya terlihat frustasi dalam pelukan Nur.
Mata Tarjo menatap Vano dan Tomi nyalang. Dia membekap lengan yang mengucur darah akibat sabetan kapak dari tangan Tomi. Dilepasnya kaos yang dia gunakan, kemudian diikatkannya pada lengan yang terluka. "Pergi menyelinap lewat pintu belakang, Dek. Panggil para warga kesini, biar Mas dan Mas Tomi yang menghadang Tarjo," bisik Vano pelan. Halimah menggelengkan kepala, dia menggigit bibir bawah dengan kuat hingga tidak sadar sedikit mengeluarkan darah. "Nurut Mas kali ini, demi keselamatan kita." Kedua mata Halimah terpejam, dia menangis sejadi-jadinya dengan men
"Kasihan sekali Mas Tomi. Pinggangnya sampai penuh darah begitu. Ya Allah, ngeri!" ujar salah seorang warga dengan mengedikkan bahunya. Vano memeluk bahu istrinya dengan erat. Getaran di tubuh Halimah semakin kuat saat melihat Leha berlari ke arah mereka. Leha menangis histeris saat mendapati penampilan Halimah yang sudah acak-acakan. "Ya Allah, Nak. Dosa apa Ibu sampai anak-anakku kena musibah seperti ini." Leha memeluk Halimah dengan erat. Para tetangga merasa kasihan dengan apa yang dialami oleh keluarga mereka.
Langkah Leha mendadak berhenti. Dada wanita tua berdegup kencang mendengar teriakan Astri. Dia menoleh, menatap nanar pada calon mantan istri Tomi. Bagaimanapun, talak yang sudah Tomi lontarkan tidak bisa dicabut. Talak tiga. Sulit bagi mereka untuk kembali rujuk. "Aku ... aku hamil, Bu. Anak ini ... buah hati Mas Tomi, calon cucu Ibu." Astri menangis dengan memeluk kaki Leha. Hati Halimah bagai teriris belati melihat betapa pedih cobaan yang menimpa keluarganya. Apalagi melihat Astri yang sebentar lagi menjadi janda tapi justru dalam keadaan hamil. "Jangan berbohong. Kamu tau konsekuensinya jika kamu berb
Nafas Halimah memburu mendengar Astri membicarakan kematian sedangkan Bapak dan Ibunya masih sehat saat ini. Leha yang mendengar keributan, hanya mampu bersembunyi di dalam kamar dengan meremas baju yang menempel di dada. Hatinya sesak. Sakit. Jiwanya terluka karena perilaku Astri yang begitu tidak menghargai hidupnya selama ini. Kedua tangan Halimah terkepal. Entah, sejak kejadian yang menimpanya beberapa jam lalu, emosi wanita itu semakin tidak stabil. Vano, Sang Suami dengan sigap membawa tubuh Halimah dalam pelukan. Bahkan beberapa tetangga ikut berteriak saat Halimah melayangkan tangannya di pipi Astri. &