“Baiklah. Katakan di mana posisi yang kamu inginkan.” Boby tersenyum. Pria blasteran itu cukup lega sang putra mau menerima tawarannya.
“Marketing,” jawab Brana tanpa ragu.
“Kenapa harus di bagian marketing? Bram, masalah kita di bagian keuangan. Kalau kamu ingin mengungkap lingkaran hitam para tikus itu, masuk di bagian keuangan!”
“Daddy-mu benar, Bram. Masuklah ke bagian keuangan biar kamu lebih tahu detail bagaimana mereka mengelola dan melaporkan keuangan. Sebenarnya kami akan langsung menunjukmu sebagai Presdir di sana.” Gahayu, mommy-nya ikut bersuara.
“Aku sudah bilang, aku mau membantu asal aku dibebaskan memilih posisi.” Brama meradang.
“Bram, apa kata orang-orang kalau kamu ada di posisi rendah?” Gahayu kembali mengompori.
Seperti biasa, Brama masih tetap terlihat tenang.
Dari Bali, siang harinya Brama langsung bertolak menuju kota seribu industri, di mana pusat Sunmond Grup dan rumah orang tuanya berada.
Di Tangerang, letak pabrik Sunmond Food dan Sunmond Beauty. Sementara di Gresik letak pabrik Sunmond Care. Di Gresik inilah Nawa bekerja.
Sunmond Grup sebenarnya pabrik milik keluarga yang turun-temurun. Hanya saja, yang ditunjuk sebagai CEO saat ini adalah Boby karena sebagian besar saham dipegang olehnya. Itu pun juga setelah rapat para anggota pemilik saham hingga diputuskan Boby sebagai CEO.
“Bukankah niatku nanti mengusut? Jadi, aku akan menyamar,” ujar Brama tenang.
“Menyamar? Apa maksudmu?” Roby menatap putranya intens.
“Aku akan mengubah penampilan agar tidak ada yang tahu kalau aku adalah Brama, anak kalian. Katakan, siapa yang masih bersih di Sunmond Care?”
“Tomi, HRD di sana. Dia yang mengabarkan pada Daddy kalau perusahaan di sana sedang kacau. Pria itu juga sudah puluhan tahun mengabdi di perusahaan.”
“Presiden Direkturnya siapa?”
“Saudara sepupumu, Arbi.”
“Bilang ke Tomi kalau aku akan gabung di perusahaan. Tapi biarkan hanya dia yang tahu identitas asliku. Kalian memintaku masuk bagian keuangan, oke. Dan aku akan menyamar biar mereka bekerja seperti biasanya, nggak cari muka.”
Boby mengangguk. “Terserah bagaimana caramu. Dan ingat, Bram. Kalau kamu berhasil membersihkan tikus di sana, kembangkan Sunmond Care sebesar-besarnya karena nanti kamu yang akan mengambil alih kepemimpinan. Sekarang masih Arbi, tapi secepatnya harus berpindah ke tanganmu. Tanam saham yang banyak dan bekerjalah sebaik mungkin agar pemilik saham yakin menjadikanmu the next CEO menggantikan Daddy.”
Brama berdecak. “Anak Daddy tiga, pasti Daddy juga menanamkan hal yang sama pada yang lain. Itu artinya kami harus bersaing. Bisa-bisanya mengadu anak sendiri.”
Brama berjalan meninggalkan orang tuanya.
“Bram, kamu mau ke mana!” teriak Gahayu.
“Pulang.”
“Ini rumahmu. Sekali-kali tidurlah di sini.”
Ucapan sang mommy tidak diindahkan oleh Brama.
“Anak satu itu dari dulu paling susah diatur. Tidak seperti dua saudaranya,” gumam Boby.
“Setidaknya dia sudah mau ikut turun tangan mengatasi Sunmond. Ini sudah cukup. Nanti kalau merasa nyaman, dia pasti nggak mau lepas sama perusahaan.” Gahayu menenangkan.
“Kalau penyakit jantungku nggak sering kumat, sudah pasti aku atasi sendiri. Sayangnya tenagaku tidak seperti dulu. Terpaksa anak pembangkang itu yang kumintai tolong.”
“Sudahlah, yang penting kesehatanmu dulu. Masalah perusahaan, biar diurus anak-anak.”
Dari dulu, Boby dan Brama memang tidak akur. Boby yang ambisius, terus meminta anak-anaknya menjadi apa yang diinginkan. Sementara Brama tipe anak yang tidak mau diatur. Ia memiliki mimpi dan cita-cita sendiri dan memilih membangkang dari keinginan orang tuanya.
**
Rombongan Nawa akan kembali ke Gresik sore harinya. Nawa yang biasanya ceria, mendadak murung sejak kejadian semalam. Apalagi pria asing itu malah memberinya kenang-kenangan yang membuatnya muak.
“Wa, are you okey? Kuat naik pesawat?” tanya Sari saat masih di hotel.
Nawa mengangguk. “Kuat. Tapi untuk besok mungkin aku mau izin cuti sehari.”
“Periksa aja, ya?”
“Ya, besok aja kalo udah di Gresik.”
“Barangmu udah semua?”
“Udah.”
“Ayo turun. Yang lain mungkin udah nunggu di lobi.”
Nawa mengangguk. Keduanya lantas keluar dan turun ke lobi.
Sepanjang berjalan, Nawa menatap setiap inci bangunan itu. Di hotel tersebut, hidup Nawa berubah hanya dalam satu malam, semua tidak akan dilupakan.
“Grand Anna Bali, aku nggak akan melupakan hotel ini.” Nawa membatin. Air matanya kembali lolos, tetapi lekas dihapus kasar.
Nawa ingin menutup aib ini jika bisa. Namun, menjadi istri seorang prajurit biasanya ada tes keperawanan. Masihkah ia lolos tes itu? Agung pasti sangat kecewa dengannya jika terbukti ia tidak lagi gadis.
Tiba di lobi, semua karyawan sudah berkumpul. Tinggal menunggu manajer operasional. Mereka sengaja berangkat ke bandara lebih awal agar tidak ketinggalan pesawat.
“Wa, apa yang terjadi padamu semalam? Aku khawatir sama kamu.” Frengki langsung mendekat saat melihat Nawa.
“Khawatir kenapa?”
“Ya, khawatir katanya kamu dikabarkan hilang. Padahal semalam kita sempat ngobrol sebelum kamu pamit kembali ke kamar.”
“Hanya kecelakaan kecil. Tapi nggak apa-apa.” Nawa yang polos, tidak curiga sama sekali dengan Frengki.
“Syukurlah. Berarti semalam tidak terjadi apa-apa sama kamu? Nggak ada yang menyakitimu?”
“Maksudnya?”
“Ma-maksudnya selama kamu jatuh, nggak ada yang jahatin kamu.”
Nawa hanya menggeleng lemah.
“Percobaan pertama gagal. Masih ada kesempatan lain lagi. Untung kamu nggak jatuh ke tangan pria lain. Kamu harus jadi milikku, Nawa. Pers*tan dengan kabar yang katanya pacarmu seorang TNI.” Frengki membatin.
Nawa melakukan selfie yang menampakkan separuh wajahnya dengan latar tulisan nama hotel. Ini akan menjadi foto sebagai pengingat bahwa ia pernah melakukan dosa besar.
Setelah sang bos turun, Nawa dan rombongan pun bertolak menuju bandara, lalu terbang menuju bandara Juanda. Dari Juanda, mereka kembali melakukan perjalanan menuju Gresik. Tiba di kantor, mereka mende*ah lega karena liburan itu me-refrash otak mereka yang biasa bekerja keras. Nawa langsung kembali ke kos-kosan tidak jauh dari kantor dengan berjalan kaki seraya menggeret koper.
Malam harinya, Nawa menatap langit malam melalui jendela. Ia tidak bisa tidur padahal tubuhnya lumayan lelah. Untuk membuang bosan, Nawa mengambil ponsel, mengirim pesan pada Agung.
“Lagi dinas?”
Beberapa menit berlalu, tidak ada balasan. Nawa pun mengambil koper dan mengambil kaus couple yang dibelinya dari Bali.
“Biar kayak anak muda lain.” Caption itu menyertai foto dua kaus berwarna hitam lengan panjang.
Karena belum terbaca, Nawa menghubungi bapaknya saja.
“Assalamualaikum, Pak.”
“Waalaikumussalam. Bagaimana liburannya?”
“Alhamdulillah lancar. Bapak sehat, kan?”
“Sehat. Nduk, pas kamu di Bali, Ayah mimpi ada ayam jago mendatangi Ayah. Kata orang-orang, biasanya mimpi itu tanda akan ada pria datang ke rumah. Mungkin melamarmu.”
Nawa tertawa. “Mimpi hanya bunga tidur, Pak.”
“Tapi semoga saja iya dan kayaknya iya. Tadi Bapak ketemu sama Pak Lukman, katanya Agung sebentar lagi pulang dari Papua. Begitu Agung pulang, Pak Lukman sekeluarga ingin bersilaturahmi ke rumah kita untuk meresmikan hubungan kalian.”
Mata Nawa berkaca-kaca. “Bapak serius?”
“Iya. Bapak sangat bersyukur kamu bakal menjadi bagian keluarga mereka. Mereka itu sangat baik, santun. Meskipun orang berada, tapi tetap menerima kamu sebagai menantunya meski kita dari keluarga sederhana. Nduk, jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai mengecewakan mereka.”
Kaca-kaca di mata Nawa pun pecah. Ia merasa gagal menjaga kehormatan, kesucian, dan harga dirinya. Bukankah ia sangat beruntung akan dipersunting seorang prajurit? Terlebih ia diterima baik oleh keluarga Agung. Hanya saja, musibah yang baru saja menimpa, membuatnya kerdil dan hina.
“Nduk, kamu nangis?”
“A-aku bahagia, Pak. Sangat bahagia.” Nawa berbohong.
“Bapak juga. Agung laki-laki yang baik, sholeh. Insyaallah kamu akan bahagia sama dia.”
“Aamiin, aamiin.” Nawa sesenggukan.
“Ya sudah, kamu istirahatlah. Pasti capek banget.”
“Iya. Aku ada oleh-oleh untuk Bapak. Kalau pulang ke rumah, nanti aku bawa. Atau mau dipaketkan?”
“Sepulangnya kamu saja. Ingat, Nduk. Jaga diri baik-baik.”
“Iya. Bapak juga harus jaga kesehatan.”
“Pasti. Bapak harus sehat sampai nanti menjadi wali nikahmu.”
Setelah mengobrol lama, panggilan dimatikan. Nawa kembali menangis.
“Allah, entah apa yang harus hamba lakukan dan katakan? Hamba takut, sangat takut karena telah mengecewakan banyak orang. Hamba harus apa? Haruskah menolak lamaran Mas Agung?”
Sementara di bawah langit Tangerang, Brama tengah menatap layar laptop yang menampilkan foto Nawa.
“Annawa Salsabila. Besok pagi aku akan terbang ke sana dan kita akan bertemu lagi. Kira-kira akan seperti apa reaksimu?”
Selama sehari cuti, Nawa tidak melakukan apa pun di kamar kos-kosannya. Ia hanya menangis sampai matanya bengkak. Atau hanya rebahan dan kalau senggang ditemani Agung. “Nggak kerja?” tanya abdi negara itu melalui panggilan video. “Dikasih libur habis refreshing.” Nawa lagi-lagi berbohong. “Sudah periksa, kan?” tanya Agung. Nawa mengangguk. “Mana coba lihat obatnya.” “Gitu amat, sih? Mentang-mentang ngasih transferan.” Agung tergelak. “Buat memastikan kalo transferannya tepat sasaran. Takutnya malah kamu gunakan CO keranjang orange atau keranjang kuning.” “Emang boleh?” Agung tergelak. Nawa pun mengambil Paracet*mol, antibiotik, dan vitamin yang kemarin dibeli di Bali. “Itu aja obatnya? Dikit amat.” “Ya, karena memang aku nggak kenapa-napa. Emang dasar Mas aja yang lebay.” “Bukan lebay, tapi buat memastikan kesehatanmu. Rontgen atau CT Scan lengkap juga gih.” “Mas, jangan berlebihan.” “Nawa–“ “Aku nggak apa-apa, beneran. Aku yang jatuh, aku yang tahu kondisi diriku send
Tangan Nawa gemetar. Dadanya naik turun menormalkan keterkejutan.“Astagfirullah. Jangan-jangan ... pria asing itu yang mengirim paket ini?”Cepat-cepat Nawa membungkus kembali semua isi paketnya, lalu membuangnya ke tempat sampah luar kamar.Nawa kembali tersedu-sedu. Entah apa maksud pengirim paket itu, tetapi yang pasti hidupnya mulai sekarang tidak lagi tenang sama seperti dulu. Ia harus kuat dengan serangan teror yang mungkin akan kembali lagi.Sesak dada Nawa rasanya hingga kesulitan bernapas. Ia tidak tahu harus berbagi masalah ini dengan siapa. Jika berbagi pada sahabatnya, bisa saja nanti malah tambah runyam. Aibnya bisa menyebar. Namun, ketika memendam sendiri seperti ini, ia tidak kuat dengan tekanan demi tekanan yang ada.Nawa bukan wanita bebas yang mungkin jika melakukan z*na tidak merasa menyesal. Ia beda. Wanita itu terbiasa hidup dalam lingkungan pesantren, keluarga yang menekankan hal keagamaan, juga selalu berusaha menjaga diri. Sekali kecolongan, Nawa terus memikir
“Nawa!” pekik Frengki.Sama halnya dengan Frengki, Brama bergumam sangat lirih menyebut nama wanita ayu itu.Brama sejenak mematung. Ketika melihat Nawa, ingatannya tertuju pada malam panasnya bersama wanita itu. Nawa saat itu terlihat begitu seksi. Sekarang Nawa berpenampilan tertutup. Mata Brama mengabsen seluruh inci tubuh Nawa dari balik kacamata tebalnya.“Ada apa ini?” Nawa mendekat.“Oh, nggak ada apa-apa. Ini hanya membetulkan kemeja si Brama yang berantakan.” Frengki yang awalnya mencengkeram kerah kemeja Brama, ganti mengelus kerah itu.“Aku nggak buta, ya, Mas. Aku tahu kalo Mas Frengki sedang berlagak menjadi preman. Dan apa kamu karyawan baru?” Nawa menatap Brama.“Iya.” Brama mengedip, memastikan sudah memakai softlens agar Nawa tidak mengenali warna matanya.“Mas Frengki, jangan lagi, ya? Soalnya aku pernah ada di posisi dia yang di-bully pas awal-awal kerja. Rasanya tertekan. Harusnya Mas Frengki yang udah senior, ngasih contoh yang baik. Dibimbing, Mas, jangan disiksa
“Sebentar, aku ke kamar mandi dulu. Kebelet,” kilah Brama sambil masuk ke toilet.Nawa menatap punggung Brama sampai hilang dari pandangan.“Kalau sampai dia tadi lihat kalau tompel ini hanya tempelan, mati aku,” gumam Brama sambil membenahi lagi penunjang penampilan buruk rupanya itu.Gigi depan beberapa menghitam, warna mata hitam, dan tompel telah terpasang. Tinggal membubuhkan kacamata. Sempurna. Brama pun keluar kamar mandi dan sudah tidak mendapati Nawa di sana.“Syukurlah. Sepertinya sebentar lagi jam kerja dimulai lagi.”Nawa pergi dan tidak jadi menunggu Brama karena rekannya memanggil untuk melihat hasil pengambilan video tadi.“Aku kok kurang sreg sama hasilnya ya? Kita ubah konsep aja gimana? Jadi gini. Ada dua adegan, satu pasutri dari kalangan orang kaya, satunya dari pasutri orang biasa. Bagaimana cara mereka mencuci itu jelas beda. Orang kaya pakai mesin cuci dan yang pasti baju mereka hanya kotor kena keringat. Kalau orang biasa ada yang pakai mesin cuci, tapi kebanya
Wajah Nawa yang dari tadi sendu, tambah mendung. Ia belum yakin meneruskan keseriusan bersama Agung. Wanita itu sadar diri, tidak lagi suci.“Wa, kok kayak nggak seneng gitu?”Nawa berusaha menarik sudut bibirnya. “Seneng. Seneng, kok. Ini tuh ekspresi terkejut, Komandan.”“Alhamdulillah. Setelah aku pulang, seperti yang sudah kita rencanakan. Kita lamaran, lalu nikah.”Nawa menunduk, menyembunyikan sudut matanya yang sudah mengembun.“Berarti siap jadi Ibu Persit?”Nawa mengangguk lemah. Hati dan tindakannya tidak sinkron. Ia menghapus sudut matanya.“Mas, aku ini wanita buruk, nggak pantas buat Mas Agung. Aku banyak kurangnya. Yakin tetap mau sama aku?”“Apa pun kekuranganmu, aku terima. Aku pun punya banyak kekurangan, Wa.”Kali ini air mata Nawa kembali menitik. “Mas Agung pria baik, sangat baik. Makin ke sini, aku ngerasa nggak–““Apa ada pria lain? Maksudku, kamu sengaja mengatakan ini karena tidak mau serius sama aku?”Nawa menghapus air matanya. “Nggak ada. Sama sekali nggak a
Prang! Saking tidak konsentrasi mengaduk teh ditambah pertanyaan Heru, membuat Nawa memecahkan gelas dan mengenai kakinya. “Enggaklah, Pak. Aku selalu jaga diri, kok.” Nawa berusaha agar suaranya tidak terdengar grogi. “Suara apa itu tadi?” “Oh, itu tetangga kos. Nggak tahu kenapa.” Nawa terpejam. Akhir-akhir ini ia banyak sekali berbohong. “Alhamdulillah. Kamu anak Bapak satu-satunya, jadi Bapak sangat takut kalau kamu sampai terpengaruh pergaulan bebas. Apalagi kamu ada di kota besar dan jauh dari Bapak. Bapak suka ketar-ketir Hati-hati. Ya sudah, sana istirahat.” “Iya. Bapak juga hati-hati, jaga kesehatan.” “Pasti. Bapak tunggu kepulanganmu. Hari Minggu nanti pulang, ya? Bapak mau nagih oleh-olehmu dari Bali itu. Sudah hampir sebulan, tapi belum dikasih juga.” Nawa tertawa. “Iya, Bapak.” Telepon pun diakhiri setelah saling bertukar salam. Nawa terduduk di kursi. Ia memijat kening sambil terpejam. Hamil? Satu kata yang menjadi momok setelah kejadian nahas malam itu. Jika s
“A-apa? A-aku hamil?” Nawa memastikan. Ia mengubah posisi menjadi duduk.Brama celingukan, memastikan tidak ada yang mendengar percakapannya dengan Nawa.“Ya.”“Benarkah aku hamil?” Mata Nawa berembun.“Untuk apa aku bohong? Katakan, siapa yang harus bertanggung jawab dengan keadaanmu saat ini? Apa pacarmu itu?”Embun di mata Nawa turun. Setetes demi setetes berjatuhan. Remuk-redam hatinya mengetahui kenyataan ini.“Pe-pergilah, Mas. Aku ingin sendiri.”“Nawa, bukankah kita teman? Ayo, kita berbagi. Katakan, siapa yang harus aku temui agar ada yang bertanggung jawab? Aku yakin pasti pacarmu yang anggota TNI sialan itu.”“Kamu nggak tahu apa-apa. Jadi jangan ikut campur. Terima kasih karena sudah membawaku ke sini. Pergilah, bukankah kamu harus bekerja?”“Nawa, lihat aku! Aku akan membantumu. Percaya sama aku.”“Enggak! Aku ini kotor. Pergilah, Mas.” Nawa kian tersedu-sedu. Ia memukuli perutnya yang masih rata.“Stop, Nawa! Jangan lakukan ini.” Brama menahan tangan Nawa. “Dia nggak ber
Agung justru tertawa. “Wa, ulang tahunku masih lama. Jangan nge-prank gini. Aku nggak suka.”Nawa mengambil napas panjang lalu mengembuskan pelan. Ia menguatkan diri untuk mengakhiri hubungannya dengan Agung. Ada halangan berupa janin yang telah bersemayam di rahimnya.“Mas, aku serius. Maaf, aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita menuju keseriusan. Aku nggak bisa. Kamu berhak dapat wanita yang jauh lebih baik dariku. Aku–“ Suara Nawa yang bergetar, terputus. Rasanya sulit melanjutkan kalimat.“Nawa, apa kamu salah minum obat?” Agung mencoba mengganti panggilan dengan panggilan video, tetapi Nawa enggan mengangkat.“Apa yang terjadi? Kenapa kamu ngelantur kayak gini? Ayo cerita,” tanya Agung. Ia mendengar suara isak tangis dari seberang.“Nggak ada apa-apa. Hanya saja, aku nggak siap berkomitmen. Carilah wanita lain."“Nggak masalah kalau kamu belum siap berkomitmen. Kita bisa menikah nanti. Bulan depan, tahun depan, atau depannya lagi. Atau lima tahun lagi. Asal kita punya status d