Pagi ini Ajeng merasa kondisi tubuhnya sudah jauh lebih baik. Mau tidak mau, dia harus berterima kasih kepada Bian. Meskipun mulut suaminya itu sering berkata pedas dan kejam. Tapi soal makan Ajeng tidak pernah kekurangan. Ketrampilan memasak Bian memang harus diacungi jempol. Karena sudah terbiasa hidup sendiri sejak sekolah, Bian juga jadi terbiasa untuk memasak sendiri.“Tuh orang memang agak-agaknya bipolar deh. Kalau mau niat jahat kenapa nggak biarin aku mati kelaparan.” Ajeng bicara sendiri sambil mondar-mandir di kamarnya. “Waktu aku sakit juga dia mau merawat aku. Aneh, kan? Masa iya mau balas dendam, tapi masih simpati sama aku.” Kali ini Ajeng duduk dinpinggir ranjangnya. “Apa jangan-jangan ....” Ajeng menggeleng cepat. “No! Masa Bian suka sama aku? Dia kan udah bilang nikahin aku karena mau balas dendam? Ah, si Danu. Ya, Bian itu sebenarnya baik, tapi dihasut sama di Danu itu.” Ajeng berpindah ke dekat jendela. Sembari mengelus dagunya, Ajeng menduga-duga sendiri. Ka
Keintiman Bian dan perempuan itu membuat hati Ajeng panas. Suaminya itu terlihat nyaman dan sangat akrab. Bahkan tertawa dengan lepas. Tidak seperti saat bersama dirinya.Yang paling membuat Ajeng tidak tahan adalah perempuan itu terlihat genit. Tangannya beberapa kali menepuk pundak Bian dan kadang mencubit pipinya. ‘Ke kantor apanya? Malah janjian sama cewek. Dasar playboy.’ Ajeng berucap dalam hati. “Hei! Kamu mau pesan apa, Ajeng?” Stella menjentikkan jari tepat di muka Ajeng. “Bengong! Lihatin apaan?” Stella hendak memutar tubuhnya, penasaran dengan apa yang dilihat temannya itu. “Pesan ini!” Ajeng menunjuk asal makanan yang ada di buku menu. Dia tidak ingin Stella sampai tahu Bian ada di sana. Bisa heboh nanti, karena Stella begitu mengidolakan asisten papanya itu. Apa jadinya kalau Ajeng sampai memberitahu tentang pernikahannya dengan Bian. Bisa-bisa, Stella akan histeris. “Ok!” Stella mengangguk tanda mengerti. Kemudian melambai pada pelayan restoran untuk memesan
Stella jelas terkejut mendengar Ajeng mengaku sebagai istri Bian. Mulut perempuan itu membuka lebar saking syoknya.“Kapan kamu menikah sama Bian?” Stella berkacang pinggang.Ajeng pun nyengir.“Panjang ceritanya,” jawab Ajeng kemudian menggeser kakinya, memberi jarak pada sahabatnya itu.Stella kemudian menatap Bian, seolah meminta penjelasan dari laki-laki itu. Namun, Bian hanya mengedikkan bahunya sembari mengulum senyum.“Kamu jangan marah, Stella. Nanti aku ceritakan semuanya,” bujuk Ajeng.Stella mendengkus kasar, kemudian memasang wajah cemberut. Dia merasa seperti tidak dianggap oleh sahabatnya sendiri. “Baiklah karena sudah ada suamimu. Lebih baik aku pulang. Kita bisa bicara lain kali,” ketus Stella. Lalu melirik Bian sekilas kemudian bergegas meninggalkan Ajeng.“Stella! Tunggu!” Ajeng hendak mengejar Stella, tapi Bian menarik tangannya agar Ajeng tetap berada di tempat.Bian meminta Ajeng tetap tinggal karena belum mengambil obat. Dan, mau tidak mau Ajeng harus menurut
Sebagai permintaan maaf dari pihak hotel, mereka menyediakan kamar vip untuk Bian dan Ajeng istirahat. Pihak hotel juga memanggil dokter untuk mengecek kondisi Ajeng. “Sekali lagi kami mohon maaf, atas kelalaian karyawan kami,” ucap manajer restoran.Bian sebenarnya ingin marah, tapi Ajeng meminta untuk tidak memperpanjang kan masalah. Dia hanya ingin istirahat sebentar, karena merasa tubuhnya sangat lemah.Bian pun akhirnya menyetujui tawaran dari hotel. “Silakan dinikmati semua fasilitas dari kami, jika memerlukan sesuatu Anda bisa menghubungi nomor telepon yang sudah tertera di daftar panggilan.” Manajer restoran yang mengantar Bian dan Ajeng meninggalkan kamar setelah undur diri.Bian menatap Ajeng yang ternyata sudah terlelap di ranjang berukuran besar dengan nuansa sprei dan selimut serba putih. Laki-laki itu perlahan menghampiri Ajeng dan duduk di sampingnya. Bian mengangkat tangan, hendak menyibakkan rambut Ajeng yang sebagian menutupi wajah. Namun, sedetik kemudian Bian
Bian kebingungan saat tidak mendapati Ajeng di kamarnya. Bian mencari ke sana ke mari, ke seluruh kamar dan ruangan yang ada di rumah. Bian sedikit khawatir karena semalam Ajeng merajuk. Semenjak perbincangan mereka di hotel, Ajeng bungkam jika diajak berbicara dengan Bian. “Ngapain ke kamarku?” Ajeng muncul dari belakang dan membuat Bian terkejut. “Ngecek. Siapa tahu kamu kabur.” Bian menjawab ketus. Padahal sebenarnya laki-laki itu khawatir jika Ajeng benar-benar kabur. Karena memang sudah menjadi kebiasaan Ajeng. Jika ngambek dengan papanya pasti kabur entah ke mana. Dan pulang jika sudah kehabisan uang. “Ngapain kabur dari rumah sendiri? Tadi aku lari-lari sekitar rumah. Lumayan kan buat bakar lemak, eh salah bakar emosi.” Ajeng masuk ke kamar dan melewati Bian begitu saja. Seolah Bian tidak ad di situ. Bian memperhatikan penampilan Ajeng dari atas sampai bawah. Dahi nya dipenuhi dengan buliran keringat hingga mengalir ke lehernya. “Mau ngapain lagi? Pintunya mau aku tutup. Ma
Ajeng sempat mengira ada pencuri yang masuk ke rumahnya dan mengacak-ngacak kamarnya. Siapa sangka ternyata Bian tengah sibuk merapikan beberapa barang miliknya. Bian mengeluarkan semua baju Ajeng dari dalam lemari, menatanya di beberapa koper milik Ajeng. Sisanya lagi dimasukkan ke kardus. Semua sudah ditata dengan rapi dan diletakkan di ruang tamu. Bahkan semua peralatan make up dan skincare Ajeng yang ada di meja rias juga sudah dipacking Bian dengan rapi. “Bian! Mau kamu apakan barang-barangku?” pekik Ajeng. Perempuan itu marah besar karena Bian tanpa izin menyentuh semua barang-barangnya. “Enggak lihat aku sedang mengepak barang-barangmu? Sisanya kamu rapikan sendiri. Tapi aku rasa itu sudah cukup, kalau perlu yang lain kita bisa beli,” jawab Bian dengan santai. “Maksudnya apa? Kenapa aku harus mengepak sisanya dan kalau butuh yang lain bisa beli? Bisa enggak kamu kasih penjelasan!” tuntut Ajeng. Kedua tangannya berada di pinggang, menatap marah pada Bian. “Mulai hari ini, k
“Sial! Kenapa juga tadi Bian mendengar perkataanku.” Ajeng bergumam dalam hati. Tidak menyangka kalau Bian tiba-tiba datang ke kamarnya dan mendengar percakapannya dengan Stella.Tapi, bukan Ajeng namanya kalau tidak pandai mengalihkan pembicaraan. Perempuan itu memarahi Bian yang menguping pembicaraannya dengan Stella.“Aku tidak menguping. Sengaja lewat dan ada orang yang sebut-sebut namaku. Jadi aku mampir sebentar untuk menyimak.” Bian melipat kedua tangannya, lalu menyenderkan bahu ke pintu.“Itu namanya menguping!” Ajeng langsung mematikan panggilannya dengan Stella.“Se-sejak kapan kamu berdiri di situ?” Ajeng bertanya dengan nada tergagap. “Baru saja. Aku mau ngecek, apa kamu masih butuh barang lagi untuk di bawa?” Bian memilih membicarakan yang lain. Dia tidak memperpanjang masalah tadi. Meskipun tadi sebenarnya Bian mendengar semua ucapan Ajeng kepada Stella.“Enggak ada. Nanti kalau butuh lagi, aku bisa pulang untuk mengambilnya,” balas Ajeng.“Baiklah, kalau sudah tidak a
Ajeng mondar-mandir dengan perasaan kesal dan marah. Di kamar Bian, kamar yang sekarang menjadi tempat tinggalnya. Ajeng terus mengomel tentang sikap Bian yang menurutnya tadi sangat kurang ajar. Laki-laki itu tanpa persetujuan dan tanpa bertanya lebih dulu, seenaknya mendaratkan bibir ke bibirnya. Meskipun peristiwa itu tidak berlangsung lama, dan hanya kecupan biasa. Ajeng merasa bahwa Bian sudah mengambil secuil dari dirinya. Bodohnya, kenapa tadi Ajeng tidak langsung marah dan justru melarikan diri. Perempuan itu sampai lupa tentang pinggangnya yang semula kesakitan. “Kamu enggak tahu bagaimana ekspresi Bian setelah menciumku. Dia tuh kaya mengejekku, Stella. Seolah dia sengaja ingin mempermalukanku.” Ajeng mengepalkan tangan, satu tangan memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga. Ajeng tidak menyia-nyiakan untuk berbagi cerita kepada Stella. “Terus-terus. Kamunya gimana?” balas Stella. Di seberang sana dia sedang menahan tawa mendengar cerita dari Ajeng. “Kok terus? Ya aku