Share

Lima

Atisha duduk bersebrangan dengan Raffan, perempuan itu hanya mengangguk meminta penjelasan tanpa suara.

“Saya ingin menikah untuk menyelamatkan harga diri saya, saya rasa kamu orang yang tepat untuk membantu saya,” ucapnya. Menatap Atisha yang masih menunggu kelanjutan penjelasannya.

"Hanya pernikahan sekedar status, nggak lebih." Jelas Raffan saat mata gadis dihadapannya mendengus.

“Orang tua saya selalu menjodohkan saya dengan perempuan manapun yang mereka pikir cocok dengan saya, tapi usaha mereka selama ini tidak berhasil karena saya selalu berhasil berkelit. Tapi bukannya jerah, ada saja anak teman mama yang disodorkan kesaya. Saya lelah dengan itu.” Raffan menghela nafas panjang, menatap Atisha yang balik menatapnya dengan alis tertaut.

“Kenapa saya? Kita bahkan dua orang asing. Apa karena saya punya hutang ganti rugi, jadi jadi anda mau memanfaatkan saya?” Tanya Atisha sambil bersedekap dada. Tak dipungkiri dirinya masih kesal setengah mati pada pria dihadapannya, namun menghadapinya dengan meledak-ledak jelas bukan solusi. Raffan menggeleng dan kembali menghela nafas lelah.

“Karena hanya kamu, cewek yang nggak membuat saya risih, was-was atau maaf, jijik ketika berdekatan. Saya juga nggak tau kenapa, mungkin karena kamu terlihat nggak tertarik sama saya atau justru terkesan menjaga jarak.”

“Maksudnya?”

“Jujur,” Raffan melirik sekelilingnya, sebelum berucap pelan.

“Saya tidak tertarik dengan cewek manapun, cenderung anti sama mereka karena kecamuk perasaan risih, jijik serta was-was ketikasaat berdekatan dengan mereka sejak umur sembilan tahun perasaan itu benar-benar menyiksa saya. Tapi berbeda saat berdekatan dengan kamu, saya biasa saja dan saya tidak merasakan apa-apa.”

“Kamu Gay?” Tuduh Atisha, membuat Raffan berdecak sebal.

“Semua anggota keluarga saya juga menuduh saya seperti itu, padahal kenyataannya tidak seperti itu, meski saya benar-benar tidak suka dan tidak ingin menjalin hubungan emosional apapun dengan cewek manapun. Saya sama sekali bukan pecinta sesama jenis, naudzubillahi min dzalik, adzab kaum nabi Luth itu mengerikan.” Pria itu bergidik. Atisha dapat menangkap kejujuran di mata pria itu dan merasa lega saat mendengar kalimat terakhir pria itu.

“Kamu pernah mengalami trauma? Maaf saya berharap dugaan saya salah tapi apa kamu pernah mengalami pelecehan seksual?” Tanya Atisha pelan. Sementara pria dihadapannya mengalihkan pandangan.

“Umumnya pelecehan seksual korbannya adalah perempuan, tapi tidak bisa di nafikkan bahwa hal tersebut juga dapat terjadi pada laki-laki khususnya pada kasus anak.” Atisha masih lekat menatap Raffan mendongak sambil terpejam menghirup udara dalam-dalam.

“Saya masih sembilan tahun saat itu. Saya sedang bermain dan ketiduran di rumah teman, ketika terbangun saya sudah dikurung dikamar perempuan sialan it–” ucapnya dengan suara bergetar, Raffan menggigit pipi bagian dalamnya, mencoba mengenyahkan segala kecamuk di dadanya yang membuat matanya berkaca-kaca, Raffan mengelap wajah kasar sambil menggeleng.

“Kamu, nggak usah cerita.” Atisha menatapnya dengan sorot iba, menyadari bahwa pria dihadapannya sedang berusaha menutup luka.

“Nggak ada yang tau tentang ini selain psikiater saya dan kamu hari ini. Saya ingin sembuh, tapi sepertinya mustahil bagi seorang yang mengalami mental illness seperti saya.” Entah kenapa tiba-tiba hati Atisha didera rasa sakit. Perempuan itu mengerjap tak bisa membayangkan bagaimana anak sembilan tahun yang masih memandang dunia sebagai wahana permainan lalu kemudian direnggut hak bahagianya dengan dihadapkan pada kenyataan kerusakan moralitas yang menjijikkan, sungguh sangat miris. Kenapa ada manusia yang begitu tega merenggut harga diri orang lain dengan cara yang begitu biadab.

“Sorry, untuk pagi tadi...” Raffan berucap sambil meringis.

“Nggak mudah menjalani hidup dengan normal saat seseorang pernah mengalami peristiwa traumatik, tapi kebahagiaan milik semua orang, kita hanya perlu usaha dan tekad yang lebih kuat untuk meraihnya.” Atisha sebenarnya tak tahu harus berkata apa, dulu ia kecewa karena mamanya memilih menyerah dan tidak berjuang untuk sembuh, tapi pada akhirnya ia sadar tidaklah mudah menjadi mereka. Atisha kembali menatap Raffan, ia tak pernah mengira pria dihadapannya yang terlihat tanpa cela dan kekurangan secara fisik dan finansial, ternyata menyimpan kisah yang begitu kelam.

“Saya sudah berusaha untuk sembuh. Beberapa psikiater sudah saya sambangi, tapi tetap saja perasaan itu masih menghantui saya. Mbak ingat saat saya muntah-muntah di pinggir jalan? Malam itu saya baru saja bertemu dengan perempuan yang dijodohkan dengan saya, pakaiannya yang terekspos membuat saya mual.” Tentu Atihsa ingat. Saat itu Atisha justru mengira bahwa pria itu mungkin sedang masuk angin atau terserang Maag.

“Saya lelah … hanya kamu yang bisa bantu saya,” Pintanya penuh harap namun Atisha justru menggeleng.

“Menikah dengan saya bukan solusi justru bisa menjadi masalah baru,” Atisha mencoba memberi pengertian.

“Hanya ini jalan satu-satunya bagi saya. Saya hanya butuh status dan tidak akan ikut campur dengan kehidupan kamu lebih jauh, saya akan menafkahi kamu secara lahir dan melindungi kamu sebagaimana tanggung jawab suami atas istrinya. Karena saya tidak akan mampu memberi nafkah batin, saya akan melepaskan kamu jika suatu saat kamu ingin pergi bersama dengan pria yang kamu cintai.” Raffan mencoba meyakinkan, sementara Atisha menghela nafas panjang.

“Kita bisa membuat kesepakatan untuk melindungi dan menjamin hak-hak kamu. Tulis apapun keinginan kamu dalam surat perjanjian pranikah dan saya akan penuhi segalanya. Saya hanya butuh status sebagai suami, untuk terlihat normal dan manusiawi.” Atisha menunduk mencoba berfikir, sungguh ia kasihan pada pria dihadapannya. Selain itu sebenarnya dirinya juga butuh status pernikahan, untuk membuat omanya merasa lega dan membuat beberapa laki-laki yang masih kekeh mengejarnya menyerah, ia tak butuh laki-laki normal dalam hidupnya yang ia butuh hanya teman hidup dan sepertinya ia bisa percaya pada pria di hadapannya. Handphonenya bergetar saat Atisha masih bergelut dengan Fikiranya.

“Iya dok, Eh.” Atisha melirik pergelangan tangannya lalu meringis, menyadari ia sudah terlalu lama, dokter jaga yang harus ia gantikan itu pasti sudah hendak pulang.

“Maaf dok, ini saya sudah baru mau menuju kerumah sakit … iya, terimakasih.” Atisha menatap Raffan.

“Saya butuh waktu untuk berfikir,” Ucap Atisha, berdiri dan meraih tasnya.

“Tentu, ini memang bukan hal yang mudah diputuskan.”

“Saya harus pergi sekarang.” Perempuan itu mengangguk sopan sebelum bergegas pergi. Sementara Raffan mengikutinya dengan pandangan mata, sebelum bersandar dan menghela nafas, entah mengapa ia sangat lega telah terbuka dengan perempuan itu. Raffan yakin, bahwa bersama dengan Atisha adalah keputusan yang tepat untuk saat ini, karena dengan menikah ia akan terlihat sebagai pria dewasa yang punya kehidupan normal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status