Share

7. Sesi Pertama

Hawa masih dingin saat Sofia menurunkan kaki dari ranjang. Dia sudah bangun sebelum alarm berbunyi. Sofia selalu bangun dengan segera, alasan kenapa dia bisa menjadi terapis handal, jika dibutuhkan pasien, dia selalu bersedia, sekalipun tengah malam, tidak akan ada jalan sempoyongan atau menguap sambil menggosok-gosok mata. Sofia selalu melakukan apa pun yang dibutuhkan dari dirinya.

Ia mengayunkan kaki menuju toilet. Mandi dan mengenakan pakaian seefesien mungkin.

Ia sudah siap untuk melakukan pekerjaannya dengan pasien yang ia ketahui cukup keras kepala.

Sofia tersenyum saat memasuki kamar Aland setelah mengetuk dua kali.

"Selamat pagi," sapanya seriang mungkin. Kakinya berjalan menuju balkon, menyingkap tirai dengan satu kali tarikan. Cahaya matahari seketika memenuhi ruangan.

Terdengar makian lirih dari arah ranjang. Aland berbaring telentang, kakinya sedikit canggung seolah pria itu mencoba menggerakkan tungkainya tadi malam.

Sofia memperhatikan Aland membuka mata, pria itu berusaha duduk, lalu teringat sesuatu, kemudian memejamkan mata dengan wajah muram.

Seberapa sering ini terjadi? Seberapa sering Aland terbangun dan lupa tentang kecelakaan itu, lalu panik bahwa dia tidak menggerakkan tubuhnya sama sekali.

"Selamat pagi," Sofia mendekat ke ranjang.

"Jam berapa sekarang?" Mengabaikan sapaan Sofi.

"Sekitar pukul enam."

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Memulai terapimu. Kurasa kita sudah sepakat." Sahut Sofia dengan tenang dan lembut.

"Kurasa kau juga ingat bahwa aku tidak pernah setuju. Belum ada yang bangun jam segini." Aland masih menutup matanya.

"Aku sudah, begitupun kau. Kita berdua sudah bangun. Ayo, Tuan pemalas. Banyak yang harus kita lakukan hari ini." Sofia menarik kursi ke sisi ranjang, menyibak selimut yang membuat Aland tersentak. Pria itu membuka mata, menatap tajam ke arah Sofia.

"Apa yang kau lakukan?!" Suara dingin penuh permusuhan. Kemarahannya semakin meradang saat menyadari kemana mata Sofia menatap. Ke arah kakinya yang kurus dan menyedihkan yang dibungkus kaos kaki.

Aland tidak ingin Sofia melihatnya, atau siapa pun. Tapi, Aland sadar bahwa perempuan yang sekarang berdiri di tepi ranjangnya tidak akan membiarkan sopan santun ikut campur dalam pertempuran ini.

Dan tanpa belas kasihan, Sofia menurunkan kaki Aland. "Jam berapa Zoe akan datang?"

"Jam setengah delapan."

"Mulai besok pastikan dia datang jam enam."

"Dia akan mencekikku."

"Well, tidak ada pilihan kalau begitu, aku akan membantumu mandi."

"Apa maksudmu?!" Aland mendesis diikuti dengan sorot mata sinis.

"Sebelum latihan, kau harus membersihkan tubuhmu. Aku tidak menyukai pasien yang jorok. Aku atau pun kau tahu bahwa kau tidak bisa mengurus dirimu sendiri. Kau menolak meminta Zoe datang lebih awal, jadi tidak ada pilihan. Aku yang akan memandikanmu."

"Persetan_"

"Tenang, santai. Kau bukan satu-satunya pasien yang kumandikan. Lebih dari lusinan. Sebagai informasi tambahan, wanita mana pun tidak tertarik dengan tubuh pria yang terlihat lembek seperti bubur. Kau aman."

Ingin rasanya Aland mengeluarkan sumpah serapah dan membeberkan betapa murahannya pada makhluk yang disebut wanita. Dimana ia sudah sering kali mendapat pelecehan. Lalu apa yang berbeda dari Sofia? Hanya karena dia mengenakan hijab? Perawat yang lainnya juga ada sebagian yang mengenakan hijab.

"Bagaimana? Kau yang menentukan pilihan."

Aland menyoroti Sofia, bukan hanya penampilan wanita itu yang berubah. Sikapnya juga. Ck! Dimana Sofia anak ingusan yang selalu ia dan teman-temanya recoki. Kini, yang di hadapannya adalah wanita angkuh dengan pendirian yang tidak bisa dibantah.

"Baik, Mama, aku akan menuruti perintahmu!" Aland merasa geram, jengkel hingga tidak bisa bersuara.

"Aku bukan Ibumu. Aku terapismu," Sofia menimpali. "Walau Ibu dan terapis memiliki banyak kesamaan."

"Aku akan menoleransi hari ini, latihan tanpa mandi." Sofia menurunkan Aland ke kursi roda dan Aland kembali dibuat terkejut dengan kekuatan fisik yang dimiliki wanita itu.

Atau aku yang terlalu menyedihkan, ia berbisik dalam hatinya.

"Apa kau memakai celana dalam?"

Sepertinya Sofia tidak akan berhenti membuatnya terkejut. Apa tadi pertanyaan wanita itu? Ce-celana dalam? Lancang sekali perempuan ini? Kemarahan Aland benar-benar sudah berada di puncak.

"Apa?" Aland perlu memperjelas. Rautnya tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Apa kau memakai celana dalam?" Sofia mengulangi.

Demi apa pun, Aland benci dengan ketenangan Sofia.

"Apa urusanmu aku pakai atau tidak."

"Karena tidak mungkin kau memulai latihanmu dengan mengenakan piyama. Kita perlu melepas piyamamu. Jika kau tidak mengenakannya, silakan pakai dulu, aku akan meminta seseorang untuk membantumu mengenakannya."

"Kenapa? Bukankah kau sudah terbiasa memandikan pasienmu. Atau kau memandikan mereka dengan pakaian lengkap?" Senyum mencemooh tergelincir dari sudut bibir Aland. Pria itu merasa menang.

Kesenangannya hanya bertahan sesaat. Ketenangan Sofia tidak membiarkannya bertahan lama.

"Aku tidak keberatan membantumu menanggalkan piyama itu."

"Aku memakai celana dalam dan aku tidak akan pernah melepaskan piyamaku di hadapanmu!"

"Terima kasih kerjasamanya. Piyama itu harus disingkirkan baik dengan cara halus atau pun kasar."

"Kenapa aku harus menyingkirkannya? Tidak mungkin agar kau bisa mengagumi tubuhku."

"Kau benar soal itu. Sadar bahwa tidak ada yang bisa dikagumi dengan tubuh lembekmu. Jadi, siapa yang harus kupanggil untuk membantumu melepaskan piyama itu?"

"Ahmed," tukang kebun yang merangkap jadi sopir dan juga suami dari Nomi.

Sofia menunggu di luar selama Aland berganti pakaian. Sepuluh menit kemudian, Ahmed keluar. Sofia mengucapkan terima kasih pada pria ramah itu.

Saat ia memasuki kamar, ia langsung mendapati Aland yang menyorotnya dengan percik kemarahan. Pria itu duduk di pinggir ranjang.

"Telungkup." Sofia langsung mendorongnya hingga telentang, kemudian mengubah posisinya menjadi telungkup, wajahnya terbenam di bantal.

"Hei, sialan, apa yang kau lakukan?!"

"Memulai sesi latihan. Tenang saja, ini bebas dari rasa sakit." Sofia memberikan pijatan kuat di punggung dan bahu pria itu.

Aland kembali memaki, "Pelan-pelan..."

"Pijatan ini ada tujuannya."

"Apa? Hukuman? Atau membunuhku secara perlahan?"

Sofia tertawa, "Jika ini tujuan untuk membunuhmu, bukankah seharusnya kau mengucapkan terima kasih kepadaku mengingat itulah yang kau lakukan sepanjang hari, memohon kematianmu."

"Brengsek! Aku bukan sapi berdaging tebal. Pelan-pelan."

"Ini disebut sirkulasi. Peredaran darahmu buruk, itu sebabnya tanganmu dingin, dan kau harus memakai kaos kaki agar kakimu tetap hangat. Otot tidak akan bisa berfungsi tanpa pasokan darah yang memadai."

"Aku mengerti, Dok," kata Aland dengan kasar. "Pijatan ajaibmu seketika akan membuatku bisa berlari."

Sofia tertawa renyah, "Tidak mungkin! Pijatan ajaibku hanya metode dasar. Belajarlah menyukainya karena kau akan sering mendapatkan pijatan ajaibku."

"Wuah, kau kaya akan pesona, Dok."

"Aku kaya akan pengetahuan."

"Berani bertaruh bahwa tidak satu pun dari lusinan pasien yang kau sebutkan tadi bahwa kau seorang monyet betina yang suka mencuri mangga."

"Kau beruntung karena kau adalah pasien istimewa yang mengetahui sedikit keburukanku." Sofia beralih pada kaki Aland yang hanya tinggal kulit di tulangnya.

Menit demi menit berlalu, Sofia bekerja samapai berkeringat. Sesekali Aland mengeluarkan gerutuan juga makian jika Sofia memijat dengan kasar.

Sofia menggulingkan tubuhnya, membuat Aland telentang kembali. Kini Sofia memberi pijata di lengan, dada, dan perut cekung pria itu. Rusuk Aland mencuat, kulit pria itu juga sangat pucat di bawah kulitnya. Tatapan Aland tertuju pada langit-langit kamar, wajahnya muram dan bibirnya cemberut.

"Berapa lama lagi kau akan melakukan ini?" Akhirnya ia bertanya setelah keheningan yang cukup lama.

Sofia melihat jam. Sudah satu jam lamanya ia memberikan pijatan yang disebut Aland sebagai pijatan ajaib.

"Sebentar lagi," ia mengangkat kaki pria itu, menekuknya hingga menyentuh dada. Mengulanginya berkali-kali.

"Hentikan! Ini hanya buang-buang waktu!"

"Apa maksudmu hanya buang-buang waktu. Aku baru satu jam melakukannya dan kau berharap bisa langsung ada perubahan. Kau harus berusaha lebih keras. Berhubung aku sudah lapar, aku akan turun untuk menikmati sarapanku. Nomi akan datang mengantar sarapanmu. Setelah itu kita kembali latihan." Sofia membantunya turun ke kursi roda.

"Tidak!" Aland meraung. "Aku sudah cukup latihan untuk hari ini. Kau agak terlalu memaksa, Nona! Tinggalkan aku sendiri!"

"Tentu, setelah tugasku selesai."

"Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi, Sialan!!" Bentak pria itu sambil menyentakkan kursi roda ke belakang. Selanjutnya dia terkejut menyadari apa yang sedang ia lakukan. Ia menggerakkan tangannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status