"Duduk," titah Satria, mengedikkan dagunya ke arah kursi yang ada di seberangnya tak mengurangi kewibawaannya.
Masih tak membuat Adam bersuara, hanya terdiam dan membisu, kembali mengayunkan langkahnya hendak duduk di atas kursi.
Sesuai dengan perintah Satria tak mengalihkan pandangannya.
"Gimana hari pertama kamu kerja disini?" tanya Satria, mengawali pembicaraannya mengerutkan kening Adam.
"Nggak ada masalah, karena pekerjaan manager sebelumnya sangat rapi, jadi saya tinggal membaca dan mempelajarinya saja," jawab Adam.
Menekan kuat ego di hatinya, berusaha bersikap biasa di atas amarah yang masih menguasai dan mengungkungnya.
"Aku tahu, yang aku tanyakan bukan pekerjaan kamu, tapi perasaan kamu,"
"Apa maksud anda?"
"Bagaimana rasanya bekerja di bawah kendaliku? suami dari Alira kekasih kamu?" lanjut Satria.
"Papa?" refleknya, membulatkan matanya, sesaat setelah membuka pintu utamanya, beradu pandang dengan Papa Bagaskara.Yang berdiri tegak di balik pintu utamanya yang terbuka."Ngapain kesini?" tanya Satria."Kenapa? Papa dilarang kesini?" jawab Papa Bagaskara, mengayunkan langkahnya, masuk ke dalam rumah memanggil Alira menantunya."M*mpus!" Batin Satria memejamkan matanya dalam. Sebelum membalikkan badannya, ikut mengayunkan langkahnya mengikuti Papanya."Mana istri kamu kok nggak ada?" tanya Papa Bagaskara akhirnya, karena panggilannya, tak membuat Alira keluar untuk menemuinya."Alira lagi keluar Pa, lagi jalan sama temannya," jawab Satria, berusaha bersikap tenang, masih mengayunkan langkahnya hendak duduk di atas sofa.Sebelum meraih sebungkus rokok yang ada di atas meja, mengambil sebatang rokok untuk di bakar dan di hisapnya.
Langit semakin menggelap, hampir menuju ke tengah malam, tepat di saat jam dinding yang menggantung di apartement Satria sudah menunjuk ke pukul 23:30.Terlihat Satria, menahan rasa geram di hatinya, menunggu kedatangan istri yang tak di dicintainya.Demi sebuah nama tanggung jawab yang harus di embannya, karena Alira, yang di nilainya begitu kurang ajarnya, tak tahu waktu pulang saat kencan, bersama dengan kekasih, Adam, pegawainya sendiri."Apa dia gila? bagaimana bisa? sudah jam segini masih belum pulang juga!" gerutunya sendiri.Dengan gerakan kakinya, berjalan mondar mandir di ruang tamu, kembali menggeser layar ponselnya.Kembali berusaha, untuk menghubungi nomor ponsel Alira, namun tak kunjung di jawab, membuatnya semakin marah dan emosi."Sialan!" umpatnya kasar, meremas dengan keras ponselnya sendiri, merasa tak di hargai.Sebelum mengalihkan pandangannya, masih dengan tatapan
Semilirnya angin, begitu sepoinya membelai dedaunan yang ada di depan gedung Antariksa Group. Tanpa mendung yang bergelayut, terlihat begitu cerah. Tepat di saat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Alira, sudah menunjuk ke angka sembilan lebih, menuju ke pukul sepuluh. "Terimakasih ya Pak," ucap Alira, segera turun dari taksi online yang di tumpanginya. Mendekap surat lamaran kerja yang telah di buatnya secara kilat, mengedarkan pandangannya, menatap tingginya gedung tempat kekasihnya bekerja, perusahaan tempat suaminya memimpin. "Selamat pagi Mbak, ada yang bisa saya bantu?" sapa Resepsionis, dengan begitu sopannya menyambut kedatangan istri dari CEO tempatnya bekerja, tanpa mengetahui status Alira. "Selamat siang Mbak, saya mau melamar pekerjaan, bisa saya ketemu sama Bu Gladis?" ucap Alira. Mengalihkan pandangan wanita muda itu ke a
Langit telah menggelap, bertaburkan bintang yang bersinar, bersama dengan sang rembulan, tampak begitu indah menampilkan bentuk sabitnya.Terlihat Alira, sedang menghidangkan dan menata beberapa menu lauk dan juga nasi yang baru di masaknya di atas meja makan. tampak begitu bahagia, mengulum senyum di bibirnya mengingat momen pertamanya bekerja di perusahaan suaminya.Flashback di Antariksa Group."Ahhh," pekik Alira, yang terkejut, akibat tarikan seseorang di tangannya, begitu tiba-tiba, tepat di saat dirinya keluar dari toilet wanita."Ssssttt," sahut Adam, memberikan kode kekasihnya itu untuk diam, dengan membekap mulut Alira yang berdiri, dan bersandar di dinding toilet, sebelum menarik tangan kekasihnya cepat, untuk di bawanya masuk ke dalam pintu darurat yang tak jauh dari toilet."Adam?" batin Alira, membulatkan matanya, seraya mengayunkan langkahnya cepat
Kantin perusahaan tak lagi ramai, terlihat semakin sepi, karena jam makan siang yang hampir habis."Kita balik ke ruangan Dam," Kata Anton, masih duduk di tempatnya hendak berdiri dari kursi.Di ikuti dengan Adam, sesaat setelah mengangguk pelan. Sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Alira, kekasihnya yang sedari tadi diam dan melamun."Ra," panggil Adam, dengan intonasi lembutnya.Tak mengalihkan pandangan Alira, masih saja diam, dengan pandangannya lurus kedepan, tak bisa melupakan video syur yang baru saja di lihatnya.Dengan durasi yang tak lebih dari lima menit, sangat cukup buat Alira, mengenali wajah cantik dari pemain video yang terlihat merem melek, menikmati permainan lelaki bertubuh sedikit dempal."Alira," lanjut Adam, menyentuh bahu Alira menyentakkan hati kekasihnya,"Ha?""Ayo balik, jam istirahatnya
"Pak Satria nya sedang keluar Bu, sampai sekarang belum kembali,""Keluar?""Iya," jawab Sekretaris mengangguk pelan."Sudah lama ya?""Dari jam sebelas siang tadi," jawab Sekretaris Satria, dengan begitu sopannya mengetahui status Alira."Terimaksih ya," kata Alira, mengulaskan senyum tipis di bibirnya, sesaat sebelum mengalihkan pandangannya, ke arah suara lelaki yang memanggilnya."Pak Adi?" gumam Alira, kembali mengulaskan senyum tipisnya, seraya menganggukkan kepalanya pelan menyapa Adi, tangan kanan sekaligus sahabat dari suaminya."Cari Satria Ra?""Iya Pak," jawab Alira, menganggukkan kepalanya pelan mengiyakan."Kita bisa bicara Ra? ada yang ingin aku bicarakan sama kamu," kata Adi, dengan gurat wajah seriusnya.Menghilangkan sikap bercandanya yang biasa dilakukannya.
"Alira!" panggil Bu Rani, dengan degup jantungnya yang tak karuan, berdiri di lorong yang menyambungkan antara pintu lift dan juga unit apartement menantunya.Mengalihkan kompak pandangan Adam dan juga Alira yang tersentak."Ibu?" gumam Alira, mebulatkan matanya, tak menyangka dengan kehadiran ibunya saat dirinya bersama dengan Adam, membuatnya begitu gemetar."Bu...," lirih Alira lagi, beradu pandang dengan sorot tajam mata Bu Rani yang terdiam, bersama dengan Aksa yang berdiri di belakang ibunya menatapnya dalam."Kalian masih berhubungan? dari mana kalian?" tanya Bu Rani, berusaha bersikap tenang, tak bisa percaya dengan apa yang di lihatnya.Bagaimana bisa? putrinya? yang sudah menjadi istri orang, ketahuan jalan bersama dengan mantan pacar? apa yang sudah Alira lakukan?"Selamat malam Tante," sapa Adam, menelan salivanya pelan menyapa ibu dari kekasihnya.Seraya mengulurkan tangannya ke d
Malam semakin larut, menambah suasana yang begitu hening, tanpa suara di dalam ruangan rawat Satria.Karena Alira, hanya duduk termenung sendiri di atas sofa, bersama dengan Aksa yang tertidur, meringkuk di atas sofa di sampingnya.Masih setia menunggu, menemani suaminya yang belum juga membuka mata, entah karena efek obat yang di beri Dokter dia pun tak mengetahuinya.Karena pikirannya yang melayang, tampak menari-nari, berusaha memahami semua yang terjadi namun tetap tak bisa di mengerti."Kamu sudah menjadi istri Ra, sudah tugas kamu untuk berbakti dan taat kepada suami kamu, jaga Satria, rawat Satria, jangan menyakitinya, karena surga kamu ada di tangan Satria Ra, ada di tangan suami kamu,"Kalimat Bu Rani, terus saja terngiang di kepalanya. Membuatnya semakin sedih, dengan kondisi hatinya yang merana, tak bisa melupakan kalimat demi kalimat Ibunya yang menyalahkanny