“Kamu di sini dulu. Kalau mau mandi dulu juga silakan. Jangan keluar!” Gerald segera mengenakan celana dan juga kausnya. Ia kemudian keluar dari kamar setelah merapikan diri agar tidak dicurigai oleh papanya itu . “Gerald?” Sekali lagi, lelaki itu memanggil nama anaknya. “Iya, Pa.” Gerald keluar dari kamarnya seolah baru saja bangun dari tidurnya. “Baru bangun tidur?” tanya Jason kemudian duduk di sofa ruang tengah. Gerald menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Ada apa, Pa? Tumben banget, datang ke sini. Tahu juga kalau aku ada di sini.” “Nanya Kayla, katanya kamu nggak ada di rumah. Papa hubungi dari tadi nggak diangkat-angkat.Tahunya lagi tidur.” Gerald tersenyum tipis. ‘Iyaa. Tidur sama perempuan,’ ucapnya dalam hati. Ia kemudian menatap sang papa yang terlihat lebih santai dari biasanya. “Kenapa, Pa? Ada apa, sampai hubungi aku berkali-kali, terus datangin aku ke sini?” Jason menghela napasnya dengan panjang. “Papa mau bahas pertunangan kamu dengan Cynthia.” Mata itu lant
Pagi hari telah tiba. Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Di dalam kamar, hanya berselimut tebal tanpa mengenakan sehelai benang pun. Gerald dan Sandra masih dalam keadaan tertidur dengan saling berpelukan. Setelah berbagai jenis perdebatan yang mereka lakukan, Sandra meminta Gerald untuk melepasnya jika dirinya hanya menjadi beban hidup lelaki itu. Gerald semakin murka dengan ucapan perempuan itu hingga membuat perdebatan sengit pun terjadi. Namun, akhirnya kembali reda setelah Sandra meminta maaf. Ia hanya ketakutan tidak mendapat restu dari papanya jika Gerald membangkang. Suara alarm membuat bising telinga keduanya. Sandra kemudian mengambil ponselnya dan mematikan alarm tersebut. Mengucek matanya dan melihat jam di ponselnya. “Heuuh? Udah jam tujuh. Aku masih di sini.” Sandra menoleh kepada Gerald yang masih menutup matanya. “Mandi dulu deh. Habis itu aku buatkan sarapan dulu untuk Gerald terus pulang. Aku takut Gery sudah pulang.” Sandra beranjak dari tidurnya kemudian m
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Sudah hampir sepuluh jam lamanya Sandra berdiam diri di kamar sembari memikirkan ucapan perempuan yang sudah menjadi perebut suaminya itu. Hanya satu yang jadi pikirannya. Apakah Gerald juga merasakan yang sama saat bercinta dengannya? Seperti patung manekin yang bernyawa, tidak berhasrat hanya untuk mengeluarkan puncaknya. Dengan tangan memeluk kedua lututnya, pikiran Sandra terus melayang pada ucapan menohok Gery dan juga Natasha. “Sandra!” Gery menghampiri perempuan itu. “Eeuh! Iya, Mas?” Ia segera bangun dari duduknya dan berdiri di depan lelaki itu. “Kamu sedang apa? Sudah masak atau belum? Aku lapar!” “Mas. Bukankah sudah ada Natasha yang bisa membuat hidup kamu seperti ini. Kenapa masih mengikatku? Bukankah pernikahan kita sudah tidak ada lagi yang harus dipertahankan?” Sandra meminta penjelasan kepada suaminya itu. “Bayar dulu utangmu, dan aku akan menceraikan kamu.” Sorot mata tajam itu membuat Sandra merinding mendengarnya. “Di
Gerald menatap wajah Sandra dengan tatapan tajam hingga membuat bahu perempuan itu meringkuk dengan kepala menunduk. Ia berani mengatakan hal itu kepada Gerald, tapi ada rasa takut juga yang menghantuinya. “Apa kamu bilang? Jangan hubungi kamu lagi? Semudah itu, kamu berucap kayak gitu ke aku setelah semua yang sudah kita lewati seperti tidak ada halangan untuk melakukannya.” Gerald mencengkeram bahu perempuan itu dengan suara cukup menekan. Sandra kemudian memberanikan diri untuk menatap Gerald yang tengah mengeluarkan kemarahannya. "Lalu, kamu pikir hubungan kita akan berjalan dengan baik?” tanyanya lemas. “Ya. Aku yang akan berjuang, Sandra. Kamu cukup jalani saja. Aku yang sudah memilih kamu untuk menjadi pasanganku. Itu artinya, aku sudah tahu konsekuensinya, apa yang harus aku lalui. Kamu takut pada Gery, itu wajar. Tapi, nggak perlu takut juga sama Papa. Dia urusan aku, bukan urusan kamu!” Gerald menegaskan sekali lagi kepada Sandra. Dengan cara apa pun, dia akan terus meya
Bukannya menjawab, Gerald malah tertawa mendengar permintaan dari perempuan itu. Ia kemudian melahap dimsum yang dia pesan. “Gerald, kenapa nggak jawab?” tanya Sandra kemudian. Gerald kemudian melirik Sandra sembari menyunggingkan senyumnya. “Maunya, aku jawab bagaimana?” “Yaa ... tentu saja, mau menolongku.” Sandra berucap dengan pelan seraya menyeruput minumnya. Gerald terkekeh pelan sembarui geleng-geleng kepala. “Gampang!” ucapnya enteng. Sandra kemudian menolehkan kepalanya dengan cepat kepada Gerald. “Serius? Kapan, Gerald?” tanyanya antusias. Gerald menatap Sandra dengan tangan menangkup wajahnya. “Challing aja, kalau si Gery udah nggak ada di rumah.” Sandra lantas menerbitkan senyumnya dengan lebar. “Terima kasih, Gerald. Aku akan kasih tahu kamu kalau Gery tidak ada di rumah. Sekali lagi terima kasih, Gerald.” Lelaki itu kembali menerbitkan senyumnya seraya mengusapi pucuk kepala Sandra dengan lembut. “Buat kamu, apa sih yang nggak.” Gerald terkekeh pelan. “Hanya sat
Sandra mengerutkan dahinya kala melihat Gerald mengambil sebotol wine di dalam lemarinya. “Kamu mau mabuk? Ini udah jam dua pagi, lho.” Gerald kemudian membuka tutup botol itu dengan menghiraukan ucapan Sandra yang tengah duduk sembari menyandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidur. “Emang kenapa?” tanyanya setelah meneguk wine tersebut tanpa dia tuangkan ke dalam gelas. “Katanya ada jadwal kuliah pagi. Kenapa malah mabuk? Apa yang buat kamu minum-minum, heum?” tanyanya kemudian. Gerald menelan saliva dengan mata sayunya menatap sang kekasih. “Lagi pengen minum aja. Jam sembilan, tidur jam empat pun bisa bangun lebih pagi dari perkiraan kamu. Kalau mau tidur, tidur aja. Nggak usah nunggu aku. Aku belum ngantuk.” Sandra kembali menatap Gerald yang tengah duduk di sampingnya seraya menyandarkan punggungnya. Masih dalam keadaan telanjang dada, hanya mengenakan boxer miliknya. Sementara Sandra masih dalam keadaan polos tak berpakaian. “Aku minta, boleh?” Gerald terkekeh pelan. “Ngg
“Gerald!” Suara perempuan memanggil Gerald yang tengah duduk di kantin dengan Joseph. Tak ingin menoleh, ia tahu suara siapa yang memanggilnya. Tak lain adalah Cynthia. “Ngapa, Cynthia?” Joseph yang menyapa perempuan itu. “Gue nggak lagi ngomong sama elo. Kedatangan gue ke sini karena ada urusan sama ... ekhem! Calon suami.” Joseph tertawa, meledek perempuan itu. “Calon suami? Punya cita-cita jangan ketinggian, Cyn. Kalau nggak kegapai, terus jatoh, sakitnya sampai ke ulu hati. Aneh lo! Baru dapat restu dari Om Jason aja udah bangga!” cibirnya kemudian. “Apaan sih, lo! Nggak usah ikut campur urusan gue lo, ya!” sengalnya kemudian.Gerald kemudian menatap datar perempuan itu. “Apa yang dikatakan Joseph emang bener. Punya cita-cita, jangan ketinggian. Papa kan, yang restuin elo? Nikah saja sono ... sama bokap gue. Kalau pengen nyawa elo hilang di tangan nyokap gue!” ucapnya kemudian menatap dengan sangat datar perempuan itu. “Gerald! Papa kamu udah bilang, kalau tunangan kita akan
Sudah selesai memasang CCTV di ruang tengah, Gerald akhirnya menghela napasnya dengan panjang kemudian duduk di atas sofa ruang tengah tersebut. Sengaja ia matikan terlebih dahulu karena ada hal yang ingin dia lakukan di sana. “Udah selesai, Seph. Elo boleh pulang!” ucapnya seraya mengusir sahabatnya itu. “Mau ngapain lo, di sini? Ini mah bukan mergokin si Gery, tapi kalian!” sengal Joseph kemudian. “Berisik lo! Udah sono, pulang. Lagian Gery nggak akan pulang juga malam ini. CCTV masih dalam keadaan mati. Terserah gue lah, mau ngapain juga di sini.” Joseph lantas memutar bola matanya. Ia pun mengambil tasnya dan keluar dari rumah tersebut. Tidak ingin mengganggu apa yang akan mereka lakukan di sana. Tiiinnn!! Suara klakson dengan rem mendadak membuat Joseph panik tak karuan. Hampir saja menabrak perempuan yang hendak menyeberang di depannya itu. “Maura! Woy! Kalau mau nyebrang lihat-lihat dulu! Gila apa lo!” sengalnya lantaran terkejut dengan kehadiran Maura di sana. Maura me