Share

Datang ke hotel

Bukan tak sakit harus bersandiwara seperti ini. Cintaku pada Mas Andri bukan sekedar cinta monyet kaum remaja. Tapi, cinta ini murni dari dalam hati dengan itikad  menjalankan rumah tangga yang harmonis. Karena Allah.

Dia yang sedari dulu kulabuhkan cinta, kini telah berkhianat. Amat sangat menusuk sanubari. Bukan sekedar mainan atau kebohongan belaka. Cinta suci ini telah ia nodai. Bahkan ingin ia nodai sampai ingin memusnahkan aku dari dunia ini. Setelah mendapatkan semua hartaku.

Tidak.

Kamu tak bisa lakukan itu, Mas. Kalian berdua amat menyakiti pikiran ini. Apalagi kudengar kalau aku akan segera kalian musnahkan. Pedih. Perih. Tubuh ini mengguncang hebat kala mendengar pembicaraan kejimu itu. Aku seperti benalu yang ingin kalian singkirkan sejak lama, mungkin. Tapi alasan harta dan tahta, itulah yang memperlambat laju kalian. Kalau itu cara kalian, aku juga punya cara lain.

"Aurel? Kok kamu udah rapi aja?" Mas Andri heran perihal aku yang sudah siap dengan pakaian formal untuk berangkat ke kantor. Sudah duduk rapi di depan meja rias tinggal meraih sebuah tas kecil yang selama beberapa hari ini tak pernah kupakai.

"Mas, aku ini hilang ingatan. Aku mau coba pulihkan lagi ingatanku. Aku akan ikut kamu ke kantor. Aku sudah siap. Yuk kita sarapan dulu!" ajakku padanya. Dia dengan wajah gugup kini menelan liur. Aku melihatnya. Seakan ketakutan kalau rahasianya diketahui.

"Jangan, kamu lebih baik di rumah saja. Kamu harus banyak istirahat, supaya kamu cepat pulih." Mas Andri mencegahku untuk datang ke kantorku sendiri.

"Kamu gak dengar apa kata dokter? Aku akan cepat pulih bila aku ini mau mencoba mengingat. Aku harus rileks dan bahagia. Jadi, hari ini aku akan ikut ke kantor. Kulihat di lemari banyak pakaian formal, itu artinya, aku memang biasa pergi ke kantor. Bantu-bantu kamu kali, ya? Atau aku ini kerja di kantor kamu juga? Seperti, aku jadi sekretaris kamu gitu?" cerocosku. Kami belum keluar dari kamar. Karena Mas Andri pasti ingin memastikan kalau aku tak akan ikut dengannya.

"Oke, tapi gak sekarang. Ingatan kamu baru pulih kemarin. Dan kamu masih harus banyak istirahat." Ia kembali meminta.

"Yah, jadi aku gak boleh ke kantor?" tanyaku kecut. Ia nampak sumringah. Pasti ini yang kamu mau kan, Mas?

Ia raih kedua pundakku. "Sayang, aku akan bawa kamu ke kantor aku. Tapi enggak hari ini. Kamu harus istirahat dulu yang full. Supaya kamu cepat pulih. Jangan lupa obatnya kamu minum lagi. Kan tiga kali sehari," pintanya. Agak memaksa. Padahal aku tak pernah minum obat itu. Baru akan hari ini aku datang ke apotek untuk pastikan, obat apa yang diberikan oleh si Maya.

"Hem, baiklah. Jadi kamu larang aku ke kantor dengan alasan kesehatanku? Bukan karena hal lain?" Aku coba menyelidik..

Ia kecup pucuk kening ini. Perasaan yang dulu terkagum-kagum diperlakukan bak putri olehnya, kini sirna. Rasa itu tak ada lagi. Pintar sekali kamu bersandiwara, Mas. Dan kamu telah mengajarkanku pula untuk menjadi pemeran sandiwara terbaik sejagat raya. Kamu pun tak pernah curiga kalau aku hanya memalsukan gerak-gerik ini.

Kami keluar kamar. Menuruni tangga bersama. Persis seperti sepasang mahligai yang baru saja terikat oleh pernikahan yang sakral. Namun ini berbeda. Tak lagi sama seperti dulu.

Foto-foto aku dan keluarga juga sudah di pasang kembali. Kilat sekali mereka bekerja. Kemarin-kemarin aku tak lihat foto apapun, kini sudah kembali tertata rapi di tempatnya.

Kulihat di meja makan sudah tersedia rupa-rupa sarapan pagi. Roti dan selai. Ada pula nasi goreng telur mata sapi. Kami berdua duduk di kursi meja makan.

"Silahkan, Non," tawar Simbok.

"Makasih ya, Bi," jawabku.

"Non, panggilnya Simbok, bukan Bibi. Simbok agak canggung. Biasanya Non kan panggil Simbok." Simbok memberi usulan perihal nama panggilan yang biasa aku panggil dulu.

"Em, maaf ya, Mbok. Aku masih lupa. Jadi aku panggil Simbok saja?" ujarku. Simbok mengangguk. Lalu ia pergi. Sedangkan kulihat Mas Andri seperti menyimpan senyuman dibalik wajahnya. Ia seperti bahagia melihatku lupa. Dan hanya dialah yang kuingat.

"Mas, ini, aku ambilkan. Kamu mau apa?" tanyaku pada Mas Andri basa-basi. Lalu dia menjawab kalau apapun ia akan makan. Asalkan aku yang mengambilkannya. Lebay.

Kuberi ia senyuman manis sambil menempatkan secentong kecil nasi goreng dengan tambahan satu buah telur mata sapi. Kusiapkan di hadapannya.

"Makasih, Sayang. Beberapa hari ini aku terpuruk atas hilangnya ingatan kamu. Dan sekarang, Alhamdulillah perlahan kamu sudah pulih. Sayangnya, kamu hanya ingat aku saja." Ia membualkan rayuan gombal. Supaya aku jatuh di buaiannya.

"Makasih ya, Mas. Semoga ingatan aku cepat pulih lagi. Meskipun kata dokter akan membutuhkan waktu yang lama." Aku menjawab dengan senyuman yang dibuat-buat amat ikhlas.

"Iya. Yuk makan!" pintanya dengan elusan tangan. Manis sekali kamu, Mas. Tapi Sayang, hanya pemanis buatan. Ada tanggal kadaluwarsanya.

***

"Mbok, aku mau pergi dulu." Aku pamit pada Simbok yang sudah mengetahui semua sandiwaraku. Bahkan ia juga sedang bersandiwara supaya aku terlihat seperti tak mengingatnya sedikitpun.

Aku bicara pada Simbok di area yang tak terlihat oleh CCTV. Dan kami sudah tahu dimana kami harus bicara.

"Non mau kemana?" tanya Simbok.

"Ada saja. Sekalian aku mau ke apotek. Aku akan cek obat yang diberikan Maya kemarin."

"Hati-hati, Non. Non sama supir saja," usul Simbok. Kugelengkan kepala ini. "Enggak. Biar aku sendiri saja." Aku menjawab. Lalu aku pergi. Simbok memesan supaya aku hati-hati saat berkendara. Apalagi ia trauma dengan kecelakaanku waktu itu. Yang membuat ingatan ini beberapa hari hilang.

Segera kuraih kunci roda empat dari mobil keluaran terbaru. Sudah beberapa hari aku tak mengendarai mobil kesayanganku. Bahkan hampir lebih dari satu minggu. Karena aku belum bisa keluar rumah. Dengan alasan tidak diperbolehkan oleh majikan, dulu. Haha.

Mobil yang kukenakan pas kecelakaan belum dibawa pulang 'kah? Atau masih dibetulkan? Yang jelas mobil yang kupakai kala itu tak kulihat di garasi, hanya sebuah Lamborghini Urus berwarna hijau yang baru kubeli beberapa bulan yang lalu. Kuapaki itu saja jadinya. Memang sudah berniat sejak awal.

Kubuka pintu mobil yang masih mengkilap. Aku tak tahu apakah Mas Andri pernah pakai mobil ini bersama Maya atau tidak, yang jelas untung saja Mas Andri tak ada niat untuk berikan mobil ini padanya.

Pas masuk, tak ada apapun yang aneh. Semua bagian dalam mobil masih mulus. Tak ada lecet atau bekas dipakai jarak jauh. Kilometernya pun hanya bertambah beberapa. Berarti Mas Andri pernah kendarai ini. Namun tak sampai keluar kota.

Penasaran. Kubuka dashboard. Siapa tahu aku temukan sesuatu. Dan ya, bola mata ini terbelalak kala melihat sebuah brosur hunian berupa apartemen mewah. Jelas bukan aku yang simpan ini di laci. Dan disana nampak pula nama dan nomor kontak marketing dengan rinci. Langsung saja kubawa brosur itu. Lalu kusimpan di tas. Nanti akan kuhubungi.

Mulai menancap gas. Benak ini sudah mulai bekerja dan berfikir kalau Mas Andri berniat membelikan hunian untuk dirinya atau untuk Maya. Pakai uangku.

Sebelum ke apotek, lebih baik kuluncurkan roda empat ini ke arah hotel. Tempat kerja yang selama beberapa tahun belakangan ini kujadikan tempat memperbaiki ekonomi. Di hotelku sendiri.

Pas sampai langsung memarkir mobil di halaman kantor. Aku tak melihat mobil Mas Andri di parkiran. Baguslah kalau tak ada. Biar aku leluasa masuk.

"Silahkan masuk, Bu Aurel!" salam sapa security hotel. Masih tetap sama. Tidak di rubah. Aku fikir Mas Andri memecat karyawan dan mengganti yang baru.

"Pak Andri dimana?" tanyaku padanya seusai menjawab sapaan.

"Pak Andri tadi sudah kelur lagi, Bu. Bersama sekretarisnya." Mendengar jawaban Pak Asep security hotel, aku lumayan kaget.

"Sekretaris? Bersama Irlan?" selidikku. Pak Asep sudah kerja lama. Jadi dia tahu semua pegawai kantor di staff struktural.

"Bukan, Bu. Bersama bu Maya. Pak Irlan sudah tak kerja lagi. Dia sudah dipecat, empat hari yang lalu." Jawaban Pak Asep makin membuatku terkejut. Di pecat?

"Oh, oke." Aku langsung lanjut masuk. Urusan Irlan biar nanti. Jadi Mas Andri naikan jabatan Maya jadi sekretaris? Punya keahlian apa dia? Bisa-bisa kantor jadi berantakan.

Resepsionis hotel masih sama. "Bu Aurel? Selamat datang, Bu. Ibu sudah sembuh?" tanya Amira dan satu orang rekannya. Dengan penuh santun mereka menyapa.

"Iya, sudah. Oh ya, pak Andri kemana?" Penasaran kutanya lagi pada mereka. Amira dan Sofie nampak menunduk. Sesekali saling senggol. Seperti ada rahasia.

"Jawab! Kalau kalian tidak jawab jujur, hari ini adalah hari terakhir kalian kerja. Kalau kalian ketahuan bohong, kalian akan ditendang tanpa pesangon," ancamku. Mereka nampak meringis ketakutan.

"Tap-tapi, jangan bilang sama pak Andri saya bilang sama Ibu ya, Bu." Sofie menjawab. "Kenapa?" Aku sudah tak asing. Pasti mereka mau bilang suamiku keluar bersama selingkuhannya.

"Ayok!" gertakku.

"Pak Andri keluar. Memang seperti biasa, dengan bu Maya. Jangan pecat saya ya, Bu. Saya gak bohong!" pinta Sofie. Dan Amira hanya diam.

"Lalu Amira, kamu mau saya pecat?" ancamku pada Amira yang hanya diam saja. Apa mereka satu kubu? Amira dengan Maya.

"Enggak, Bu, enggak. Jangan pecat saya. Saya juga tahu. Tapi pak Andri bilang jangan kasih tahu sama Ibu kalau kelak Ibu sembuh dan datang bersamanya." Sofie akhirnya angkat bicara.

"Bagus! Yang gaji kalian saya. Bukan pak Andri. Kalian hanya harus bersikap baik dan turut pada aturan hotel ini. Bukan pada pak Andri. Ngerti!" perintahku. Mereka segera manggut-manggut.

Dengan cepat aku berjalan ke arah lift. Berniat menemui bagian accounting. Akan kuselidiki seluruh laporan keuangan selama beberapa minggu ke belakang. Kalau ada penyelewengan dana diluar hotel, Mas Andri yang akan kuciduk.

Beberapa menit kemudian.

"B-Bu A-Aurel?" sapa Rudi bagian accounting. Dia seakan tahu sesuatu tentangku. Raut wajahnya memperlihatkan kekagetan amat sangat.

"Kasih saya laporan beberapa hari ke belakang saat saya tak masuk kerja." Aku meminta.

Rudi gugup. "Lho, bukannya nanti di akhir bulan saya kasih laporan, Bu," jawabnya. Aneh. Rudi kok jadi ngeyel?

"Lho, ini kantor saya. Yang punya saya. Terserah saya mau minta laporan tiap jam 'kek, tiap hari 'kek. Tugas kamu hanya berikan yang saya minta. Cepat. Atau saya akan cari sendiri. Awas!" Aku berniat menyingkirkan Rudi.

"Mau saya pecat? Tanpa pesangon?" ancamku lagi.

"Ja-jangan, Bu, anak istri saya mau makan apa?" jawabnya ketakutan.

"Ya sudah. Kamu kerja buat kantor saya. Bukan buat perorangan yang berani suruh-suruh kamu." Aku kesal. Akhirnya Rudi mengangguk. Ia mulai mencari dan mencetak apa yang aku minta. Beberapa menit menunggu.

"I-ini, Bu." Cepat sekali dia.

Langsung kuambil. Kubawa ke meja ruangan, dimana kursi putar yang selama ini di duduki Mas Andri, kini kududuki lagi.

Penasaran langsung kubuka. Lembaran setiap lembaran kubaca dan kukaji dengan teliti. Tak ada yang aneh. Semuanya baik-baik saja. Aku tak percaya.

Dengan demikian aku balik lagi ke ruangan Rudi. Disana kudengar ia sedang bicara dengan seseorang. Seperti menyebut-nyebut namaku. Dan langsung saja kuhampiri dia.

"Rudi?" Seketika posisi tubuh Rudi membalik seratus delapan puluh derajat. Ia kaget dengan kedatanganku lagi yang tiba-tiba. Dengan cepat Rudi tutup panggilan. Aku sudah yakin, pasti dia telepon Mas Andri.

"B-Bu?" Dia gugup.

"Oke, hari ini kamu saya pecat." Aku langsung ambil keputusan. Wajahnya langsung pucat. Kaget dan panik.

"Lho, salah sa-saya apa, Bu?" tanyanya.

"Kamu gak salah. Yang salah itu saya, kenapa saya pekerjakan kamu. Kamu berikan laporan palsu pada saya. Tidak sesuai yang saya inginkan. Jadi silahkan sekarang kamu pergi. Beresi semua barang-barang kamu."

Apa yang terjadi? Rudi malah bersimpuh.

"Maaf, Bu, maaf. Iya, saya bohong. Tapi itu atas permintaan pak Andri."

"Lalu yang gaji kamu Andri?" Akhirnya aku tahu kalau ia bohong. Padahal aku hanya mengertaknya saja.

"Bu, jangan pecat saya, Bu. Saya mohon. Oke, saya kan berikan laporan keuangan yang benar, Bu. Ini, ini, saya akan cetak." Dia segera bangkit. Bola matanya mulai berkaca-kaca.

Setiap diancam, baru ngaku.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status