Dua tahun telah berlalu dengan cepat. Banyak yang sudah dilalui Lila selama belajar di negeri orang dengan perbedaan budaya dan latar belakang.
Lila bukan lagi Lila yang dulu. Penampilannya kini lebih modis dengan tatanan riasan wajah tipis dan segar yang banyak dipelajari dari teman-teman barunya. Tidak hanya penampilan, kepribadian Lila juga banyak berubah. Perempuan yang banyak menunduk itu, kini bisa menatap lawan bicaranya dengan percaya diri.Senyuman juga banyak menghiasi wajah Lila di akhir-akhir masa belajarnya. Ia tidak sabar untuk bisa terjun ke dunia mode dan mengembangkan dirinya.Lila siap menghadapi hidupnya yang baru. Menata masa depannya dengan anak semata wayang yang entah mengapa rasanya semakin hari, semakin bertambah rasa cinta Lila pada Raga.Padahal Lila masih teringat jelas bagaimana ia menolak Raga. Ia bahkan tak mau menyusui Raga dan sangat muak dengan suara tangisan Raga.Kini semuanya berbeda, Lila siap meIa segera beranjak menuju cermin dan mendapati lipstiknya sedikit tidak rapi karena ciuman panasnya tadi. Tiba-tiba ia kembali terbayang lembut dan hangatnya bibir Banyu. “Gila! Gila! Gila! Stop Lila! Kendalikan dirimu,” ucap Lila sambil mengatur nafasnya agar ia tidak gugup. Cepat Lila membenarkan riasannya. Ia juga menormalkan detak jantungnya sebelum keluar dari kamar. Berharap bisa menutupi kecanggungan yang akan muncul jika berhadapan dengan Banyu. Lagi-lagi, bukannya tenang. Lila terus teringat dengan ciuman mesra Banyu. Lila mendesah resah. Ia takut tak bisa menyembunyikan rasa gugup di wajahnya. Dugaannya benar, Baru saja ia keluar kamar. Lana sudah memandangnya dengan tatapan nakal yang membuat Lila memutar mata malas. “Kau pasti sudah tidak bisa menahannya kan? Jujur saja!” ucap lana bersemangat dan semakin bersemangat melihat pipi Lila yang bersemu merah. “Ah, kamu menggemaskan! Padahal aku ingin merebut laki-lak
Ketiganya kini berada di tempat piknik di kota New York dengan pemandangan patung Liberty. Hawanya yang sejuk karena banyak pepohonan berjajar membuat Raga tertidur pulas hanya beralaskan tikar piknik. Anak laki-laki itu sepertinya kelelahan setelah puas berlarian di sepanjang taman. Raga juga mungkin kelelahan karena banyak bertanya ini dan itu dan yang paling mengejutkan Lila, pria kecilnya itu bisa menggunakan bahasa inggris sederhana untuk menyapa anak-anak kecil yang lainnya. Lila memandang anaknya kagum, malaikat kecilnya itu membuat Lila banyak bersyukur. Ia jadi mengingat kembali bagaimana ayah kandung Raga dulu bersikap sebelum perusak rumah tangga itu masuk dalam kehidupan mereka. Lila mendesah kasar. Ia mengusap pipi anaknya pelan sesekali. Kemudian matanya memandang sekeliling taman dengan perasaan tenang dalam dadanya. “Lila ternyata masih Lila yang dulu. Suka mikirin masalah yang besar padahal spacenya cuma dikit. Kamu mikirin ap
Banyu menurunkan Lila dan Raga di salah satu pusat perbelanjaan. Lila rencananya akan bertemu dengan Lana di tempat itu. Agenda hari itu adalah pertemuan terakhir keduanya sebelum Lila kembali ke Indonesia dan Lana melanjutkan perkuliahannya di California. “Nanti kabarin aja kalau kamu udah selesai ya, La?” ucap Banyu dari dalam mobil. Lila mengangguk. “Kamu hati-hati, Mas.” Banyu mengangguk. Pria itu kemudian melambaikan tangannya pada Raga dan disambut dengan lambaian tangan juga oleh Raga. “Hati-hati Yayah!” seru Raga yang membuat Banyu dan Lila tertawa lebar. Setelah Banyu berlalu, Lila mengajak putranya itu untuk berjalan-jalan sambil menunggu kedatangan Lana. Mereka terlihat sangat akrab berjalan bersama. Raga yang sangat ceria tampak menikmati segala pemandangan baru yang ia lihat. Tampaknya Banyu memang tidak perlu meragukan kedekatan keduanya. Walaupun lama keduanya tak bersua, nyatanya genggaman sang ibu dan suara
Perjalanan panjang New york ke Jakarta membuat Lila tertidur pulas dengan Raga dalam dekapannya. Setelah pagi tadi mereka sampai, Lila dan Raga langsung mandi dan beristirahat. Hingga waktu menunjukkan pukul satu siang, keduanya belum ada yang terbangun dari mimpi indahnya. Sementara itu Banyu sedang bersantai dengan Diani di halaman belakang rumah mereka. "Ibu denger kamu udah ngelamar Lila ya?" tanya Diani datar seolah tak antusias, padahal ia sudah sangat ingin mendengar jawaban Lila menerima lamarannya. "Lila cerita sama Ibu?" tanya Banyu heran. Diani menggeleng. "Dari anak perempuan ibu yang lain," jawab Diani enteng. "Siapa?" "Lana," ucap Diani dengan senyuman mengembang di wajahnya. "Lana? Ibu ada komunikasi sama Lana? Lana temen Lila kan?" tanya Banyu memastikan. "Iya, Lana yang itu. Ibu seneng kirim pesan sama Lana. Anaknya ceria banget. Lucu lagi. Gimana menurut kamu, cocokkan sama Kai?" tanya
Lila tampak cantik dengan dress berwarna khaki yang melekat pas di tubuhnya. Lekukan tubuhnya yang bagai masih gadis terbungkus apik tertutup dengan jas bermotif plaid. Rambutnya yang tergerai, semakin menampilkan kesan cantik dan manis secara bersamaan. Disebelahnya Diani yang terlihat lebih casual memakai celana putih dan kemeja putih ditutup dengan luaran rajut yang menawan. Wajah tuanya semakin tertutupi dengan gaya Diani. Apalagi bentuk tubuhnya yang langsing memuat Diani tidak tampak tidak seperti seorang wanita yang memiliki anak sulung berumur tiga puluh tahun. Diani memang selalu mengagumkan sejak muda. Keduanya disambut dengan baik di lobby gedung bertingkat yang lumayan tinggi di kawasan itu. Para karyawan sudah pasti tahu bahwa wanita paruh baya yang bergaya san
Elle baru saja memarkirkan mobilnya dan melihat sepupunya turun dari mobil. Mereka terlihat berjalan bersisian. Sesekali Banyu tampak manis karena merengkuh bahu Lila untuk menjauhkan Lila dari bahaya seperti tidak sengaja mengenai pinggiran pintu masuk atau menyentuh pegawai lain. Elle tertawa kecil melihat sikap Banyu. Setelah bertahun-tahun sepupunya itu seolah terkungkung dengan masa lalunya. Kini Banyu sudah banyak berubah. Benar yang dikatakan oleh sahabat Banyu bernama Attar, namanya saat ini adalah Ocean ‘Bucin’ Adnan. Elle sampai menggeleng melihat tingkah posesif Banyu. Jika jadi Lila, Elle tidak akan sanggup menghadapi hari pertama kerja. Kedekatannya dengan Banyu terlalu berlebihan dan mencolok. Nanti ia akan menanyakan komentar pegawai yang lain soal Lila. Ia ingin tahu gosip terbaru apa yang tersebar di dalam grup pesan karyawan kantor.
Lila menyambut hari dengan ceria. Jarinya yang lentik menari indah diatas keyboard. Dia begitu fokus dengan pekerjaannya, berharap hasil laporan yang dikerjakannya bisa memenuhi kepuasan dirinya juga timnya. Meski baru dua hari bekerja, Lila berusaha keras untuk memantik semangat dalam dirinya agar ia bisa bertahan lama di pekerjaannya saat ini. Pekerjaan yang sepertinya hanya bisa jadi angan-angannya dulu. Terlalu fokus membuat Lila tidak menyadari bahwa ada Arletta, teman satu timnya yang memandang Lila dengan senyum merekah. Ia sangat senang dengan semangat Lila yang begitu membara untuk berusaha belajar dengan baik di tim R&D. Kasak-kusuk yang terdengar di luaran sana tentang Lila yang katanya ibu bos dari perusahaan dalam satu gedung yang sama, tidak membuat mereka memperlakukan Lila secara khusus. Merek
Sudah hampir setengah hari ini Banyu melamun. Semenjak kedatangan Elle tadi pagi, ia terus memutar banyak memori dalam otaknya. Ada pergulatan batin antara hati dan pikirannya. Bukan, permasalahannya bukan Meira. Tapi anak yang bersama Meira yang disebutkan Elle. Sepupunya itu membuat Banyu menerka-nerka, seperti apa anak yang katanya mirip dengannya. Apakah benar begitu mirip itu dengan dirinya saat ia masih sekolah dasar? Terpenting dari itu semua, bagaimana jika anak itu benar anaknya? Hatinya bimbang, apakah dirinya bisa menerima anak itu? Dahulu kehadiran pria kecil itu memang sangat dinantikan oleh Banyu. Perasaan yang tak sempat disalurkan itu pun sepenuhnya ia salurkan kepada Raga. Sekian lama Banyu berkutat dengan pemikiran itu, tiba-tiba Banyu teringat tent