Menyambut kelahiran anak ketiga yang tinggal beberapa minggu lagi, membuat Lila dan Banyu sangat berdebar. Lila yang tak mengkhawatirkan kehamilannya karena dokter mengatakan bahwa Lila sejauh ini sehat dan bisa melahirkan normal meskipun sebelumnya telah melahirkan sesar.
Banyu sangat bersemangat menyambut kelahiran putranya. Ia bahkan sudah mempersiapkan sebuah kamar khusus untuk bayinya, juga melengkapi semua peralatan untuk bayinya.
Meski Lila mengatakan bahwa putra mereka bisa menggunakan barang milik Kakaknya yang juga masih bagus, tapi Banyu tentu saja menolak. Ia menginginkan semua barang baru untuk bayinya.
Saat Banyu terdiam dengan ponselnya, saat itulah Lila curiga. Pria itu bisa saja sedang melihat sesuatu untuk putranya dan tiba-tiba saja membelinya. Seperti saat ini, suaminya sudah tenggelam dengan
Suara tangis yang pecah di tengah hiruk pikuk ruangan, membuat basah sepasang mata milik suami istri yang semenjak tadi sudah saling menggenggam erat tangan satu sama lain. Bahkan keduanya pun tidak menyadari ada beberapa luka di bagian tangan pria yang semenjak tadi menggenggam tangan istrinya dengan beribu rasa membuncah dihatinya. Lila mulai bisa mengatur nafas setelah mengejan cukup lama. Air matanya dan Banyu tak lagi bisa terbendung. Rasa syukur terus mereka ucapkan, sampai seorang perawat menunjukkan bayi tampan yang sangat mirip dengan Lila tengah menangis hebat. "Hello, boy. Welcome to the world. Terima kasih sudah berjuang dengan baik sama Mama. Ayah sayang kalian," ucap Banyu yang kemudian mencium kening anaknya lama dan kemudian mencium kening Lila hangat
Banyu memandangi Bara, Raga, dan Noah yang bermain bola bersama di halaman belakang. Ketiganya tampak akrab meskipun selisih umur diantara mereka cukup jauh. Banyu bersyukur, meskipun ketiganya memiliki orang tua yang berbeda, tapi mereka bisa sangat akur. Lila yang datang dengan membawa satu pitcher sirup dengan beberapa gelas, disambut hangat oleh Banyu. Pria itu bahkan sudah berdiri membantu istrinya membawa minuman yang terlihat berat di tangan Lila. Saat keduanya sedang duduk bersantai, Banyu yang awalnya memusatkan perhatiannya pada ketiga anaknya, kini mulai menatap lekat istrinya. Senyumnya tersungging saat melihat wajah Lila yang tidak berubah dan tetap cantik tanpa polesan make up. "Kenapa sih, Mas? Jangan gitu ah! Ma
Banyu menggamit lengan Lila di sebelah kirinya sementara tangan lainnya menarik koper. Senyumnya mengembang saat mereka melangkahkan kaki di New York, tepatnya di bandara John Kennedy. "Mau makan dulu atau langsung ke hotel, Sayang?" tawar Banyu, tidak berselang dua detik, perutnya sudah keroncongan dan terdengar jelas di telinga Lila. "Ya jelas makan dulu lah, Kamu sudah kelaparan begitu, Mas," jawab Lila dengan tawa kecil. Banyu pun ikut tertawa karena tidak punya pilihan lain. "Tapi kalau kita makan dulu bakal ketinggalan kereta. Yang penting kita naik kereta dulu biar cepat sampai hotel," ujar Banyu yang sudah lumayan paham trik perjalanannya. Keduanya memang ingin merasakan perjalanan yang baru. Terbiasa di antar jemput dengan fasilitas perusahaan, membuat kedua
Niat hati ingin ke New York selama sepuluh hari untuk liburan dan mengurus pekerjaan, Lila dan Banyu malah belum juga pulang sampai hari ke dua belas. "Ayolah, Mas. Kita pulang, kasihan anak-anak. Ibu dan Papa juga kasihan jagain anak kita terus," ujar Lila saat Banyu menyeruput kopinya di pagi hari. "Lho, 'kan kamu yang bikin kita lama di sini," jawab Banyu seperti tanpa beban. "Lagian Mas Banyu bukannya ketemu klien dulu malah duluin jalan-jalan." Lila tidak mau dituduh begitu saja. "Justru itu yang utama, kamu harus bersenang-senang, Sayang. Di rumah kamu pasti sibuk ngurus anak-anak," ucap Banyu sembari melompat ke ranjang menjajari Lila yang sibuk mengedit foto. Lila beringsut, akhir-akhir ini kata 'bersenang-senang
Dengan tangan gemetar, Lila mengambil sebatang testpack. Seketika Ia terhenyak melihat dua garis merah yang terpampang di sana, sekali lagi Ia pun mengerjap memastikan dirinya tidak salah lihat. "Tidak," desisnya tidak percaya. Wajahnya merah padam dengan air mata yang siap ditumpahkan. Ia memutar knop pintu kamar mandi dan bergegas keluar. Rasanya sudah seperti tidak menginjak bumi lagi. Perlahan, air matanya pun berjatuhan. Ia langsung menyekanya karena menyadari Banyu berdiri tidak jauh darinya. "Kamu kenapa?" tanya Banyu khawatir. "Tidak." Lila pun menggeleng. Ia tidak yakin jawabannya adalah untuk menyangkal atau menyembunyikan sesuatu, mungkin keduanya. "Ada sesuatu yang salah?' tanya Banyu sekali lagi sambil mence
Lila yang awalnya tidak bisa menerima kehamilannya, akhirnya berhasil melewati sampai akhirnya dua buah hatinya lahir. Dua bayi perempuan yang lahir hanya berselang beberapa menit, diberi nama Sheena dan Shana. "Yang ini namanya Sheena Jasmine Adnan." Banyu menunjuk bayi yang bertubuh sedikit lebih kecil yang lahir lebih dulu. "Sedangkan yang ini Shana Rose Adnan," lanjut Banyu menjelaskan kepada petugas Rumah Sakit yang mencatat kelahiran dua anaknya. "Baik, Pak. Sudah kami catat, terima kasih." Petugas pun pamit dari ruang rawat VIP tempat Lila dan si kembar masih terbaring. Jika diamati dengan saksama, keduanya memiliki wajah kemerahan yang sangat mirip dengan warna khas Lila, kulit Indonesia. Banyu tidak henti-hentinya mengabadikan mereka ke dalam memori handphon
Empat Tahun KemudianRemaja berumur tujuh belas tahun itu berdiri tegak menatap ring basket yang jauh di depannya. Matanya memicing tajam dengan keringat bercucuran, membuat semua wanita disana hening dan menatap penuh kagum pada laki-laki dengan kaos basket bernomor punggung sebelas bertuliskan nama Adnan.Bara terlihat memantulkan bola basket itu sebelum akhirnya meluncurkan bola itu ke udara. Waktu berjalan seolah melambat ketika bola basket berputar-putar di udara, menembus sinar matahari yang terik. Suara "swish" terdengar saat bola itu melewati ring basket dengan sempurna.Para siswi yang berada di sekitar lapangan bersorak riuh dengan penuh kegembiraan. Sorakan mereka menggema di lapangan. Untungnya teman-teman Bara sudah cukup terbiasa dengan kelakuan para siswi sekolah mereka ketika Bara bermain basket di Lapangan. Mereka tentu saja tidak terganggu dengan tingkah centil para siswi disana.“Gila sih, Bro!” ucap salah seorang remaja laki-laki yang lain dengan rambut berwarna ke
“Keduanya sudah saya tanya, tapi tidak ada satupun yang mau menjawab tentang permasalahan apa yang sebenarnya membuat mereka bisa bertengkar seperti itu. Di sini pihak sekolah ingin melakukan mediasi. Seperti Bapak dan Ibu tahu, sekolah ini merupakan sekolah dengan reputasi yang baik. kasus seperti ini jarang terjadi di sekolah. Kalau pun terjadi, kami ingin ikut menangani dengan baik hingga mencapai kata sepakat,” ucap kepala sekolah itu dengan bijak.“Saya ingin meminta maaf–”“Opa,” sergah Raven tak suka.“Diam kamu! Sejahat apapun kata-katanya, apa kamu berhak meludahinya. Dia Kakakmu Rav!” hardik pria tua itu tegas.Raven terdiam. Ia tak suka mendengar kenyataan lelaki yang membuat semua pertengkaran di rumahnya dan membuat Mamanya meninggal adalah Bara. Jika Bara punya Ayahnya sendiri dan tidak ikut di rumah itu, ia pasti tidak akan kehilangan Ibunya. Juga tak perlu melihat Ayahnya yang marah hingga kesetanan. Semua ini adalah salah Bara.Sementara itu semua orang di ruangan itu