Langkah Miriam terhenti di depan pintu. Ia tak jadi kembali ke unit apartemennya. “Permisi, saya hanya ingin berkenalan,” ucapnya sopan. Namun, tidak terdengar jawaban.“Permisi ….” Seperti tidak ada kerjaan, Miriam masih saja bersikeras untuk masuk ke unit apartemen tetangganya. Firasatnya mengatakan, ada sesuatu yang salah. Ia ingin memastikan kecurigannya.“Oh, Halo!” Tiba-tiba, suara seseorang mengejutkan Miriam. Gadis itu menoleh ke arah belakang dan mendapati kenalannya sedang berdiri di sana. “Nona reporter, apa kabar?” sapanya ramah.“Saya baik-baik saja. Apa yang Anda lakukan di depan rumah saya?” tanya Mahya keheranan. Tidak dipungkiri, jantungnya juga berdegup kencang. Ia khawatir, Miriam bertemu dengan Lara yang statusnya masih disembunyikan.“Ah, saya ingin menyapa Anda! Ternyata … memang tidak ada orang di sana. Saya tadi mendengar ada barang pecah. Saya pikir … di sana ada seseorang,” kata Miriam sambil merapikan anak rambutnya.“Ah. Mungkin itu kucing saya. Dia meman
Seno menatap nanar ke langit-langit ruangan. Bayangan wajah Lara tiba-tiba menjelma. Saat ini, ia bergidik ngeri dan mulai berkata pada dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.“Bagaimana hasilnya? Wanita itu sudah tewas?” tanya Seno ketika anak buah yang diperintahkan untuk menghabisi Lara baru saja menampakkan dirinya.“I–itu ….” Ia tak kuasa meneruskan ucapannya.“Itu, apa?!” Seno berteriak marah. Jangan sampai jejak kejahatannya tertinggal pada sosok Lara. Istrinya, ralat, mantan istrinya itu harus sudah lenyap dari dunia ini beserta identitasnya yang sudah tersapu bersih tanpa sisa.“Ada seseorang yang menyelamatkannya, Bos!” lapornya kemudian dengan nada yang dikuat-kuatkan. Ia harus tampak tegas jika tidak ingin berakhir menjadi mayat di tangan si pemberi kerja.“BAJINGAN! Bagaimana bisa?!” Seno bangkit dari tempat duduknya. Padahal, ia baru saja menikmati kesuksesan dengan penemuan obat penawar yang selama ini selalu gagal. Berkat Lara, impian Seno menjadi mudah. Anak
Lara menggigit bibirnya. Derai air mata kembali membasahi wajahnya. “Ba–bagaimana bisa ….” Ia bahkan tak bisa melanjutkan perkataannya. “Lara. Bersabarlah. Ini hanya doku–” “Tapi. tetap saja! Seno benar-benar mempermainkan aku sejak awal, Mahya!” potong Lara cepat. Mahya hanya menghela napas dalam. Memang begitulah yang dipikirkannya. “Dia memang begitu. Sejak awal, terlihat seperti itu, Lara,” imbuh Mahya yang membuat tangis Lara semakin kencang. “Sabar … sabarlah, Lara,” Mahya menepuk pundak Lara, kemudian memeluknya. Ia mengerti bagaimana perasaan Lara. Disakiti, dikhianati dan … hampir meregang nyawa di tangan suami sendiri, hal itu sungguh berat untuk dilalui. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa menanggung beban seperti itu seorang diri. “Aku harus kembali ke rumah Nenek, Mahya! Nenek Seno pasti akan mengakuiku. Dia orang yang sangat baik. Antar aku ke sana, Mahya. Tolong ….” pinta Lara memelas. Mahya menggeleng lemah. Sangat beresiko menjalin kontak dengan keluarga S
“Saya hanya bisa memberi ini, Bu. Kami akan pindah ke Singapura,” ucap Melati sambil menyodorkaN sepucuk surat kepada Lara. Meski dalam penyamaran, Melati dapat mengenali sosok sang majikan dengan baik. Berbeda dengan keluarga Lara yang bahkan tidak repot mengkhawatirkannya. “Mela ….” Lara mendesis pelan. Air mata kembali terbit dari pelupuknya. “Ibu yang sabar ya. Semua yang saya ketahui, saya tulis di surat itu. Saya baru bisa memberikan kepada Ibu, hari ini. Percayalah, Bu. Saya tidak ikut ambil bagian dalam skema kejahatan Tuan. Tetapi ….” Melati memotong ucapannya. Beberapa orang pria besar mulai bersikap waspada dan menatap punggungnya dengan curiga. “Tetapi apa, Mela?” Lara penasaran dengan kelanjutan perkataan sang asisten. “Saya harus pergi! Ibu! Menjauhlah dari sini, oke!” “Melati!” Lara memekik ketika punggung gadis itu menjauh pergi. Namun, Lara segera membungkam mulutnya sendiri ketika matanya menangkap sosok pengawal yang mencengkeram Melati kuat. “Apa yang terjadi
Mobil hitam Mahya melaju dalam kecepatan rata-rata, menjauh dari kantor Seno dan segala mara bahaya yang mungkin mengintai mereka di sana. Seiring kendaraan mereka menjauh dari kantor pusat S-Group, seiring itu pula perasaan berat yang dirasakan oleh Lara terangkat sedikit demi sedikit. Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan, betapa Lara merasa bersyukur bahwa Mahya dapat kembali dengan selamat. Apalagi, gadis itu juga membawa serta data-data untuk membongkar kecurangan Seno dalam pendirian perusahaan. “Aku tidak percaya kita bisa di titik ini, Mahya,” ucap Lara dengan haru. Mahya tersenyum cerah ke arah sahabatnya. “Ya, kau selalu bisa mengandalkanku,” selorohnya sambil terus fokus ke jalanan yang mulai dipadati beberapa kendaraan. Ruas jalan Jakarta kembali padat, meski belum terbilang macet. Jam pulang kantor masih jauh, namun sepertinya, hari ini, banyak kendaraan yang memang harus berada di jalanan. “Ah, ya, ini hari rabu,” gumam Mahya. “Kenapa memangnya hari rabu?” tanya L
Seno tersenyum lebar mendengar ucapan dari pembunuh bayaran yang disewanya. Kali ini, misi itu tidak lagi gagal seperti di awal mula. “Bagus!” Ia bersorak senang. Tidak sia-sia Seno membayar pembunuh bayaran profesional, setelah dipecundangi oleh takdir, sebelumnya. Sejak Lara menghilang dan Mahya melakukan peretasan di sistem Seno. Ia menyadari ada yang tidak beres dengan semua ini. Seno melakukan pelacakan terhadap aktivitas Mahya dan memeriksa CCTV di lokasi penyekapan Lara. Mobil Mahya terekam kamera dashboard mobil boks yang ada di sana, meski melewati rekaman CCTV yang seharusnya menangkap jejaknya. Seno geram! Ia segera mencari tahu keberadaan Mahya, namun, sulit. Katanya, Mahya pindah rumah. Tak lama kemudian, anak buah Seno melaporkan kejadian peretasan sistem oleh hacker di server mereka. Seno segera menyadari bahwa Mahya adalah sosok yang berbahaya. Ia pun melancarkan aksi untuk menghabisi mereka berdua: Mahya dan mantan istrinya, Lara. “HAHA! Akhirnya!” Mahya tidak
Dengan langkah tergesa, Andre membelah kerumunan di IGD, mengikuti gulir roda bed yang membawa Lara dan Mahya ke koridor yang ramai. “Aku akan mengambil alih pasien ini!” seru Andre sambil mengikuti bed Lara. “Baik, Dokter!” sahut dokter jaga di IGD tersebut. Dalam hati, ia bersyukur karena dokter senior mau mengambil alih pasien mereka. Keadaan di IGD sedang kacau! Banyak pasien yang perlu penanganan dengan segera. "Siapkan ruang operasi! Cepat!" perintah Andre dengan wibawa tegas. "Ta–tapi, ruang operasi penuh, Dok!" sahut asisten bedah yang juga ikut berlarian. Andre menggeram, namun tidak berhenti sampai di situ. Ia segera berteriak dengan perintah mutlak dalam keadaan gawat darurat. "Pakai ruangan pribadiku!” "Baik, Dokter!” Sang asisten segera berlari menuju ke ruangan operasi pribadi milik dokter Andre, setelah sebelumnya, ruangan itu hanya menjadi mitos belaka. Sebagai mantan pemilik tunggal, Andre memiliki ruangan khusus untuk studinya. Ruang operasi pribadinya, yang se
Gelas kertas yang ada di genggaman Miriam remuk seketika. Dokter cantik itu segera pergi dengan amarah yang membara. “Lara! Seharusnya kau tidak memprovokasiku!” geramnya sambil berlalu pergi. “Do-dok!” Sang asisten yang tadi bersamanya tampak kebingungan. Namun, ia segera mengejar sang atasan yang tampaknya sedang terbakar amarah. Apa yang sebenarnya terjadi? *** Andre tampak menatap nanar ke arah Lara, sang pasien, si wanita pujaan, yang kini terbaring lemah di ruang perawatan. Kedatangan Bi Yani membuat lamunannya buyar. “Kopi, Dok?” tawarnya. “Terima kasih,” Andre menerima kopi yang disodorkan oleh Bi Yani dengan seutas senyuman. “Kenapa dokter tampan seperti Anda masih menjomblo?” tanya Bi Yani agak sedikit pribadi, setelah pembicaraan terakhir mereka tentang rencana pendekatan terhadap Lara. “Sebenarnya, saya sudah punya tunangan,” jawab Andre jujur. Ia memang merahasiakan hal ini dari semua orang. Namun, rencananya untuk mendekati Lara seharusnya menjadi batas jelas ant