Share

Bab 4

Diperjalanan, Nani terus menangis. Sesekali menoleh kebelakang berharap kedua anaknya masih nampak terlihat dikejauhan sana.

"Memang berat meninggalkan orang-orang terkasih. Aku juga ngerasain itu mbak dulu, tapi sekarang udah engga, karena sudah terbiasa." ujar wanita beramput pendek yang sering dipanggil Lili.

"Aku cuma pikirin anak-anakku, Mbak. Malang sekali nasib mereka," isak Nani makin menjadi-jadi.

"Makin malang lagi nasibnya kalau kamu ga bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anakmu di masa depan," sahut Lili, seraya menaburkan bedak dipipi kanan dan kirinya yang sudah semakin tebal oleh riasan.

"Mbak benar, Aku gak boleh menyerah. Aku gak boleh jadi wanita lemah. Aku harus kuat. Iya, kan mbak!" Tanpa sengaja, Nani menyentuh pundak Lili cukup keras, menimbulkan bedak yang tengah Lili pakai terjatuh berhamburan.

"Astaga!" Mata Lili melotot tajam. Sedangkan Nani melongo dengan mulut menganga lebar.

"Maaf, Mbak? Ga sengaja."

.

.

.

Setelah berjam-jam melewati perjalanan yang lumayan panjang. Berganti kendaraan tiap kendaraan untuk sampai ketempat tujuan. Nani dan Lili akhirnya sampai di sebuah rumah mewah, bak istana. Rumah itu berdindingkan cat berwarna ungu senada dengan pagarnya.

"Jadi ini rumahnya ya, Mbak?" tanya Nani takjub. Matanya melebar mengagumi rumah tersebut. Tangannya aktif menyentuh pagar yang hampir mirip ular naga itu.

"Iya ini rumahnya!"

"Besar ya, Mbak?"

"Namanya juga rumah holang kaya. Sini aku beritahu. Berhubung yang punya rumahnya belum pulang dari kantor, kamu tunggu dia sampai pulang nanti sore, ya! Sambil nunggu, kamu kerjain aja apa yang perlu dibenahi di rumah ini. Semisal ada cucian piring atau lantai kotor kamu bersihin sampe kinclong, kamu pahamkan, Mbak maksud aku?" tutur Lili.

"Paham, Mbak!" Nani mengangguk mengerti.

"Yuk, masuk!" Ajak Lili. Menggiring Nani untuk masuk kerumah besar itu.

Nani celingukan mengitari setiap ruangan. Menatap takjub pada benda-benda yang besar berjejer rapi tiap dindingnya.

Matanya membulat, kala mendapati sebuah benda yang beda dari yang lain. Yaitu, sebuah patung Burung berkepala kerbau. Nani bergidik ngeri. Buru-buru ia berlari kearah Lili berada.

"Ada apa? Ko mukanya tegang begitu?" tanya Lili sembari menautkan halis.

"Itu loh Mbak, Masa ada burung tapi kepalanya bertanduk mirip kerbau," sahut Nani gemetaran.

"Ah kamu ini, gitu aja aneh!" Lili tertawa mengejek.

"Beneran Mbak, orang aku liat barusan. Serem tau Mbak."

"Ya namanya juga patung. Kamu pasti bakalan terbiasa kalau udah tinggal di sini!" Lili menyentuh bahu Nani.

"Terbiasa ngeri ya, Mbak?"

"Terbiasa digangguin nanti hihi...."

"Mbak..." Nani menjerit takut. Sementara Lili malah terkikik menahan perutnya untuk tidak jungkir balik tertawa bersama lantai.

"Aku serius tau."

"Iya, maaf! Cuma berjanda ko!" Lily menampilkan jarinya berbentuk V, tersenyum manis mirip seperti anak TK.

"Ga usah disebutin Mbak, emang kita janda ko!" Nani merengut kesal.

"Janda yang penting berkualitas, ya,kan!" Lili mulai menggoda.

"Au ah."

Lili pamit pada Nani setelah memberitahu apa saja yang harus dikerjakan di rumah itu. Lili pun memberikan kunci cadangan ketangan Nani. Lili percaya Nani wanita baik. Sekalipun berniat melakukan hal Kriminal, itu tak akan bisa. Sebab setiap sudut rumah terpasang CCTV dimana-mana.

Maklum saja, pemilik rumah tersebut adalah seorang duda tanpa anak. Ia tinggal seorang diri di rumah besar itu. Mantan istrinya yang dahulu pergi karena mengetahui jika mantan suaminya divonis tak bisa memiliki seorang anak alias Mandul. pada akhirnya Ia bertekad pergi dengan selingkuhannya, meninggalkan seberkas surat gugatan cerai.

Begitulah yang Lili ceritakan pada Nani.

Nani mulai membersihkan Rumah mewah tersebut. Mulai dari memebersihkan debu-debu yang menempel dipermukaan barang-barang besar yang menurut Nani menyeramkan. Beralih menyapu, mengepel, mencuci piring, memasak dan lain-lain.

Sudah lama sekali rumah itu tak dirawat oleh seorang pembantu. Sementara majikannya hanya memebereskan seperlunya saja. Sebab ia pun sibuk dengan pekerjaannya yang ada di kantor. Oleh karena itu, pemilik rumah tersebut jarang membersihkan rumah.

Jam sudah menunjukan pukul lima sore. Sang Tuan rumah belum juga pulang. Nani menunggu majikannya, menyambi menyirami tanaman bunga yang mulai bermekaran di halaman rumah.

Selang beberapa menit sebuah mobil menelaksonnya dari luar pagar, membuka pintu kaca mobilnya, lalu memanggil Nani dengan sebutan Mbak.

"Bapak, panggil saya?" sahut Nani.

"Tolong bukakan pintu pagarnya!" seru lelaki itu.

Nani langsung membuka lebar-lebar pintu pagar dan mobil mewah tersebut itu pun masuk kepekarangan, membuat Nani mengernyit bingung. Sedetik kemudian ia tersadar jika lelaki itu adalah majikannya. Nani tersenyum senang. Akhirnya Nani bisa merasa lega karena majikannya sudah pulang.

Pintu mobil terbuka menampilkan sosok lelaki tampan bertubuh tinggi tegap hampir mirip seperti artis Bollywood idolanya.

"Selamat sore, pak?" Nani menyapa seraya mendekat.

"Sore!" sahut lelaki itu dengan ramah.

"Kamu pasti orang yang dari kampung itu ya?"

"Betul pak, saya orangnya!" Nani menjawab malu-malu.

"Sudah tahu, kan apa saja yang harus kamu kerjakan?"

"Alhamdulillah sudah, pak!"

"Bagus saya senang dengernya. Kenalkan, nama saya, Naga Darwan. Tapi biasa orang-orang memanggil saya Darwan. Kalau kamu?"

"Saya Nani, pak!, Biasa orang manggil saya Nani."

"Gak ada panjangannya?"

"Enggak ada, Pak!" Pak Darwan terkekeh.

"Owh begitu. Nani saya bisa minta tolong? Saya ingin kamu bawakan tas kerja saya kedalam."

"Siap, pak!" Nani mengambil tas majikannya yang masih di dalam mobil. Lalu menutup pintu pagar kembali, setelah itu ia langsung membawanya tas itu kedalam, sembari mengikuti sang majikan yang sudah lebih dulu masuk kedalam rumah.

Darwan berhenti di ruang makan. Terpampang aneka makanan tersaji rapi dan harumnya menguar di setiap sudut ruangan, membuat perut Darwan memberontak minta jatah diisi.

"Bapak mau makan? Biar saya ambilkan?" tanya Nani.

"Oh, boleh!" Darwan Duduk dikursi makan. Sementara Nani mengambilkan Nasi dan Lauk pauknya dipiring.

Satu kali suap Darwan tampak menikmati makanan tersebut sampai merem melek.

"Wah, enak juga masakan kamu!" celoteh Darwan. Lagi-lagi Nani tersenyum malu-malu.

Darwan merasa dirinya seperti mengulang kembali suasana dimana saat dirinya masih bersama mantan istrinya. Terasa hangat dan nyaman. Akan tetapi rasa itu hanya bisa ia kenang dengan penuh kekecewaan yang mendalam. Darwan tak menyangka rumah tangganya hancur karena masalah keturunan.

Banyak wanita yang kerap kali hadir untuk mengisi relung hatinya, namun lagi-lagi harus tandas karena ketidakcocokan satu sama lain dan berakhir pada hubungan tanpa status.

Darwan memperhatikan penampilan Nani dari ujung rambut sampai ujung kaki. Cantik, sebuah kata yang terlintas di benak Darwan. Hanya saja Nani terlalu gemuk sampai tak terlihat lekukan pinggang ditubuhnya sama sekali. Nani merasa risih diperhatikan. Ia pun menunduk malu. Takut, jika sang tuan berpikir dirinya mirip seperti kerbau.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status