"Astaghfirullah! Kamu di mana, Ezra Sayang!?" isaknya menyentuh dada dan mulai mengalirkan air mata."Bunda ... Ezra di sini. Kok nangis?" Tiba-tiba sang Anak yang dinantikan Shifra memeluknya."Alhamdulillah! Ke mana saja kamu, Naaak!? Kamu mau Bunda kena serangan jantung? Kenapa nggak ada kabar seharian? HP juga mati, heuh?!" omel Shifra sambil terisak-isak memukuli dada bidang Ezra yang justru terkekeh memeluknya."Iya ... maaf Bunda! Ezra 'kan tadi bilang mau ada pertemuan bahas acara perpisahannya Kelas 3 yang tinggal dua minggu lagi? HP juga tadi jatuh trus mati total, pas mau kabarin Bunda ...," terang Ezra masih memeluk ibunya dengan erat dan mengelus punggung yang menonjolkan ruas tulang belakangnya."Ezra ...," panggil Shifra mengendus pakaian putranya."Ya, Bun?" balasnya memberi jarak pada tubuh sang Bunda yang mengernyitkan kening."Ka-kamu ... ganti parfum?" tanya perempuan yang terus mengingat dan mulai mengenali aroma khas dari baju Ezra."Ganti gimana? Dari dulu selal
'Maaf Bunda ... Ezra minta maaf untuk tak menepati janji Ezra kali ini ... maaf!' balasnya tak diucapkan."Ini kenapa, Nak?" Shifra kembaliengusap perban yang panjang menutup dahi hingga pelipis Ezra."Tadi mau nyelametin HP, nggak nyampe. Ya ... jadinya kena tralis besi pembatas lantai dua, Bun. Makanya Ayah sama Papa langsung tahu. Karena-""Karena kalian masih menjalin hubungan di belakang Bunda selama ini? Iya?" potong Shifra menarik tangannya dan membuang wajah."Iya Bunda ... maaf!" balas Ezra lemah."Bunda maafkan kali ini saja. Jika terulang, jangan pernah lagi temui, Bunda! Hiduplah dengan mereka berdua! Anggap Bunda sudah tiada!" ucap Shifra penuh penekanan."Iya ... Ezra, janji!" Kalimatnya terjeda karena dia berkata "nggak bisa" dalam hati sebelum kata janji terucap.Kedua anak dan ibu itu saling berpelukan dengan Shifra yang terus mengomel pada putranya.*******"Tumben Bos, kemarin bolos?""Ezra! Kok kemarin nggak jadi pimpin rapat OSIS-nya?""Jidat Lo kenapa, Bro?"Ezra
"Gue nggak mau nyakitin dan mengikat hati perempuan sebelum benar-benar siap jadiin istri, Cha! Maaf ...." gumamnya setelah gadis yang biasa dipanggil Ocha itu sudah berbelok di lorong dan tak terlihat.Ezra banyak dipesan oleh sang Ayah untuk menjauhi yang namanya jatuh cinta. Lebih baik mencintai setelah menikah dan jangan dekat dengan perempuan mana pun tanpa alasan. Kisah Javaz menjadikan remaja lima belas tahun itu lebih dewasa sebelum waktunya. Menundukkan pandangan dari lawan jenisnya di mana pun berada kecuali hanya mengenal anggota OSIS-nya saja dan para guru."Ingatlah kisah Bundamu, Ayah, dan juga Papa. Semua terjadi karena Ayah tak sebaik sekarang. Papa El yang sudah menjaga dirinya dan berhasil sukses memberikan cinta pada istrinya saja waktu itu harus menerima kehancuran karena Ayah yang jatuh cinta lebih dulu pada Bundamu. Jadi jangan ulangi kisah Ayah, hem?" Kalimat Javaz yang sering kali diulang untuk Ezra masih diingatnya.Ponsel baru yang dibelikan Elzien sebagai ga
"Ezra? Ezra ... kenapa panas sekali? Ezra! Rumah kita terbakar! Ezra!? EZRAAAA!" teriakan Shifra di tengah kobaran api di seluruh kamar dan rumahnya tak membuat sosok yang baru saja tertidur di sampingnya bergerak sedikit pun.Tangan Shifra terus mengguncang tubuh pulas itu sambil memanggil namanya. Karena kebutaannya dia tak tahu bahwa di telinga Ezra tersumpal head phone. Sekuat apa pun memanggil namanya tetap tak terdengar. Apalagi sebelum tidur remaja itu baru saja meminum obat pereda rasa sakit untuk lukanya sekaligus obat tidur yang diresepkan bersamaan.Saking geramnya ibu tiga puluh tujuh tahun itu menggigit lengan Ezra."Aaarrrgh!?" teriaknya terjingkat kaget kemudian diikuti istighfar berkali-kali melihat dirinya sudah dikelilingi api.Dia memeluk ibunya yang sudah berlinangan air mata dan hampir sesak napasnya."Bunda naik punggung Ezra dan pegangan yang erat, ya? Bismillah!" titahnya menarik bed cover sekaligus sang Bunda ke punggung.Berlari mencari celah menuju kamar man
"Sial! Cari tahu tentang dia juga, Brengsek!? Siapa yang berani melawanku?!" geram seseorang melemparkan botol minuman keras di atas meja ke dinding."Nggak ada yang boleh lebih unggul dari putraku!" lanjutnya mengepalkan tangan sambil memukul meja di depannya.Pihak berwajib melakukan penyelidikan terhadap kebakaran yang terjadi di rumah Shifra. Banyak hal janggal ditemukan dan semua mengarah pada satu nama ART paruh waktu yang datang pagi pulang sore hari.Dia diduga mematikan saluran air dari PDAM yang mengalir ke tandon besar rumah. Kemudian tabung gas dibiarkan dalam keadaan menancap setengah regulatornya, jadi seolah terjadi kebocoran. Ada beberapa botol kecap dan saos yang diisi minyak tersebar di sekitar pekarangan. Siapa lagi yang sengaja bisa leluasa melakukannya kecuali orang yang bebas keluar masuk dari rumah itu.ART bernama Linda itu tengah dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Dia hanya menangis dan terus menggeleng pasrah mengikuti arahan petugas membawanya
"Lebih baik aku tiada dari dulu ...." gumamnya menunduk tak sanggup lagi melihat kondisi Shifra yang mulai menyakiti dirinya sendiri dengan memaksa melepaskan jarum infus dan mencakari wajahnya sendiri.Elzien tak pernah melihat keadaan perempuan di depannya seburuk sekarang. Hati pun ikut hancur lebur dan mulai berembun sudut matanya.Bagaimana tidak, saat Javaz masih bisa bangkit dan memeluk Shifra erat. Mantan istrinya itu melemah dan mulai tenang dalam dekapan sang adik. Sekuat itulah cinta keduanya.Dahulu, di sisinya Shifra akan bersikap seperti ibu. Begitu dewasa dan seolah membimbingnya seperti anak. Elzien nyaman dan merasa terlena, hingga lupa bahwa seorang istri butuh perhatian dan keluh kesah tersampaikan. Mungkin saat itulah semua maaalah berakar. Hingga sekarang menjadi bom waktu yang meledakkan semuanya. Shifra tak mampu lagi menahan diri dalam kewarasan yang selam ini berusaha ditampakkannya."Shif ... tenanglah! Dia Ezra, putramu, bayi kecilmu, kekuatanmu, penglebur d
"Ezra akan coba bicarakan ini nanti setelah kondisi Bunda sudah benar-benar stabil seperti kemarin, Pa. Terima kasih saran Papa!" Ezra menghambur memeluk ayahnya dari samping dan dibalas dengan tepukan di bahu oleh Elzien.Dua pasang mata ayah dan anak itu berada pandang seolah bisa menyalurkan pikiran masing-masing."Pa ... apa ini ada hubungannya dengan orang tua Daffin yang seorang pejabat?" tanya Ezra serius.Elzien mengedikkan bahunya dan menggeleng."Fokuslah untuk pindah ke Pesantren. Tanyakan pada Bunda, apakah mau kembali ke tempatnya dulu? Ustadz yang merawat dan memberi perlindungan pada Bundamu sejak bayi?" katanya sambil menepuk dua pundak Ezra yang mengangguk."Papa dan Ayah Javaz janji akan sejauh mungkin berjarak dengan kalian. Kita dekat dalam doa saja itu cukup, kan?" lanjutnya tersenyum mengusap kepala Ezra kemudian berdiri."Maaf dan terima kasih Papa ...." Ezra kembali memeluk tubuh yang sama tingginya dan ternyata sangat membuat hati nyaman dalam dekapan itu."Pa
Mereka menempuh jarak Jakarta-Surabaya selama 10 jam di kereta kelas Ekonomi. Ibu dan anak itu saling menyandar bergantian tertidur di bahunya. Sirine tanda Stasiun berikutnya berbunyi, Shifra yang sudah sedari tadi terjaga mngguncang kepala Ezra."Ezra ... Bangun, Nak! Waktunya kita turun!" katanya menepuk pipi yang bisa dijangkau dengan tangan."Stasiun Gubeng, Bun?" Ezra menggeliat meluruskan dua tangannya ke atas dan meliuk ke kanan dan kiri.Remaja lelaki yang tampak sudah sangat dewasa baik postur tubuh juga sikapnya itu, menenteng dua tas kain di satu tangan. Sedangkan tangan lainnya merangkul pundak sang Bunda, bahkan sedikit mengangkatnya ketika turun dari gerbong."Ke mana lagi sekarang, Bun?" tanya Ezra menoleh ke sekitar tempatnya mendudukkan Shifra di ruang tunggu peron kedatangan."Tanyalah petugas harus naik apa ke Pondok Pesantren Al-Hidayah? Bunda sudah lama tak kemari, mungkin transportasi juga berubah." balas Shifra meraba tas di samping dan mendekatkan ke tubuhnya.