"Bu Tiara, tunggu!" teriaknya tapi tak kugubris, buru-buru kutinggalkan tempat itu menuju ruang tunggu Dokter Rasyid.Sampai di ruang tunggu depan ruang praktek Dokter Rasyid, aku duduk sendirian. Sepertinya pasien Dokter Rasyid belum ada yang datang karena masih 2 jam an lagi. Untuk menghabiskan waktu iseng-iseng aku berselancar di dunia maya. Mengintip status teman-teman di akun sosial media. Jemariku berhenti mengusap layar ketika membaca status Mas Fikri."Selamat jalan bidadari kecil Ayah, surga menantimu ya, Nak."Apa yang terjadi dengan anak mereka? Dengan berdebar kuusap lagi layar handphone mengintip wall Kartika. Tapi tak ada status baru apapun. Status terakhirnya seminggu yang lalu yang memasang foto bayinya. Wall nya memang penuh dengan foto anak-anaknya. Aku memang masih tidak terima dengan pernikahan mereka dibelakangku. Tapi aku tidak pernah menginginkan bayi mereka kenapa napa. Dan akhirnya setelah lama menunggu, namaku dipanggil juga."Ibu Tiara, silahkan masuk!"
"Sarapan! Sarapan! Mbok pecel sudah datang!" teriak penghuni lantai bawah yang terdengar nyaring."Mbak Tiara, ayo ke bawah, beli sarapan." ajak Tia, mahasiswi sastra Inggris yang cantik jelita berasal dari Jakarta, penghuni kamar depan kamarku.Dengan riuh, semua penghuni atas menuruni tangga. Alhamdulillah, meskipun penghuni baru tapi mereka menerimaku dengan hangat. Mbok mbok penjual pecel sudah duduk lesehan di teras. Menggelar menu pecel lengkap di atas bakul yang terbuat dari anyaman bambu. Ada nasi, gendar, lontong, mie kuning, aneka gorengan, tempe gembus yang dibacem. Benar-benar bikin ngiler. Aku pun ikut ngantri berkerumun, riuh sekali."Mbok, saya pake gendar ya sama tempe gembus.""Saya pakai nasi ya, Mbok. Bumbu pecelnya jangan banyak- banyak.""Saya mie dikasih sambel pecel sama gorengan saja, Mbok."Setelah semua membawa sepincuk daun pisang berisi menu pecel, kami kembali menaiki tangga, lesehan di depan tv, menikmati sarapan bareng dengan saling bercanda. Aku yang
"Hai, Ketemu lagi untuk yang kelima kali! Memang ya kalau jodoh nggak bakal kemana." ucapnya seperti biasa, menyebalkan.Entah, aku juga bingung. Kenapa kami dipertemukan terus. Dan kenapa dia ke kost ini? Ketemu siapa? Daripada penasaran kutanya langsung saja padanya."Mencari siapa, Dok?" "Mencari Ibu Tiara. Orangnya nggak ada jadi saya pulang saja. Permisi, Bu Tiara." Pamitnya yang membuatku melongo, apa sih maksudnya, dasar orang aneh....Hari berganti hari, bulan pun berganti. Tak terasa 2 bulan sudah aku menjalani hari-hari yang baru di Surabaya dengan perut yang sudah mulai membuncit. Ukuran perutku tak sebesar wanita pada umumnya. Mungkin karena badanku yang mungil. Orang pasti mengira aku baru hamil muda padahal usia kehamilanku sudah hampir 5 bulan. Bajuku pun juga sudah mulai pada kesempitan. Akhirnya kubeli daster-daster yang longgar dan itu berarti aku tidak bisa menyembunyikan kehamilanku lagi dari anak anak kost. Berbagai pertanyaan mulai mereka lontarkan. Kujawa
"Jangan sok tahu ya, Dok. Darimana anda dapat semua itu?!""Itu tidak penting! Yang terpenting aku siap membantumu kapan pun dibutuhkan. Entah apa masalahmu tapi aku merasa kamu seperti tertekan. Terus Angga. Siapa Angga, Tiara? Kenapa dia ngaku-ngaku ayah bayimu?""Itu bukan urusan anda, Dok." Jawabku ketus, dia bukan siapa siapaku dan tidak pantas mengetahui apa-apa tentang diriku."Iya, maaf. Aku cuma nggak suka dia menyakitimu. Aku tahu tidak mudah hidup sendiri di kota sebesar ini apalagi kamu lagi hamil. Jangan sungkan kalau kamu butuh bantuan, ya." Aku tertunduk diam dan mobil sudah berhenti tepat di depan kostku. "Makasih, Dok, sudah mengantarkan saya.""Dibilangin panggil aku Fikri atau Mas Fikri jangan panggil Dokter. Kamu saja tidak mau jadi pasienku, ngapain panggil dokter." "Maaf, saya lebih nyaman memanggil Dokter." "Terserahlah! Ini kartu namaku. Kalau ada apa-apa atau Angga itu mengganggumu lagi hubungi saja nomor yang disitu. Tengah malam pun, aku siap bantu," uca
"Jangan lawan, Tiara! Percuma. Kekuatanmu tidak akan bisa mengalahkannya. Hadapi dengan ilmu," bisikan batinku."Baik, Mas. Baik! Aku menyerah! Aku akan melayani Mas Angga tanpa dipaksa. Tapi tolong ijinkan aku ke kamar mandi dulu. Aku pengin buang air kecil." "Ya sudah sana, kutunggu!" Dengan tubuh yang gemetar ketakutan aku buru-buru ke kamar mandi dengan berbalut selimut.Di dalam kamar mandi, dengan terisak aku mengumpulkan keberanian untuk melawan Mas Angga. Kutarik napas dalam-dalam, siap-siap bermain sandiwara. "Tolooong! Mas Angga, tolong!""Ada apa sih, Ra, teriak-teriak!" Buru-buru kututup mataku ketika melihat tubuh Mas Angga yang tanpa sehelai kain, menjijikkan."Itu, ada kecoak, Mas! Tiara jijik. Hiii!" "Mana?!" Mas Angga mulai masuk dalam kamar mandi sedangkan aku keluar kamar mandi. "Itu, Mas, di dekat lubang air." "Mana?! Nggak ada!""Ada, Mas. Tadi di situ. Cari di sekitar situ, Mas!" Saat Mas Angga sedang sibuk mencari kecoak, dengan cepat kutarik knop pintu la
Mobil berhenti di depan minimarket, " Ra, kamu nggak pa pa, kan? Kutinggal sebentar, ya."Dokter Fikri keluar dari mobil meninggalkanku masuk ke minimarket itu. Tak berapa lama dia sudah kembali ke mobil dengan menenteng plastik belanjaan. Kusandarkan kepala di jok lalu memalingkan tubuh dan wajah ke kiri menghadap kaca mobil. Aku ingin menangis sepuasnya tanpa terlihat olehnya. Menumpahkan semua beban berat di dada. "Ra, ini minum dulu," ucap Dokter Fikri sambil menyodorkan air mineral dan tisue yang bukan hanya selembar tapi sebungkus seolah tahu kalau tangisku masih lama berhenti. Kutolak air minumnya, nggak ada rasa haus dan lapar. Yang ada hanya rasa marah dan tidak terima pada keadaan. Aku hanya menarik beberapa lembar tisue dari bungkusnya."Minum, Ra. Nanti dehidrasi lho. Sudah berapa liter air yang kamu keluarkan dari matamu." Kugelengkan kepala sambil menahan jengkel, masih saja Dokter itu membercandaiku."Biar aku mati saja!" teriakku dengan tangis tersengal sengal."Mau
"Duh, Gusti, Ra ... Ra. Lha kamu bersama dia itu tidak tahu kalau dia kakak kelas kita?" Mata Ratih mendelik."Kakak kelas?! Kakak kelas yang mana, Tih?""Putra, Ra. Fikri Haikal Putra. Kakak kelas tepat di atas kita waktu SMP. Dia sering main ke kelas kita, kok. Kan dia naksir berat sama kamu dulu tapi kamu tolak mentah-mentah.""Putra, si culun berkacamata tebal itu?! Kamu jangan bercanda, Tih. Nggak mungkin dia Mas Putra. Beda, Tih." "Sekarang ganteng, ya. Beda banget sama waktu SMP. Dokter lagi," goda Ratih sambil mengulum senyum.Aku masih bengong menatap dengan seksama laki-laki yang sedang main gitar dan nyanyi di panggung. Tak ada lagi kacamata tebalnya. Sisa-sisa culunnya juga nggak kelihatan. Tubuh gempalnya pun sudah berubah tinggi tegap penuh kharismatik. Susah dipercaya kalau itu dia."Sayangnya waktu SMA dia tidak satu sekolah lagi sama kita karena orangtuanya pindah ke Jakarta. Makanya lama tak terdengar khabar Mas Putra. Baru pas acara reuni Akbar tahun kemarin dia k
POV Fikri"Kartika, nggak ada gunanya kamu terpuruk dan seperti orang gila begini! Kamu harus bangkit. Jangan berlarut larut maratapi kepergian Rania. Kamu bisa mendapatkan anak lagi sebanyak yang kamu mau!" Nasehat Ibu yang tak digubris Kartika."Pergiii! Jangan ganggu aku dan Rania! Pergiii! Aku mau Rania! Aku hanya mau Rania!" Dia terus berteriak meraung raung sambil mendekap guling yang dia anggap Rania."Kita tidak akan terpisah, Rania. Ibu akan menjagamu," lirihnya sambil mengusap usap guling itu.Setelah kepergian Rania, Kartika terguncang hebat. Sudah sebulan ia mengurung diri di kamar. Tidak mau mengurus anak-anak bahkan dirinya sendiri. Setiap ada yang mendekatinya dia berteriak teriak tak terkendali. Mengamuk, membanting apa saja yang ada di dekatnya. Kasihan Ibu, selain harus merawat anak-anak juga harus merawat Kartika yang seperti anak kecil lagi. Kami berbagi tugas. Sebelum berangkat kerja, aku yang memandikan anak-anak juga memandikan Kartika. Kartika pun terpaksa kup