Rosemary Ananda, perempuan manis dengan bibir tipis yang sangat menggoda. Ditambah lagi rambut bergelombangnya memberikan kesan keanggunan yang tiada tara. Aku selalu bisa terpesona oleh wajah tirusnya yang kadang merona saat berada di frame. Apa pun yang berhubungan dengannya, bahkan iklan sekalipun yang bisa menipu di media internet selalu saja membuatku langsung mengunjunginya.
Namun, kini dia nyata berada di hadapanku. Sudah kuduga dari awal, berada di gedung agensi ini akan selalu membuatku menelan saliva dan menahan hasrat yang telah membludak.
Sedari tadi, karena telah berhasil tersihir wajah manis gadis itu, aku bergeming. Sedangkan Ananda perlahan-lahan bangkit.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya gadis manis mengenakan pita berwarna merah muda itu yang seketika membuatku sadar dari imaji.
Sudah tak diragukan lagi. Bahkan meski dia hanya berada di layar ponsel, Ananda selalu sukses menjadikanku manusia imajinatif dengan seribu pikiran kotor nan menjijikkan, apalagi kini fisiknya yang sempurna itu telah terpampang jelas di mataku.
“Ah, sorry. Seharusnya gue yang tanya, lo nggak apa-apa, kan?” Tanpa menggapai tangannya yang diacungkan untuk membantuku berdiri, aku melakukannya sendiri.
“Kamu orang baru?” tanyanya kemudian seraya meneliti diriku.
Aku mengangguk pelan menyetujui. “Iya, gue orang baru. Gue baru aja dari ruangan Elaine.”
Aku memang tak salah lihat, Ananda tersenyum lebar, begitu manis dan menenangkan hati. Andai saja, aku berpasangan dengannya. Ah, itu akan sangat membahagiakan.
“Selamat, ya!” Kembali dia mengacungkan tangan.
Aku mungkin lelaki yang selalu bersikap dingin pada orang lain, tak peduli laki-laki atau perempuan, tetapi entah mengapa untuk Ananda, aku tidak bisa melakukan hal yang sama. Aku ingin menjadi ramah dan terkesan hangat.
Tidak perlu ragu lagi, bukan, untuk menyambut tangan gadis itu? Kami sekarang punya posisi yang sama, meskipun aku masih tergolong sangat pemula.
“Thanks.”
“Semoga suatu hari kita bisa berpasangan.”
Ah, dia lebih dulu menyatakan apa yang seharusnya aku katakan. Itu seharusnya harapanku. Aku sangat menginginkannya, menantikannya, atau entahlah apa lagi kata yang bisa mendeskripsikan harapan ini.
Aku tidak bisa berkata banyak, sebab tiada hal yang ingin aku sampaikan padanya. Namun, jika tidak memiliki rasa malu, aku mungkin harus berterima kasih padanya yang telah setia menemani kesendirianku. Tentu saja, itu hanya sebuah ungkapan ketika dia selalu ada di layar, pastinya aku tetap melakukannya sendiri dengan tanganku.
Sungguh malang dan menjijikkan.
Tautan tangan kami terlepas setelah beberapa menit terdiam tak ada komunikasi apa pun.
“Kamu mau pulang?”
Aku mengangguk dan menjawab singkat.
“Kalau begitu sama. Aku juga mau pulang. Barengan, yuk, ke tempat parkir.”
Ini bukan sebuah mimpi atau imajinasi. Khayalan itu tidak berlaku di gedung besar tersebut.
Sebagian besar orang mungkin berpikir untuk apa berteman atau berharap banyak pada gadis yang berprofesi sebagai pemuas hasrat jutaan orang di dunia ini? Sepertinya aku harus kembali mengingat hal yang dikatakan Elaine. Wanita itu benar. Mengapa tidak mengedepankan sisi positifnya saja?
Toh, banyak orang yang terbantu oleh para artis dan aktor itu. Seperti diriku yang dulu selalu melakukannya sendirian sambil membayangkan betapa mulus kulit mereka dan betapa hangat pelukan yang diberikan.
“G-gue boleh nanya, nggak?”
“Boleh. Nanya aja.”
“Tapi, mungkin pertanyaan gue akan sedikit bisa menyakiti lo.”
Ananda justru terkikik pelan. “Nggak ada sesuatu yang bisa menyakiti orang sepertiku.”
Mungkin dia bermaksud mengatakan bahwa rasa sakit itu telah tidak mempan padanya. Semestinya aku juga sadar, dalam beberapa bulan kedepan, demikian aku akan merasakan hal yang sama sepertinya.
“Apa lo senang dan menikmati pekerjaan lo?”
Langkah Ananda terhenti seketika sebelum kami berhasil melewati pintu keluar gedung. Aku mengira dia akan sangat marah dan mencaci maki karena mendengar pertanyaanku yang telah menyentuh rana pribadinya. Namun, ternyata tidak sama sekali.
“Aku menikmatinya. Meskipun terkesan memaksa, sih. Tapi, sebuah pekerjaan yang nggak dinikmati hanya akan menjadi beban dalam kehidupan.”
Aku tidak puas dengan hanya satu pertanyaan. Mungkin ini merupakan bentuk dari keraguanku yang semakin jadi. Atau lebih tepatnya ketakutan yang bersemayam di dalam diri.
“Apa lo nggak merasa malu di hadapan orang tua lo atau keluarga lo karena profesi seperti ini? Nggak mungkin mereka nggak mengetahuinya, kan?”
“Aku pernah punya masa-masa sulit seperti itu. Tapi, jawaban dari pertanyaanmu saat ini, aku sama sekali nggak malu. Kalaupun aku malu, mungkin kami harus menahan rasa lapar dan kembali jadi orang miskin seperti dulu.”
Kini, aku tahu dia berasal dari keluarga dengan ekonomi kelas bawah. Sama sepertiku yang terpaksa harus menerima tawaran Elaine.
“Gimana kalau orang lain? Apakah lo nggak malu jika mengetahui lo dibicarakan sama orang lain?”
Aku sadar pertanyaan ini sudah terlalu melewati batas yang sewajarnya. Ini bukan porsi yang seharusnya aku sentuh. Namun, aku juga butuh pemikiran yang setidaknya bisa mencerahkan diriku.
Dan pada akhirnya, aku benar-benar tersanjung dengan jawaban yang gadis itu berikan. Benar-benar tidak ada keraguan sama sekali di bola matanya. Bahkan senyumnya mengembang lebar, seolah-olah memberikan kesan padaku bahwa itu telah bisa memuaskan hati.
“Jika orang lain menganggapmu sangat menjijikkan, maka mereka lebih menjijikkan. Jika orang lain membicarakanmu, apakah mereka bisa memberimu makan dan uang? Dan yang lebih penting, mereka nggak punya kontribusi apa pun di dalam hidupmu. Jadi, aku sama sekali nggak akan merasa malu atau merasa dipermalukan.”
Setidaknya, ada kehangatan yang mengalir ke hati saat mendengar jawaban Ananda. Aku telah merasa terpuaskan dan yakin akan menempuh jalan kegelapan ini. Untuk kali pertamanya, aku memberikan senyuman tipis pada seseorang.
Aku telah lupa kapan terakhir kali mengembangkan senyuman.
“Thanks atas jawaban lo.”
“Kalau gitu, aku pulang duluan, ya. Eh, namamu siapa? Aku sampai lupa menanyakannya.”
“Gue Adrian.”
“Aku Ro …”
“Gue udah tahu.”
Ananda tertawa renyah. Mungkin dia telah menebak bahwa aku bukan peselancar pemula di media internet.
“Okay, Adrian.”
Dia mendekatkan bibirnya di telingaku, kemudian berbisik sangat tajam. Yang menjadi fokus utamaku ialah suaranya yang benar-benar membuat bulu tengkuk berdiri. Tak lupa, wangi parfumnya yang begitu memicu sesuatu di dalam diri.
“Lain kali, kita akan bertemu di satu frame. Aku menantikannya. Sangat menantikannya.”
Tiada yang dapat kukatakan lagi hingga tubuh itu bergerak menjauh.
Rosemary Ananda, seorang gadis yang sangat percaya diri dan tahan banting. Setidaknya, seperti itulah kesan awalku padanya setelah beberapa pertanyaan ia jawab dengan sangat bijak.
Aku mulai melangkah, menapaki kegelapan itu dengan hati yang tak lagi gelisah. Namun, ternyata ujian itu tidak berakhir setelah aku berhasil mendapatkan uang. Masalah tidak berakhir begitu saja.
Ibuku telah dinyatakan tak lagi bernyawa di malam tersebut. Mendapatkan kenikmatan, lalu disambut dengan kesengsaraan yang tiada batas.
-II-
Jika ini yang terjadi, maka tak ada bedanya dengan tidak melakukan apa-apa. Aku bertanya-tanya, apakah usaha yang telah kulakukan sia-sia? Terlebih lagi, aku telah terlanjur melangkah ke jalan yang penuh kegelapan. Aku akan banyak menghabiskan waktu dengan para perempuan baru, tidur dengan mereka, melakukan hal yang nikmat, tapi penuh kekosongan.Sebentar, ada yang aneh denganku. Mengapa air mataku tak dapat dikeluarkan bahkan setelah mengetahui kabar bahwa ibuku telah tak lagi bernyawa? Hati hitamku terlampau jahat, menutupi segala rasa yang awalnya biasa-biasa saja.Ada sebuah kelegaan yang terasa. Senangkah aku dengan kematian ibuku?Setidaknya, aku telah berjuang sekuat tenaga, bahkan hingga mengabaikan setiap rasa lapar yang hadir.“Saya turut berduka cita atas meninggalnya ibumu, Adrian,” ucap Elaine yang tengah menikmati rokok dan kopi di sebelahku. “Apa kamu sangat terpukul?”Tanpa berat hati, aku menatap wanita ters
Sesi syuting pertama telah berakhir dan bagiku cukup melelahkan. Untungnya, adegan dalam naskah film itu dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Walau begitu, ketidaknikmatan ini harus aku tanggung dan menjadi risiko paling besar. Padahal, Siska telah menawarkan agar kami melakukannya setelah sesi syuting."Hai, Adrian! Gue suka cara main lo!" ucap Siska setelah selesai membersihkan keringat yang bercucur di wajah dan leher. "Gimana sama perjanjian kita? Apakah kita akan ..."
"Ini kunci mobil dan ini kunci rumah baru untukmu."Aku cukup tercengang ketika Elaine menyodorkan dua kunci untukku. Sambil mengangkat sebelah alis, aku bertanya, "Kunci? Buat apa?""Itu fasilitas dari agensi. Kamu mendapatkannya jauh lebih cepat dari yang lain. Kamu tahu kenapa?"Elaine menyesap rokok putihnya sambil menyelonjorkan kaki di atas meja. "Itu karena kamu sudah sangat berprestasi. Penjualan film pertama yang diluncurkan eksklusif di website resmi telah mencapai 500 ribu pembeli. Grafik yang sangat bagus dan luar biasa sepanjang sejarah agensi ini berdiri."Mulutku menganga mendengar penjelasan Elaine. Mungkin bagiku sendiri saja, itu sudah cukup luar biasa. Aku tidak pernah menyangka bahwa film perdana yang aku perankan bersama Siska akan begitu laris bagi mereka pencinta film-film dewasa."S-sebanyak itu? Lo bercanda?!"Elaine justru menertawakan keterkejutanku."Bercanda? Saya tidak pernah bercanda. Itu a
Entah mengapa, ketika aku meremas bemper belakang Elaine, ada riak yang menandakan kemarahan di wajahnya. Elusan-elusan lembut yang dihasilkan tangan wanita itu berganti menjadi cengkeraman di kausku.“Ups! Lo marah?” tanyaku merasa tak enak pada Elaine.Dia tak menjawab, tetapi kemudian mengembuskan napas pasrah.Tidak ada komunikasi antara kami dalam beberapa menit. Elaine hanya menatapku dengan lamat dengan dada yang kembang kempis, menandakan napasnya mulai tak teratur.“Kamu pikir sudah berapa banyak saya tidur dengan laki-laki?”Tentu, pertanyaan itu tidak dapat kujawab sebab kurang mengetahui tentang sang wanita. Aku ingat dia pernah berkata memiliki hasrat seksual yang menyimpang. Melakukan hal yang panas denganku tidak akan menjadi hal yang membuatnya demikian merasakan nafsu.“Gue … nggak tahu.” Aku menggeleng pelan.“Saya sudah tidur dengan ratusan laki-laki. Dari mereka semu
Akhirnya, aku bisa merasakan sentuhan kulit yang kuinginkan, bisa merasakan kenikmatan yang menyelimuti seluruh tubuhku. Hasrat yang keluar bahkan melebihi kehebatan saat melakukannya bersama Siska. Inikah keahlian seorang pro?“Bagaimana, Adrian? Apa kamu sudah merasa ingin menyerah?”Elaine seolah-olah mengejek diriku, berharap aku menyerah dengan kemampuan yang dia miliki. Aku memang seorang pemula, tetapi aku sudah banyak belajar hanya melalui mata. Semua yang kulihat telah kuingat dan simpan di dalam kepala.“Jangan meremehkan gue!”Malam itu terasa begitu panjang, kenikmatan seolah-olah telah akrab denganku. Namun, aku merasa kosong kesekian kalinya. Ada ketakutan dan perasaan jijik yang hadir di benakku.“Kenapa kamu berhenti, Adrian?”Kuhapus peluh yang bercucur di wajah. Elaine tentu saja terlihat menikmati semuanya. Dia sangat bersemangat. Sesuai yang ia katakan, dia punya tipe tersendiri untuk s
Rosemary Ananda berdiri di depan pintu rumah baruku dengan pakaiannya yang serba minim. Rok mini, baju berwarna merah muda tanpa lengan yang cukup ketat sehingga dengan mudah diriku bisa melihat tonjolan miliknya.Seperti biasa, dia selalu menggoda di mataku dengan lipstik merah muda di bibir tipisnya. Rosemary Ananda, sesungguhnya aku ingin dia merasakan kenikmatan bersamaku.“Lo?”“Hai, Adrian. Kita bertemu lagi.” Dia bergerak masuk tanpa kupersilakan, kemudian mengedarkan mata ke sekeliling ruangan utama. “Rumah yang bagus. Kamu beruntung sekali. Syuting perdana sudah mendapatkan rumah ini.”“Ya, gue juga nggak menyangka.”Ananda berbalik badan dengan memahat senyuman yang lebar. “Kamu harus bersyukur.”“Tentu. Gue akan bersyukur atas pencapaian ini.”Gadis manis berlesung pipit itu mendekatiku dan merapikan kerah kemejaku yang agak berantakan.“Ak
“Nah, Ananda. Apa lo punya pacar?” tanyaku setelah sesi kenikmatan itu berakhir dengan puncak jerit yang tiada batas.Sambil bermain-main dengan hidungku yang lancip, Ananda menjawab, “Aku nggak punya pacar. Kenapa kamu tanya seperti itu?”“Gue selalu membayangkan apa jadinya kalau gue punya satu dan dia tahu profesi yang gue jalani.”Senyuman yang menenangkan seperti biasanya, selalu dapat mengubah pace degup jantung yang berontak dengan segala kegelisahan.“Aku yakin, pasti ada yang bisa menerima kamu apa adanya. Satu banding satu juta cewek di dunia ini, dialah yang memiliki hati mulia dan selalu terbuka dengan segala kenyataan.”Ini agak aneh sebenarnya. Kami membicarakan tentang gadis yang memiliki hati mulia, yang tidak memandang status apa pun seseorang yang ia cinta, ibarat membicarakan Rosemary Ananda itu sendiri.Bahwa bagiku, Rosemary Ananda memang sosok mulia yang sangat langka di d
Selain syuting film yang bisa membuatku bergelimang harta dan popularitas, ternyata aku banyak mendapatkan tawaran untuk menjadi model majalah. Tentu saja, majalah yang diterbitkan berlabel dewasa yang memperlihatkan otot-otot dan betapa proporsionalnya tubuhku.Tidak ada-apa. Kali ini, aku dengan senang hati memperlihatkan diriku di mata siapa pun. Selagi mereka menikmati penampilanku dan membuat mereka senang, aku tidak lagi peduli dengan idealisme bodoh dan harkat atau martabat.Rasa lelah yang kudapat dari sekelumit urusan pekerjaan membuatku ingin bersantai untuk sejenak saja. Hasrat itu memang nikmat, tetapi sangat melelahkan.Aku menikmati dunia luar setelah sekian pekan hanya berdiam diri di rumah dan agensi. Namun, tampaknya aku telah menjadi sorotan semua orang. Spotlight seolah-olah mengikuti ke mana aku melangkah.Tak sedikit orang-orang secara acak memberikan tatapan jijik.“Ah, sorry!” ucapku ketika tak sengaja menabrak se