Selama satu minggu ini, cuaca Forks cukup baik. Matahari muncul menjelang pukul sepuluh dan kabut yang tidak terlalu tebal. Semua orang melakukan aktivitas diluar rumah dengan bahagia. Tapi tidak denganku.
Aku bergelung pada selimut, memasang pemanas ruangan meskipun cuaca tidak terlalu sejuk. Selama satu minggu ini, aku kembali mengasingkan diriku didalam rumah. Mengabaikan seluruh panggilan dan juga pesan dari teman-temanku. Mengabaikan pertanyaan kesal mom yang semakin hari berubah menjadi pertanyaan kebingungan.
Aku tidak mengatakan apapun.
Aku tidak ingin melihat siapapun.
Mom mengetuk pintuku untuk yang kelima kalinya pagi ini. Memaksaku untuk keluar kamar dan mengatakan sesuatu. Tapi aku hanya mengatakan bahwa aku baik-baik saja.
Mungkin mom mengira aku belum siap melihat Ben dan Sidney di sekolah. Dan aku sedang tidak ingin meluruskan pemikiran mom yang salah.
Kubiarkan seluruh asumsi orang-orang yang melihatku kembali mengurun
Hari ini mom berangkat ke New York. Beberapa kliennya ingin dirinya langsung yang menjadi pengacara. Mom tidak tahu kapan dia akan pulang. Mungkin dua minggu lagi, atau mungkin sebulan lagi. Setelah membantunya melipat beberapa pakaian untuk dimasukkan kedalam koper, mom menutup koper, mendorong koper itu hingga bergerak menjauh dan membentur kursi goyang. Mom melirik sekilas arlojinya, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Wajahnya menatapku, dengan seringaian lucu. "Beberapa hari ini berjalan dengan baik?" Aku masih kesal dengan ibuku. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah ibuku. Rasa sayangku padanya jauh lebih besar dari kekesalanku. Mungkin karena kami hidup berdua. Mungkin karena aku hanya memilikinya. Aku mendengus. Bergabung dengan ibuku. "Orang-orang berpikir aku terpuruk karena Sid dan Ben. Tapi semuanya baik-baik saja." Jelasku. Mom bergerak miring, menarik kepalaku. Membawanya kedalam dekapannya. Hal yang sejak kecil selal
Aku menyelesaikan seluruh tugas yang diberikan guru-guru kepadaku dalam waktu empat hari. Mengurus beberapa hal untuk akhir semester, sebelum aku menyerahkannya ke bagian administrasi. Aku tidak perlu ikut ujian semester, hal yang memang kuinginkan. Dan aku akan menghabiskan beberapa minggu menjelang libur semester dengan kehidupanku yang tenang—kuharap. Hari jumat sepulang sekolah, aku mencuci mobil dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Kuselesaikan daftar pekerjaan yang ingin kukerjakan dengan sebaik mungkin. Mom akan menghabiskan akhir minggu dirumah—janjinya semalam saat aku menelponnya—jadi aku akan membuat rumah ini menjadi layak untuk ditinggali. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku mengecek surel. Melihat pesan masuk dari beberapa universitas tempatku mendaftar kuliah. Dua sudah membalas, selebihnya belum. Jadi aku memutuskan untuk menutup laptop dan menyiapkan makan siangku. Omelet bukanlah hal yang sulit untuk dimasak. Aku selesai membua
Damien pulang bersamaan dengan kedatangan mom. Mereka berbicara beberapa saat, kemudian Damien melambaikan tangan dengan mom—dan aku. Aku membantu mom mengeluarkan koper di bagasi. Ada beberapa tas belanja yang khusus dibeli untukku. "Dame berkunjung?" Aku mengangguk. Kutaruh koper mom kedalam kamar, dan barang-barang lainnya diruang TV. "Ransel?" tanyaku saat aku mengeluarkan isi tas belanja—tidak menggubris pertanyaan mom. "Hm," suara mom terdengar di dapur. Kemudian dia ikut bergabung denganku dan membuka barang belanja mom. "Sudah berbaikan dengannya?" Mendengar pertanyaannya membuatku memutar mata. Mom mendelik tak suka, tapi aku membalasnya dengan dengusan. "Kupikir berbaikan bukan kata yang tepat." Mom tertawa, "Jadi?" "Berusaha memaafkan." Jawabku cepat. "Aku hanya berpikir, jika hidupku akan lebih tenang jika memaafkannya." Jawabku. Kulirik mom, dia mengangguk. Dia tersenyum, tapi kemudian cepat-cepat disembunyikannya. "Dan?"
Pagi hari, aku terbangun dengan mimpi Damien yang berusaha menelanjangi Hannah. Mimpi sialan itu membuat perasaanku campur aduk. Kularikan pandanganku ke sudut bawah ranjang. Melirik jaket denim yang harus kuberikan pada Damien. Ini menyebalkan! Aku baru berusaha untuk memaafkan perbuatan yang dilakukannya setahun yang lalu padaku. Tapi mimpi yang barusan kualami terasa begitu jelas, seperti kejadian yang kulihat semalam. Begitu segar, begitu memuakkan. Ponselku bergetar. Menemukan pesan dari nomer tak tersimpan. Damien, sudah pasti. Kau sudah bangun? Anehnya, pesan itu terlihat tidak seperti Damien. Pesan yang biasanya dia kirimkan hanya pesan-pesan penting, tidak seperti sekarang yang terdengar basa-basi. Setelah menatap layar ponselku selama satu menit, kuputuskan untuk mengabaikan pesannya. Kularikan tubuhku ke kamar mandi. Menyetel air hangat di shower dan me
Aku tidak tahu harus kemana. Ini masih pagi—dan hujan. Berkeliling di Forks hanya membuat bensinku habis tanpa mendapatkan apapun. Aku membutuhkan pakaian kering. Jadi, saat aku melintasi FunkyForks milik orang tua West, kulihat toko pakaian milik mereka sudah terbuka. Kutepikan mobilku disebelah jalan masuk rumah West. Dengan cepat aku keluar dan berlari menuju tempat pakaian itu. Mendapati Joan sedang menyusun kaos-kaos di bagian atasan. Dia menoleh ketika bunyi lonceng diatas pintu berdenting pelan. Wajahnya berkerut bingung karena pakaianku yang basah kuyup. "Kau berjalan kaki kemari, Abby?" suaranya terdengan kuatir. Dengan cepat dia meraih mantel baru disebelahnya, kemudian menyelimutiku yang menggigil kedinginan. Aku mengerang senang ketika mantel itu menyelimutiku. Sedetik kemudian aku teringat dengan jaket yang sempat kubawa dan kulemparkan kebelakang jok pengemudi. "Trims, Mrs. Harvey." Balasku dengan suara penuh syukur. "Dimana Wes
Aku menghabiskan sisa hari ini dengan mengelilingi Port Angeles. Melihat matahari terbenam diantara gedung-gedung didepanku, merasakan angin yang menyapu tubuhku, membuang seluruh kenangan menjengkelkan hari ini. Aku tidak menjawab telepon dari mom. Hal yang memang ingin aku lakukan sejak pagi tadi. Ada puluhan pesan yang terpampang di ponselku, dan pastinya itu semua berasal dari mom. Ada sedikit sensasi kemenangan dalam diriku ketika pada akhirnya ponselku terus bergetar tanpa jeda. Teror darinya benar-benar membuatku merasa puas. Kubalas puluhan panggilan dan pesan yang sengaja tak kujawab dengan pesan singkat. Aku tidak ingin diganggu. Matahari terbenam didepanku kembali menarik perhatianku. Juga membuatku memutuskan untuk kembali ke Forks, sebelum hari berubah gelap. Kuhidupkan mesin mobilku, kemudian keluar dari tempat parkir gedung perkantoran yang terlihat sederhana. Mata
Aku tidak mampu mencerna seutuhnya kejadian berikutnya. Yang kutahu aku tiba-tiba sudah berada didalam mobil Damien. Sementara dirinya masih berada diluar, berjongkok didepan tubuh Sid yang sudah mampu untuk mengatur napas dengan baik dan duduk di tanah. Kemudian Damien beranjak pergi. Mengambil barang-barangku di mobil dengan cepat, memindahkannya ke mobilnya, dan masuk ke bagian pengemudi. Sepuluh menit kemudian—mungkin—aku sudah sampai dirumah dan langsung menuju kamar tanpa berbicara apapun pada mom ataupun Damien. Aku bahkan tidak memberitahu Savannah atas gagalnya aku menginap dirumahnya. Kuhabiskan malam itu dengan memori yang terus berputar berulang-ulang pada kejadian itu. Kemudian seberkas sinar matahari yang masuk kedalam kamarku menyadarkanku pada waktu yang berputar terlalu cepat. Seharusnya aku menikmati matahari pagi yang bersinar dengan lembut di Forks. Tapi aku tidak mampu menikmatinya—benar-benar tidak mampu. Rentetan kejadian itu terus berp
"Kemana mom?""San Diego. Empat atau lima hari. Mungkin Amanda akan pulang akhir pekan,"Aku mengangguk, "Bagaimana kau bisa kemari?"Damien terdiam sejenak. Kemudian dia terkekeh pelan, "Dengan perencanaan yang matang. Dan persiapan yang banyak. Karena aku tahu kau akan membenciku. Tapi aku tidak tahu rasanya akan semenyakitkan ini.""Apa sekarang rasanya membaik?""Yap, sangat." jawabnya. Dia mencium puncak kepalaku, kemudian melanjutkan, "Aku belajar banyak hal selama terapi. Tersenyum, menangis, marah, tertawa, kesal, benci—kau tahu ekspresi selayaknya manusia. Orang disekitarku di New York menganggap aku menyenangkan—mungkin karena aku berlatih berekspresi. Tapi saat pindah ke Forks—saat aku bertemu denganmu—aku merasa tidak pantas untuk bahagia.""Kau takut untuk bahagia." Koreksiku."Yah, kau benar. Lebih tepatnya, aku takut untuk kecewa. Aku takut untuk kehilanganmu. Karena aku tahu kau yang paling terl