Sudah tiga hari setelah ia datang ke apartemen Alva terakhir kali, Elena belum mengetahui kabar Alva lagi sampai sekarang. Dirinya juga belum mencoba menghubungi Alva lebih dulu, Elena enggan melakukannya. Melihat kedekatan Alva dan Rachel ditambah Rosie yang sedang berusaha mendekatkan keduanya membuat Elena tak berani untuk melangkah mendekat. Setelah hari itu pula Felic tak menemuinya lagi bahkan telepon pun tak ada, kejadian ini membuat Elena cemas.
Apa Felic marah sama aku ya karena pergi gitu aja, batin Elena. Padahal dirinya kini sudah tidak tinggal di tempat Alva, ini artinya rasa tak enak karena sudah merepotkan itu sudah hilang. Seharusnya dirinya lega, tapi kenapa rasa ini berbeda. Elena merasa tak nyaman dengan keadaan ini, apa karena tak adanya kabar dari Alva.
Sesuatu mengejutkannya, usapan pada pundak membuat Elena terperanjat.
“Ops maaf aku mengagetkanmu ya?” kata Mei seorang penyebab keterkejutan itu. Memang tak main, sungguh Elena t
Seperti apa yang dikatakan Mei tadi, Gisel dan karyawan lain butik pergi untuk mencari hiburan akhir pekan, menonton bioskop, makan di café dan berkeliling untuk melihat-lihat barang yang mungkin akan mereka beli. Gisel juga sempat mengajak Elena, tapi kini Elena menolaknya karena memang sejak siang ia berniat untuk langsung pulang. Tidak ada hal yang begitu mendesak, hanya saja ia merasa ingin langsung pulang saja. Mungkin memasak sesuatu yang berbeda dan menonton di kamar kost sendiri akan Elena lakukan malam ini.Gisel sempat sedikit memaksa memang, tapi jika dibandingkan dengan Elena yang memiliki pertahanan kuat Elenalah lebih unggul. Akhirnya Gisel menyerah dan membiarkan Elena pulang ke kost lebih dulu.Taksi yang ditumpangi Elena sudah berhenti tak jauh dari pagar kost putri banurasmi, tempat tinggalnya saat ini. Sang pemilik kost tidak memberikan peraturan yang begitu ketat bagi mereka yang tinggal di sini, karena sebagian besar dari kita bukanlah seora
“Ka..kamu ngapain?” Elena sungguh terkejut dengan aksi nyeleneh Alva.“Cicipi makanan kamu,” jawab Alva santai seraya mengambil makanannya dalam kantong.“Ta.. tapi kenapa harus-“ ucapan Elena tertahan, ia tak sanggup melanjutkannya. Kedipan mata Alva berikan, ia segera melahap bagiannya dan menatap lurus ke depan. Sedangkan Elena merasakan pergerakan kaku pada tubuhnya. Ia memalingkan wajah ke arah lain seraya menetralisir degup jantungnya.Keduanya menikmati makanan masing-masing, hanya suara dari luar dan pergerakan mereka yang terdengar. Keduanya belum kembali membuka suara. Elena sudah selesai dengan makannya, ia pun melipat bungkusan kecil bekas makanan cepat saji itu. Alva menyodorkan satu cup minuman ke arah Elena. Elena mengerjap kemudian menerimanya.“Makasih,” ucap Elena. Ia merasa tak enak padahal ia bisa ambil sendiri tanpa di sodorkan seperti itu. Setelah beberapa kali menenggaknya, Elena kemba
Tidurnya nyenyak sekali, sampai ia belum bangun hingga saat ini. Alva sempat khawatir Elena akan terbangun ketika ia membawanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Di sini lah mereka sekarang, Alva membawa Elena ke unit apartemen yang sempat ditinggalkan penghuninya. Alva membawa Elena ke apartemennya. Tapi syukurlah Elena tak terbangun walau sempat terusik.“Masih aja liatin Kak El,” suara Felic membuat Alva melirik sebentar dan kembali pada pusat perhatiannya sejak tadi.“Tau Kok, Kak El cantik,” kata Felic lagi. Alva menyunggingkan senyumnya, masih dengan mata yang memandangi Elena yang bergerak mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping menghadap Alva yang duduk di sisinya.“Mandi gih, baru bangun udah nongkrong aja liatin doi,” seru Felic yang mulai masuk menghampiri Alva. Felic hendak menarik tangan Alva, tapi Alva lebih dulu menghentikan pergerakannya. Felic memutar bola mata malas merasa geli dengan sikap Alva
“Sampai kapan kamu akan menganggap dirimu tak pantas El?” Alva berucap masih dengan memeluk Elena yang sesenggukkan.“Aku tak peduli apa profesimu, dari mana kamu berasal, dari keluarga mana pun kamu. Aku mencintaimu El, itu yang aku rasakan.” Alva mencium dan menghirup dalam puncak kepala Elena dengan mata terpejam.“Apa aku berhak mencintaimu Va?” Alva membuka matanya kembali dengan pelukan yang ia pererat.“Balaslah perasaanku El, beri aku ruang untuk bersamamu dan berjalan denganmu.” Alva melepaskan pelukan itu beralih menangkup sisi wajah Elena. Mata berair membasahi pipi, dan hidung memerah menjadi pemadangan Alva kali ini. Alva kembali mendekat dan mencium kening Elena beberapa detik. Setelah itu, ia membersihkan jejak air mata pada wajah Elena.“Maaf aku telah mengecewakanmu,” kata Alva yang kembali menangkup sisi wajah Elena. Tak membiarkan Elena mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Bagaimana keadaanmu?” Roy bertanya seraya berjalan mendekat ke arah Alva dan Elena.“Aku ada disini, itu berarti aku baik-baik saja,” jawab Alva yang malah ditimpali kekehan oleh Roy.Elena menunduk saat Roy melirik Alva dan dirinya secara bergantian. Bertemu dengan Roy mengingatkan Elena akan cerita masa lalu Naura. Ia jadi semakin canggung.“Halo Elena, apa kabar?” Elena mengerjap. Ia mengangkat wajah memberanikan diri membalas tatapan Roy.“Baik Tuan, Tuan Roy apa kabar?” Elena balik bertanya. Bukannya jawaban yang Roy berikan, pria paruh baya itu kembali terkekeh membuat Elena heran apakah ada yang salah dengan ucapannya.“Bagaimana kalau kamu panggil aku om saja,” ucapnya. Rupanya tawa renyah itu tertuju pada sebuah panggilan.“Saya takut tidak sopan Tuan,” timpal Elena yang kini kembali menunduk. Roy tersenyum melihatnya dan mendekat. Roy mengusap bahu Elena membu
Roy menggeleng kuat, ia tak habis pikir Rosie membayar orang untuk mengikutinya. Sangat keterlaluan, pikir Roy.“Kenapa kamu melakukan itu Ros?” Roy memegang kedua bahu Rosie, menuntut penjelasan.“Karena kamu orang yang sulit dipercaya.” Deg! Bahu tegap Roy meluruh, ia tertampar dengan jawaban yang dilontarkan istrinya.“Beralasan pergi untuk meeting ke luar kota, tapi nyatanya menemui perempuan lain.”“Kapan aku melakukan itu Rosie? Kamu jangan asal bicara!” Roy melepaskan cekalannya pada bahu Rosie.“Kau pikir aku tak tahu kamu yang diam-diam datang hanya untuk memperhatikan Naura dari jauh!” Mata Roy membulat, ia tak mampu berkata-kata lagi.Rosie berbalik membelakangi Roy, ia memijat keningnya. Bahunya bergetar, ia berusaha untuk menahan tangis namun tak bisa.“Menurutmu kenapa aku tak setuju dengan hubungan Alva dan desainer Mei itu?” lirih Rosie di sela tan
Mata Alva terpejam dengan tangan memijat kening. Pikirannya sedang liar dan tak karuan. Perihal apa yang tadi ia lihat sangat menganggunya. Kenyataan apalagi yang mengejutkannya kali ini, ada hubungan apa Rachel dengan kediaman yang katanya merupakan alamat dari Kalina, ibu kandungnya.Pintu mobil bagian samping terbuka, Erick datang dengan dua cup kopi yang ada di tangannya. Minuman yang baru saja ia beli dari kedai kopi yang berada diluar sana. Memang mobil Alva kini sedang berada pada parkiran kedai kopi tersebut.“Tadi gue sempet tanya John, orang suruhan gue untuk cari tahu tentang Kalina. Dia bilang, itu memang alamat yang ia temukan, namun perihal kehidupan dan keluarganya mereka belum dapatkan kabarnya. Mereka baru melacak sebatas tempat tinggal,” jelas Erick. Alva mulai membuka matanya dan menerima salah satu cup yang disodorkan Erick padanya.“Sorry informasi yang didapat belum lengkap. Gue akan suruh mereka untuk selidiki lebih dalam
Akibat pengakuan Alva tadi malam, Elena menjadi tak tenang di hari libur ini. Memang hari ini Mei memberikan beberapa karyawannya libur termasuk Elena. Ia yang berniat ingin menikmati pagi hari dengan merenggangkan otot-ototnya di depan kamar kost malah diserbu dengan berbagai pertanyaan dari teman-teman kostnya yang rupanya sedang berkumpul di area depan juga. Perihal hubungannya dengan Alva, bagaimana dirinya bisa dekat dengan seorang Alva, mereka jadi menanyakan banyak hal. Padahal sebelumnya Elena belum begitu dekat selain dengan Gisel tapi karena kejadian tadi malam Elena tiba-tiba menjadi seleb kost Putri Banurasmi. Ya ampun El jangan ketinggian deh kamu, batinnya mengelus dada.“Kapan si Tuan Muda akan mengunjungimu El?” tanya Luna yang paling banyak bicara sejak tadi.“Namanya Alva Lun.” Elena membenarkan. Luna tekekeh seraya mengangguk mengiyakan.“Aku tidak tahu,” jawab Elena, karena memang benar ia tak tahu Alva kap