Pintu dengan nomor kamar 18 itu mulai terbuka. Elena berjalan gontai dengan tas yang menggantung ditangan kanannya. Sepulang dari acara fashion week, Mei mengajak Elena untuk mampir ke salah satu restoran. Ingin segera pulang, tapi enggan untuk menolak. Alhasil Elena makan tak berselera. Elena memaksakan diri untuk tetap memakan hidangan itu walau tak banyak. Mei juga sempat bertanya perihal keadaannya, badan yang kurang fit pun menjadi alasan Elena.
Mei menawarinya untuk periksa ke dokter terlebih dahulu, tapi Elena menolak dan meminta untuk pulang saja dan kini ia pun sudah pulang dengan diantar oleh Mei. Pakaian koleksi butik Meisie pun masih melekat pada tubuhnya, Mei mempersilahkan Elena untuk memilikinya. Sungguh Elena sangat berterimakasih.
“Maafkan aku yang telah berbohong,” lirih Elena dengan tas tangan yang tadinya menggantung kini berada di pelukannya.
“Tidak, aku tidak berbohong aku memang sedang sakit. Hatiku sakit,” lirihnya
Usapan masih Elena lakukan pada punggung seseorang yang masih terisak. Elena membiarkan Alva menangis di pundaknya. Kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup tapi belum sempat bertemu dan kini mendapat kabar bahwa beliau sudah tiada, hanya mendengarnya saja itu sangat menyakitkan apalagi Alva yang mengalaminya sendiri. Tak bisa Elena bayangkan sesakit apa perasaannya, sehancur apa di dalam sana.Tak ada yang bisa Elena lakukan selain menemani Alva melewati semuanya dengan lapang dada. Siapa yang ingin ditinggalkan dan meninggalkan dalam konteks ini? Semua terjadi akan takdir tuhan. Manusia hanya bisa berencana dan berdoa untuk hasil tuhan yang menentukan.Kenyataan kali ini beberapa kali lipat lebih menyakitkan daripada kebenaran-kebenaran yang sebelumnya terbongkar. Elena melihat seorang Alva yang yang menyebalkan kini begitu rapuh, bahunya yang selalu tegap kini bergetar lemah.Apa yang bisa aku lakukan untukmu Va, batin Elena yang kini mengangkat kedua ta
“Kenapa membawaku ke sini?”“Kamu tak ingin mereka berpikir macam-macam bukan? Tapi kalau di sini kita bebas melakukan apapun yang kita mau.” Elena melirik tajam Alva yang duduk pada sofa yang berbeda. Padahal sebelumnya mereka duduk bersisian tapi Elena yang memilih pindah dengan alasan duduk bersisian seperti itu menjadikannya sesak, ia perlu menghirup udara dengan nyaman.“Ya, kamu bebas melakukan apapun di sini karena ini tempatmu,” ucap Elena menimpali ucapan Alva. “Kamu juga bebas membiarkan siapapun datang dan melakukan apapun dengan orang yang kamu maksud itu, karena ini apartemenmu.” Nada bicara ketus itu masih saja terdengar, kekesalan Elena masih belum hilang. Apalagi Alva yang tadi memaksanya untuk ikut padahal dirinya sedang ingin menghindari Alva.Elena tak menoleh atau melirik ke arah Alva, tapi ekor matanya mengetahui pergerakan pria itu yang sedang menuju ke arahnya. Elena berdehem masih dengan mem
Kedua tangan ia tumpukan diatas meja seraya menangkup wajahnya. Alva betah memperhatikan Elena yang begulat dengan peralatan dapur. Apron dengan motif bunga yang dikenakan membuat Elena semakin menggemaskan. Apron itu sengaja Alva beli dan perdana Elena pakai karena memang tujuan Alva membelinya saat itu adalah untuk Elena dan hari ini hal itu tercapai. Alva melihat Elena mengenakannya seraya memasak sesuatu untuknya. Bayangan akan masa depan begitu saja terlintas di pikiran Alva. Pemandangan seperti ini mungkin akan ia lihat setiap hari nanti. Membayangkannya saja membuat hati Alva bergetar, ia berharap itu tak hanya menjadi sebuah angan namun sesuatu yang dapat ia gapai. Elena berbalik dengan panci yang ia bawa. Uap yang mengepul menandakan masakan itu masih sangat panas. Alva menegakkan tubuhnya menyambut kedatangan Elena dengan wangi masakan yang menyeruak pada indra penciumannya. “Ini pasti enak,” ucap Alva seraya memandangi sup ayam yang sedang Elena sa
Bel apartemen berbunyi beberapa kali. Elena mulai membuka matanya dan tersadar bahwa ia juga ikut tertidur di sofa. Bahunya masih terasa berat, Alva masih pulas disana dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga ke leher. Elena kembali menempelkan punggung tangannya di kening Alva, mengecek suhu tubuh itu. Syukurlah membaik, batin Elena yang tak merasakan kening Alva yang panas seperti tadi. Obatnya cocok dan membuat Alva tertidur pulas juga.Ting! Tong! Bel kembali berbunyi, hampir saja Elena lupa bahwa tadi ia terbangun akan suara itu. Perlahan Elena menggeser tubuhnya dan menyandarkan kepala Alva pada sandaran sofa. Elena mulai beranjak dari sana dengan hati-hati takut Alva terbangun karena geraknya. Ia juga berjalan cepat menuju pintu karena suara bel yang bisa saja mengganggu tidur Alva.Suasana hening tercipta saat pintu mulai terbuka, dua orang terdiam berdiri kaku diantara bingkai pintu hitam. Saling mengunci pandangan, menatap satu sama lain. Kedatangan Rosie
Dalam kegiatan memasaknya, Elena terus terpikirkan akan ucapan Rosie yang cukup menyayat hatinya sampai air mata tak dapat ia bendung lagi. Di hadapan Rosie Elena mengeluarkan cairan mataya, tetapi wanita itu terlihat tak peduli akan respon Elena sampai ponsel Rosie yang bergetar membuatnya beranjak dan menyudahi acara bincang yang tak ingin Elena alami lagi. Sebegitu bencinya kah Rosie padanya sampai berucap yang tak mengenakan hati di depannya. Elena berbalik menghadap wastafel, ia menarik nafas panjang dan mengusap jejak tangisnya. Tak ingin ia berlarut dalam kesedihan ini. Dirinya bisa saja memilih pergi dari sini, tapi Alva menjadi alasannya bertahan dan tetap melanjutkan apa yang sudah ia niatkan sebelumnya yaitu memasak untuk makan malam nanti.Tak mungkin Elena meninggalkannya apalagi dalam keadaan Alva yang sedang sakit. Untuk itu, Elena mengesampingkan rasa sakit hatinya. Apa ini yang dinamakan memperjuangkan sebuah hubungan, Elena baru tahu rasanya sekarang. Elena
Sebuah meja bundar dekat jendela ditempati oleh seseorang yang sedang termenung. Pandangannya berpusat ke arah luar jendela bergaya bay yang disesuaikan dengan tema coffee shop yaitu klasik eropa. Café ini adalah salah satu tempat yang sering Rosie jumpai seorang diri. Sudah menjadi kebiasaanya setiap ada masalah ia menikmati secangkir kopi di tempat ini. Keberadaan coffee shop cukup jauh dari area jalanan menjadikan suasana tak terganggu dengan berisiknya kehidupan kota. Sebagian besar pengunjung datang untuk mencari ketenangan dan suasana café sangatlah mendukung. Begitu pun dengan Rosie, ia lelah dengan pikirannya yang riuh sejak tadi.Berbagai ingatan muncul di pikirannya. Ingatan akan sikap seorang ibu terhadap anak sambungnya. Akhir-akhir ini Alva menunjukkan penolakan akan apa yang sudah Rosie bentuk sejak dulu. Sesuatu yang Rosie ciptakan agar anak itu dapat membanggakan. Sebuah pencapaian luar biasa berhasil Alva raih, ia berhasil menjadi seseorang yang
“Gimana El?” tanya Luna.Elena mengerutkan keningnya karena memang ia tak tahu dengan topik pembicaraan mereka sebelumnya.“Emm.. aku gak tau maksud kalian apa,” ucap Elena yang mulai mendekatkan piring berisi makanan itu pada Alva. Alva menerimanya dan mengambil salah satu menu dari sana.“Weekend nanti kita anak kost putri banurasmi bakal ke pantai, tadi siang kita rencanain dan kebetulan kamu lagi gak ada di kostan El, jadi baru di kasih tahu sekarang,” jelas Luna. Elena mengangguk dengan mulut membentuk huruf O.“Iya El, kebetulan kamu belum kita kasih tahu ya. Harus ikut ya, wajib nih buat anak kost putri banurasmi,” tutur Gisel yang mulai bergabung.Lagi-lagi Elena mengangguk, tapi dengan jawaban yang belum ia berikan. Banyak hal yang perlu Elena pertimbangkan, waktu, pekerjaan dan suasana hatinya. Apakah dirinya ingin ikut atau tidak.“Aku juga udah bilang ke Nyonya Mei dan dia gak
“Lo serius udah baikan?” tanya Reno yang begitu khawatir.“Hm,” dehem Alva.“Serius gue kaget banget, pagi tadi Nyonya Rosie telepon marah-marah karena gue biarin pas lu sakit. Ya, gue mana tau lu lagi sakit Va,” tutur Reno yang terus mengikuti Alva yang menelusuri koridor menuju studio rekaman. Jadwal Alva hari ini memang akan melakukan rekaman single pertama yang judulnya masih di rahasiakan.“Jadi lu khawatir karena kena marah?” tanya Alva tanpa menoleh ke arah Reno.“Bu..bukan itu, serius gue khawatir sama lu Va.” Alva tak lagi menimpali, ia membuka ruang studio dan melihat Erick bersama staf lainnya yang sudah siap di sana.“Pagi ganteng, akhirnya datang juga,” seru Erick menyambut kedatangan Alva.“Sorry, gue belum telat setengah jam kan?” kata Alva.“It’s okay tapi kamu membuat seseorang lama menunggu sejak tadi,” tutur Erick.