Semburat cerah menjalar di wajah Pras saat melihat Raisa mendekat kepadanya. Perlahan senyumnya tersungging. Selain karena kasihan pada Pras jika membatalkan ojek, Raisa juga bisa terlambat untuk bertemu dengan Dokter Farah.
“Terima kasih.” Dua kata keluar dari mulut Pras saat Raisa berada di dekatnya. Tangannya terjulur untuk memberi helm kepada perempuan di sampingnya. Raisa sama sekali tidak tertarik untuk menanggapi sikap ramah Pras.
Ketika Pras sudah siap memegang stang, Raisa naik. Menjaga jarak, duduk di ujung jok dengan berpegangan pada behel sepeda motor. Setelah memastikan Raisa siap, Pras memacu kendaraannya memecah jalan.
“Apa kabar?” Setelah cukup lama keduanya berdiam diri, akhirnya Pras menanyakan kabar.
Namun, Raisa lagi-lagi tidak menanggapi ucapan Pras. Pria itu mafhum, keadaan sudah tidak sama lagi seperti dulu. Raisa punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan Pras setelah semua yang terjadi.
Keduanya kembali melakukan gencatan suara. Hanya deru mesin motor yang terdengar. Tiga puluh menit berlalu, mereka berdua sampai ke tempat tujuan. Raisa menjulurkan uang sebagai ongkos ojeknya dengan wajah datar. Pras memandang uang itu, kemudian beralih pada wajah Raisa. Memandangnya dengan lekat. Prempuan itu sigap megalihkan pandangan ke samping, tidak kuasa untuk menatap mata itu.
“Sampai kapan kamu hanya akan memandangiku? Tanganku sudah mulai letih,” ucap Raisa ketus.
Pras kemudian mengambil uang pecahan dua puluh ribu itu. Merogoh kantong celananya untuk mengambil uang kembalian.
“Ambil saja kembaliannya,” ucap Raisa. Balik kanan dan mulai melangkah menuju gedung rumah sakit di depannya.
“Raisa!” panggil Pras.
Lagi-lagi Raisa tidak menggubrisnya. Pras menurunkan standar motor dan mengejar Raisa. Kali ini mereka melangkah bersisian.
“Aku mau bicara sebentar,” ucap Pras.
“Aku sedang buru-buru. Aku bisa terlambat,” balas Raisa tanpa memandang ke arah Pras.
“Aku akan menunggu.” Pras berhenti dari langkahnya karena Raisa sudah berbicara dengan resepsionis. Entah perempuan itu mendengar atau tidak, Pras akan tetap menunggu. Pras masih memandangi Raisa hingga menghilang memasuki koridor rumah sakit.
***
Raisa melangkah dengan pikiran berkecamuk. Setelah memastikan berada di depan ruangan yang benar, Raisa mengatur gestur tubuh dan menarik napas dalam-dalam. Pelan Raisa mengetuk pintu.
“Assalamualaikum.”
“Walaikum salam. Masuk.”
Raisa menjawil gagang pintu dan memutarnya. Selarik senyum membingkai wajahnya yang terlihat kaku ketika pintu terbuka. Wanita dengan kaca mata minus yang sedang duduk di depan meja di dalam tersenyum ramah menyambut Raisa.
“Raisa, Dok.” Raisa memperkenalkan diri ketika berada di ujung meja.
Dokter Farah tertawa kecil sambil memegangi dahinya. “Saya sebelumnya sudah surprised sekali akan ditemui oleh artis papan atas,” selorohnya.
Raisa hanya menyengir, tahu bahwa dokter di depannya sedang bercanda. Dia senang, Dokter Farah kelihatannya sangat ramah.
“Silahkkan duduk, Mbak Raisa.” Dokter Farah mempersilakan Raisa duduk dengan menyebut “Mbak” demi sopan santun kepada orang yang baru dikenalnya.
Raisa mengangguk pelan, lalu menarik kursi dan duduk. Rasa gugup perlahan menyusut setelah mendapatkan sedikit perlakuan ramah dari Dokter Farah.
“Sudah punya anak, Mbak Raisa?” tanya Dokter Farah.
“Belum, Dok. Saya menikah tidak sampai satu bulan,” jawab Raisa.
Mendengar ucapan Raisa, Dokter Farah menyunggingkan senyum menggoda. “Masih pengantin baru, ya?”
Raisa hanya menggangguk samar dengan wajah berbingkai senyum tipis. Semua orang memang akan berpikir stereotip mengenai pasangan yang baru menikah, bahwa kedua pasangan itu seakan-akan pemilik dunia saat itu. Raisa pun pernah berpikir demikian, sebelum akhirnya dia merasakan sendiri bahwa pernikahannya tidak semanis anggapannya dulu. Semua hal-hal indah yang setiap kali dilihatnya di film-film romantis tentang malam-malam awal pernikahan tidak selalu terjadi pada semua orang, salah satunya tidak padanya.
“Apa suami Mbak Raisa ikut?”
Raisa menggeleng pelan. Baiklah, Dokter Farah tidak perlu menanyakan ke mana suami Raisa. Melihat wajah Raisa, Dokter Farah menangkap sinyal tidak bahagia dari pasien di depannya. Dokter yang telah menghadapi bermacam-macam pasien dengan bermacam-macam latar itu paham Raisa sedang mengalami masalah dengan rumah tangganya.
“Jadi ... ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanya dokter itu kemudian dengan wajah yang sangat ramah dan bersahabat.
Awalnya ragu, tapi ada dorongan kuat yang mengharuskan Raisa untuk menjelaskan semua yang terjadi padanya. Yaitu, keluhan-keluhan yang dia alami saat berhubungan ranjang dengan sang suami.
“Vaginismus,” celetuk Dokter Farah.
Raisa terhenyak demi mendengar kata yang baru saja diucapkan dokter berparas cantik di depannya. Vaginismus? Kata yang tidak pernah didengar olehnya. Apa itu? Dadanya berdegup kencang, pikirannya memikirkan hal-hal menakutkan tentang vaginismus.
Dokter Farah tersenyum melihat keterkejutan Raisa, berisyarat bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kemudian dengan tenang menjelaskan bahwa Vaginismus adalah satu penyakit di mana kondisi otot vagina mengencang dengan sendirinya saat penetrasi seksual. Vaginismus menyebabkan rasa sakit, kesulitan, dan mengakibatkan rasa tidak puas saat beraktivitas seksual.
“Penyakit ini jarang sekali terjadi, perbandingannya hanya 1 dari 10 wanita di seluruh dunia,” lanjut Dokter Farah.
Raisa menghela napas mendengar penjelasan Dokter Farah.
“Apa ... penyakit ini bisa sembuh, Dok?” Raisa bertanya cemas.
Dokter Muda itu tersenyum, “Tentu saja, Mbak. Setiap penyakit insya Allah ada penawarnya.”
“Kalau begitu, saya ingin segera dapat diobati, Dok,” sambar Raisa antusias.
Dokter Farah menatap lekat-lekat wajah polos Raisa sambil tersenyum tipis. “Pengobatan ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar, Mbak. Kami juga harus memeriksa kondisi, maaf, vagina, Mbak Raisa.”
Raisa menghela napas panjang, mengusap wajah.
***
Raisa melangkah melewati lorong rumah sakit ketika meliha Pras tengah duduk di kursi panjang. Perempuan itu berbalik ingin menghindar, tapi Pras kemudian memanggilnya.
“Ck! Ada apa lagi, sih?” Raisa mmeggerutu sebal. Menunggu Pras yang kini berlari ke arahnya.
“Raisa, aku mohon. Aku ingin bicara sebentar.” Pras berkata setelah berada di dekat Raisa. Wajahnya memelas. Pria itu memang sengaja menunggu Raisa, inilah saat yang tepat untuk mengatakan semua padanya. Meskipun dia tidak mungkin lagi bersama Raisa, tapi setidaknya Raisa berhenti beranggapan bahwa dirinya pria yang munafik.
“Bicara apa?” Raisa bertanya malas. Menatap jam digital di layar ponsel. Sudah pukul sebelas. “Aku harus segera pulang,” imbuhnya.
“Ini tidak akan lama, aku janji.” Pras menyapu pandangan pada kiri kanan halaman hijau di antara bangunan rumah sakit, mencari tempat yang nyaman untuk bicara.
“Di sana ... kita bicara di sana.” Pras tersenyum, menunjuk barisan meja di bawah pohon ketapang yang berdaun lebat. Tidak jauh dari tempat teduh itu adalah kantin rumah sakit. Meja-meja dengan kursi itu sepertinya memang sengaja disiapkan untuk pengunjung.
Raisa mendesah pelan. Baiklah, sepertinya tidak ada salahnya sejenak melunak mendengarkan penjelasan Pras. Lagi pula, kalau boleh jujur, ada terselip rindu yang susah payah Raisa pendam. Apalagi saat mengingat apa yang telah dilakukan Pras, rindu itu seketika tertimbun oleh rasa kecewa dan benci yang menggunung.
Raisa mengekor di belakang Pras. Pria itu menarik kursi dan mempersilakan Raisa duduk, sementara Pras berlari menuju kantin. Dua menit berikutnya, Pras kembali melangkah cepat dengan dua minuman di tangannya.
Darah Raisa berdesir ketika melihat dua porsi cappucino dingin teronggok di atas meja. Raisa menatap Pras, ingin sekali rasanya perempuan itu menangis ketika mengingat pertemuan terakhirnya tahun lalu. Dua gelas cappucino dingin menjadi saksi bisu janji setia mereka sebelum Pras berangkat ke Kuala Lumpur.
“Minuman kesukaan kamu.” Pras tersenyum.
“Apa yang ingin kamu bicarakan? Cepatlah, aku harus segera pulang.” Raisa menatap lamat-lamat pria di depannya.“Aku minta maaf, Raisa ....” Pras berkata pelan dan langsung disambar oleh Raisa sebelum pria itu merampungkan ucapannya. Perih hati Pras.“Kamu tidak perlu minta maaf.” Raisa berusaha tegar, menatap jauh ke samping kanan. Memandang kosong lalu lalang kendaraan di atas aspal yang terpanggang matahari. Sebenarnya, cappucino dingin di depannya terlihat sangat menggoda di cuaca panas seperti ini, tapi entahlah, tiba-tiba dia tidak berselera walau hanya sekadar menyentuhnya.“Dengarkan penjelasanku ....”“Semua sudah jelas, Pras. Aku sudah menjadi istri orang lain. Apa lagi yang kamu harapkan dariku?” Raisa menatap Pras dengan mata berkaca-kaca.Sakit rasanya saat wanita di hadapannya tidak lagi memanggilnya dengan sebutan “Mas” seperti biasanya.“Semua
Dengan jantung kebat-kebit Raisa meraih ponsel Kun. Betapa terkejutnya, saat layar ponsel menyala dan mendapati sebuah video dirinya dengan Pras.Itu adalah videonya dengan Pras saat duduk di dekat kantin rumah sakit. Dari mana Kun mendapatkannya? Batin Raisa bertanya-tanya. Namun, itu hanya video percakapan biasa. Raisa tidak melakukan apa-apa dengan Pras. Apa hanya karena itu Kun cemburu?“Apa ini, Mas?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Raisa.Mata elang Kun menohok tajam Raisa, hingga membuatnya terlihat ciut.“Kamu keluar untuk menemui laki-laki itu, kan?” Kun menatap Raisa penuh selidik.“Mas ... dia cuma tukang ojek online.” Raisa menjelaskan, karena memang tidak ada apa-apa dengannya dan Pras. Tetap mengatur volume suara agar tidak pecah.“Ojek online?” Kun tertawa kecil, sinis. “Kamu liat video satunya. Jangan bodohi aku. Aku bukan anak kecil lagi, Raisa.”
Malam berlalu. Azan shubuh berkumandang. Berseru agar orang-orang yang masih terlelap lekas bangun untuk menunaikan kewajiban. Mengajak untuk bergegas menyambut kemenangan.“Mas ....” Raisa yang sudah siap dengan pakaian salatnya menggoyang pelan tubuh Kun. Namun, beberapa kali Raisa mencoba membangunkan suaminya, pria itu hanya bergumam tidak jelas sembari merapatkan selimut. Setiap hari Raisa harus membangunkan Kun untuk shalat subuh, tak jarang Kun malah mengumpatnya karena kesal.Raisa menghela napas pelan. Ia turun dari ranjang, melangkah menuju sajadah yang sudah terhampar. Melakukan salat sunah Fajar. Setelah itu barulah ia akan mencoba membangunkan Kun lagi.Beberapa menit berlalu. Salat sunnah Fajar telah selesai Raisa kerjakan. Perempuan itu kembali untuk membangunkan Kun yang masih bergelung di bawah selimut hangatnya. Sebenarnya ada sedikit perasaan takut untuk membangunkan Kun, takut jika dia membentaknya lagi seperti tempo hari. N
Betapa kagumnya Sanjaya pada Raisa yang setiap pagi selalu mengerjakan pekerjaan rumah. Pasti itu turunan dari Widia. Namun, akhir-akhir ini Sanjaya merasakan ada yang aneh pada perempuan yang telah menjadi menantunya itu. Meskipun Raisa memang jarang berbicara dengannya, tapi jelas sekali dari matanya tergambar kesedihan. Ada apa? Apa sedang terjadi sesuatu dengannya dan Kun? “Raisa ....” Raisa sedikit terkejut mendengar suara Sanjaya yang tidak diketahui sejak kapan berada di belakangnya. Sontak dia menoleh menuju sumber suara, menghentikan pekerjaan mencuci piringnya. “Iya, Pa?” tanya Raisa pada laki-laki yang berdiri dengan bantuan kurk. “Em, Kun ke mana?” Sebenarnya Sanjaya sudah tahu Kun sedang mengantar Delila pulang. Delila mendapatkan alasan pas untuk berhenti menjadi caregiver-nya, karena sedang masa pemulihan serta memerlukan istirahat cukup. Apalagi, katanya rumah tangga perempuan itu sedang mengalami masalah. “Mengan
Kun benar-benar kelimpungan saat akan mengambil berkas penting di dalam tasnya tapi tidak menemukannya. Bagaimana bisa ia sampai lupa untuk memasukkan berkas itu?Hari ini adalah Raker (Rapat Kerja) Kepala Desa, Camat, serta BPD (Badan Permusyawatan Daerah) sekabupaten. Dan berkas itu adalah syarat wajib yang harus di bawa olehnya. Acara akan dimulai beberapa menit lagi, tidak mungkin Kun harus pulang untuk mengambilnya.Kun menyugar rambutnya kasar. Satu-satunya jalan adalah meminta orang rumahnya untuk mengantarkan berkas itu, meski ia tahu berkas itu tetap akan terlambat sampai padanya.Kun mencoba menghubungi Raisa, tapi berkali-kali tidak diangkat oleh perempuan itu. Membuatnya mengumpat berkali-kali dalam hati.“Ayolah! Di mana kamu, Raisa?” gumamnya dengan gigi geraham bergemertuk. Mencoba kembali menghubungi nomor Raisa. Akan tetapi panggilannya hanya berakhir begitu saja sebagaimana sebelumnya.“Pak, acara akan segera
"Mas, kamu nginap di sini, kan?" tanya Delila.Semburat jingga sudah mulai menjalar di kaki langit ufuk barat. Delila sejak tadi menelepon Kun agar mengunjungi dirinya di rumah barunya. Perempuan itu lagi-lagi berkata bahwa dia sangat takut sendirian di sana.Kun menghela napas panjang mendengar pertanyaan Delila. Apa boleh buat? Terpaksa dia harus menginap lagi bersama Delila. Mengesampingkan keiinginannya untuk pulang ke rumah asalnya. Bukan untuk menemui Raisa, tapi takut diomeli oleh sang papa, Sanjaya."Ya." Kun menjawab malas. Lalu merogoh ponsel di sakunya dan mulai mencari sebuah kontak.Ketika kontak tersebut ketemu, dengan hati merutuk, Kun segera memanggilnya."Halo, Tuan," sapa seorang laki-laki di seberang sana."Kamu masih ingin bekerja denganku, hah?" umpat Kun."Maksudnya, Tuan?""Kenapa belum juga dapat pembantu yang saya perintahkan!" pekik Kun.Sudah tiga hari Kun memerintahkan anak buahnya untuk
Raisa masuk ke kamarnya. Wanita itu tersenyum lembut pada Kun yang tengah bergoler dengan mata terpatri pada layar ponsel di tangan. Sekilas Kun melirik Raisa, tanpa membalas senyuman.Mendapati Kun semakin bersikap dingin, Raisa menelan ludah. Lalu perlahan menghampiri sang suami."Mas mau langsung tidur atau mau aku pijitin?" tanya Raisa."Tidak perlu," jawab Kun tanpa melihat sang istri.Lagi, Raisa menyunggingkan senyum lembut meski sadar perhatiannya tidak akan mendapat balasan apa-apa selain tatapan dingin.Sudah pukul sepuluh malam, Raisa harus segera tidur. Atau dirinya akan kesiangan. Besok pagi-pagi dia harus memasak untuk sarapan dan bekal Kun. Bi Imas sedang pulang kampung karena anaknya sedang sakit.Raisa merebahkan tubuh di samping Kun, berjarak dua jengkal. Dada itu kembali berdebar. Rasa di mana hati Raisa direngkuh nyenyat saat menyadari bahwa dirinya dan Kun seperti orang asing. Bukan seperti sepasang suami istri.
"Pa, Kun tidak bohong, Pa," elak Kun sambil mengibaskan tangan di udara."Kamu pikir aku bodoh, hah? Aku tahu dari ayahmu kalau kamu tidak menginap di sana!" bentak Sanjaya dengan bibir gemetar menahan amarah.Kun terdiam begitu mendengar kalimat Sanjaya. Benar, dirinya tidak menginap di rumah ayahnya di kampung. Akan tetapi, dia menghabiskan malam di rumah Delila, sang istri siri.Sementara, di tempatnya berdiri, Raisa kembali harus menahan perih. Pikiran-pikiran negatif perlahan tumbuh berjejal memenuhi kepala."Pa, maaf. Kun memang tidak menginap di rumah Ayah. Kun menginap di rumah teman," ucap Kun pelan.Belum sempat Sanjaya mengeluarkan suara lagi, terdengar seseorang melangkah mendekati keduanya. Raisa tersenyum sambil menimang sebuah paper bag berisi bekal Kun yang sudah disiapkannya."Mas, kamu lupa membawa bekal." Raisa berkata lembut dan menyerahkan bekal di tangannya.Kun berusaha tersenyum pada Raisa, lalu m