Setelah kejadian malam itu, Mike menyadari kenaifan dirinya. Rasa percaya diri akan bakat serta kelebihan yang dimilikinya selama ini telah membuatnya lupa akan luasnya dunia ini. Dia tak pernah menyangka dirinya menjadi tak berdaya menghadapi seorang paruh baya yang hanya mengandalkan pengalaman. Tentu Mike juga tahu pria itu tidak hanya bermodal pengalaman, tapi dia tidak ingin terlalu berlebihan mengakui kehebatan orang lain hanya karena satu kekalahan itu.
Walau bagaimanapun juga, itu cukup sukses menyadarkan Mike akan kenaifannya selama ini. Meski tahu seharusnya masih ada ruang untuknya berkembang, tapi selama ini dia telah terlalu nyaman. Sekarang dia seperti sedang menghukum dirinya sendiri sama persis seperti Mansa dulu menyiksa dirinya.
“Waaa.., sulit juga ternyata,” serunya kelelahan di puncak tangga.
“Jangan paksakan dirimu, Mike!” seru Mansa yang baru saja kembali sampai di puncak itu.
“Kamu kan masih dalam masa pemuliahn” jelasnya.
Mansa merasa takut dia akan pingsan lagi. Hal itu membuatnya terlihat agak tegang karena khawatir. Ketegangan Mansa itu justru membuat Mike semakin khawatir. “Mansa, cobalah sedikit lebih rileks!” serunya. “Jika kamu tegang begitu, justru aku takut kamu akan semakin berlebihan nanti melakukannya.” Tanpa menyahut Mansa berusaha untuk serileks mungkin. Dia tahu untuk memaksa mengeluarkan tenaga dalam dengan teknik pernafasn itu, pada suatu titik dia memang harus sedikit memaksa tubuhnya dan kondisi menegangnya otot-otot adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tapi sepertinya dengan menjaga pikirannya untuk tetap tenang mungkin bisa sedikit membantu agar dia tidak lagi melakukannya secara berlebihan. Di teras itu Mike duduk mengawasi Mansa. Dia tahu kondisinya tidak sedang prima, tapi dia ingin memahami apa yang salah dengan teknik pernafasan yang dilakukan Mansa. Dia terpaksa harus memaksimalkan fungsi matanya, bukan kemampuan untuk melihat dikegelapan, tapi
Mereka memang berniat untuk bermalam di tengah hutan. Namun dilihatnya hari masih belum lewat jam 9 malam, sementara Mansa sudah tak sadarkan diri terbaring di teras. Mike yang selama ini melewatkan malam sebagai seorang nocturnal yang biasanya kelayapan malam-malam, jam 9 malam masih terlalu cepat baginya untuk tidur. Meski tubuhnya membutuhkan istirahat, tapi mata dan pikirannya berkata belum saatnya. Mike mencoba bersahabat dengan keadaan, berkompromi dengan mata dan pikirannya. Saat ini dia duduk di dekat api unggun di pekarangan pondok mencoba menenangkan prikiran. Nampak Mike mulai mengatur nafas untuk bisa serileks mungkin. Bosan tak tahu apa yang harus diperbuatnya, Mike memanfaatkan waktu kosong itu untuk kembali melatih tubuhnya. Pikirnya mungkin dia bisa mengajari tubuhnya untuk tetap bisa aktif dan efektif dalam kondisi kritis. Dengan masih duduk bersila, di situ dia melakukan latihan pukulan ringan kiri dan kanan ke arah api unggun. Dia tahu tubu
<< Hey Mansa, soal yang tadi malam... >> “Ya, aku juga sudah tahu” sanggahnya memotong. “Tapi apa yang bisa aku lakukan? Mungkin teknik itu memang tak cocok untukku.” “Nantilah aku coba bicarakan dengan Mike. Sekarang yang jelas isi perut dulu,” serunya lagi setelah menutup pintu rumahnya. Namun belum turun Mansa dari teras, Musa kembali bersikeras untuk menjelaskan pendapatnya. << Tidak Mansa, sepertinya kamu belum benar-benar paham masalahnya >> Mansa terhenti dan sedikit mengernyitkan dahi. “Aku tahu teknik itu juga memaksa aura esperku keluar melebihi yang seharusnya, dan itulah yang membuat tubuhku tidak bisa bertahan karena kehabisan energi.” “Aku tahu, kondisi tubuhku ini ini tidak cocok dengan teknik tersebut,” jelasnya. << Itu kenapa aku bilang sepertinya kamu salah memahaminya. Tentang energi yang kamu sebut sebagai aura esper itu, jika tubuhmu menghasilkan sesuatu yang ti
Tiba-tiba Arif si anak jalanan itu menoleh seperti melihat sesuatu di belakang Mansa. Itupun memancing Mansa untuk menoleh ke belakang meski sedikit ragu-ragu. Siapa tahu dia si anak jalanan itu hanya menipunya saja. Tapi belum sempat Mansa menoleh ke belakang, tiba-tiba dia dikagetkan oleh seorang bocah kecil yang menarik-narik celananya. “Kakaak, kakak yang waktu itu,” seru bocah tersebut. “Oh, kamu, kamu yang waktu itu,” balas Mansa ramah. “Kakak bawain aku sandwich lagi yaaa?” tanya bocah itu bersemangat. Namun Mansa memindahkan kantong sandwichnya tersebut ke tangan kirinya seraya berkata, “eee, ini kakak beli buat kakak sendiri ini.” Tentu hal tersebut membuat si bocah sedikit kecewa dan sama sekali tidak menyembunyikan bibir cemberutnya. Mansa langsung duduk sembari mengelus kepala bocah tersebut. “Ya sudah, buat kamu satu yaa,” sah
Meski biasanya daerah pusat kota cukup sibuk di siang hari, khususnya di sekitaran Pasar Raya, namun jalanan di sekitar Taplau tidak terlalu ramai. Terutama sejak kejadian gempa 2027 serta terbengkalainya proses perbaikan di sebagian besar kawasan tersebut membuat tempat yang dulu sempat menjadi icon wisata kota sekarang nyaris seperti reruntuhan, penuh oleh puing-puing dan barang bekas sisa-sisa dari wahana pariwisata yang sudah mati. Kawasan ini mungkin baru akan kembali dikunjungi orang saat sore hingga menjelang senja bagi mereka yang masih memiliki obsesi dengan warna lembayung di ufuk Samudera Hindia. Karena itu, dua orang anak jalanan itu seakan tak peduli berlari seenaknya melintas di jalan raya seperti itu. Mansa yang tidak biasa bermain di daerah tersebut sedikit ragu-ragu juga mengikuti mereka berlari seperti itu. Meskipun begitu, tidaklah terlalu sulit baginya untuk mengikuti mereka karena daerahnya cukup terbuka sehingga mudah bagi Mansa mengamati meski
Tak selamanya mereka yang hidup susah sama-sama mengerti kesusahan orang lain. Kadang ada juga orang yang terlalu lama menjalani kehidupan yang buruk, khususnya mereka yang mampu bertahan dengan itu, beresiko meremehkan kesusahan dan kesulitan yang dihadapi oleh orang lain. Itulah yang menghampiri pikiran Mansa sejak beberapa hari yang lalu. Dia berpikir bahwa dia yang selama ini hidup sendiri dan teralienasi dari lingkungan kemudian mampu bertahan dengan itu, semua itu membuatnya meremehkan kesusahan hidup dari anak jalanan tersebut. Keadaan itu membuatnya naif seakan kesusahan orang lain sama sekali tidak seserius itu di matanya. Dia tidak pernah menyangka kehidupan anak-anak jalanan tersebut sekacau ini. Ini bukan semata sebatas keinginan untuk memilih jalan hidup. Kadang sebagian orang memang tak bisa melihat pilihan yang ada, atau meskipun bisa melihat pilihan itu, namun seakan mereka terkondisikan tidak dibolehkan untuk memilih. Seakan itu sudah menjadi
<< Mansa bodoh, kalau kamu menyelesaikannya begitu mudah begitu mana mau mereka ditantang satu lawan satu >> “Mau bagaimana lagi,” balas Mansa. “Aku sudah berusaha menahan diri. “Dia saja yang terlalu lemah,” tutupnya. Sekarang memang terlihat ekspresi prema-preman itu sudah menjadi lebih serius. Dengan hati-hati mereka mendekati Mansa. Namun dari sekian banyak preman itu, ada juga satu orang preman dari belakang yang ternyata tertarik dengan tantangan Mansa tadi. “Hey, hey.., apa kalian tidak malu mengeroyok bocah begitu?” “Mau taruh di mana muka kalian jika seorang bocah nantang kalian satu lawan satu malah kalian keroyok begitu.” Perhatian preman-preman yang lain sempat teralihkan. “Jangan bilang kau serius ingin menantang posisi Doyok sebagai bos?” tanya seorang preman lainnya. “Jangan bodoh” sahutnya. “Aku tahu bos kita ini sama sekali bukan orang yang pintar berkelahi.”
Baru saja Mansa berusaha untuk berdiri, preman itu sudah datang sedikit melompat hendak menghujamkan lututnya ke wajah Mansa yang masih setengah membungkuk berusaha bangkit. Mansa terkejut namun masih bisa menahan lutut orang tersebut dengan kedua tangannya. Tapi dia tetap terdorong dan punggungnya terhempas pada pancang kayu dan membuat kayu tersebut patah. Mansa kembali jatuh tergeletak di tanah. Mansa sudah tidak lagi dalam posisi untuk berhitung-hitung menahan diri menghemat tenaga. Salah-salah, bisa-bisa dia yang habis duluan oleh preman yang satu itu. Preman itu menendang dan menghujamkan kakinya ke perut Mansa dan kembali membuatnya terdorong di atas tanah. Preman itu mencoba manarik punggung Mansa bermaksud memaksanya berdiri. Ketika kaki Mansa sudah mantap berdiri, dari posisi tubuh yang masih membungkuk itu, si preman tidak sadar Mansa melayangkan satu pukulan kanan dari bawah ke arah dagunya. Dia baru terkejut ketika kepalan tangan Mansa su